Novel Jambi, “Pemburu Emas” – By Monas Junior

Novel Jambi "Pemburu Emas" Legenda Bermula by Monas Junior
Novel Jambi "Pemburu Emas" Legenda Bermula by Monas Junior

Novel Jambi, “Pemburu Emas” – By Monas Junior

Prolog; Awalnya Semua Seperti Biasa

JIKA kau ditanya bahagiakah engkau menjadi dirimu sekarang. Hampir setiap orang percaya dan yakin, menjadi diri sendiri adalah kebahagiaan yang tidak dapat ditukar dengan mencoba kebahagiaan orang lain. Kita hanya bisa menghayalkan kebahagiaan menjadi seorang Bill Gates tapi sangat mengerikan jika kebahagiaan itu diujicobakan pada kita.

Bacaan Lainnya

Baca Juga Novel Jambi Lain : Gadis Bersenyum Surga (1) by Monas Junior

Kau mungkin berandai jika suatu waktu berkesempatan jadi Milla Jovovich, beberapa hari kemudian kau akan menjerit dan merasa lebih indah menjadi anak dari Ayah dan Ibumu yang selalu marah saban waktu kepadamu. Orang bisa saja terlahir dari anak seorang jutawan, seorang bankir, tapi banyak orang yang merasa cukup bahagia menjadi anak dari Tuan Solihin, Ibu darsih, Bapak Hamdi, Pak Samad, Ibu Melati, dan.. Kau tahu maksudku?

Aku orang biasa, tak ada yang istimewa. Dan aku masih seperti anak SMA lain di pagi itu;  mengenakan seragam putih abu-abu, rambut lurus belah pinggir, tas punggung, sepatu bertali, dan kerap memecut motor matic di tengah jalanan kota Jambi yang terkadang padat. Selanjutnya, aku perkenalkan ayah dan ibuku.

Ayahku, juga ibuku, keduanya juga orang biasa. Bekerja seperti orang normal dengan gaji senormal-normalnya, hidup normal dengan semua kegiatan yang normal, pagi kerja, sore pulang, malam kumpul keluarga, tengah malam tidur, esok pagi berulang lagi aktifitas itu. Sangat normal bukan?.

Baca juga di Jambiseru.com – Jambi Seru :
Dongeng Sebelum Tidur: Bujang Itam dan Putri Senyum Embun

Ini  adikku, Dedek. Tidak banyak yang bisa kuceritakan tentang adikku ini. Ia, sedikit abnormal menurutku. Itu karena hanya dia yang selalu berhasil membuatku kesal. Ia seorang periang dan tidak betah berada dalam suasana kaku. Maka itu, tanpa Dedek, rumah jadi sepi.

Kami tinggal di rumah yang juga biasa. Sederhana, sesederhana keluarga PNS biasa. Komplek perumahan di Mayang dengan tetangga-tetangga yang ramah tanpa kesibukan berarti.Hanya yasinan di malam Jum’at bagi bapak-bapak dan Jum’at  sore untuk kaum ibu. Sesekali gotong royong di pagi Minggu, selebihnya lengang. Kecuali ada jambret yang tertangkap.

Karena aku orang bisa, sampai pagi ini belum ada cita-cita hebat yang kuimpikan. Pernah ingin jadi polisi, tentara, bupati, gubernur sampai presiden, tapi kubatalkan segera.

Fisikku biasa, tak ada yang istimewa. Kurus, tinggi dengan kulit yang agak putih karena keseringan menghabiskan waktu di dalam rumah. Nah, bagian selanjutnya ini mungkin sedikit tidak biasa. Begini. Seorang gadis yang luar biasa (menurut naluri perasaanku) telah berhasil menelusup dalam kehidupanku. Dia segalanya bagiku.

Dan sepagi ini, aku berniat merebut hatinya di sekolah. Sialnya, aku selalu gagal mengutarakan rasa. Selain tingkah kikuk saat bertemu, mungkin aku pengecut. Atau mungkin karena ini adalah hal yang normal, senormal-normal nya remaja.

Keadaan serba biasa ini semakin kuat karena aku tinggal di kota yang juga biasa. Kota Jambi, daerah berkembang yang pelan-pelan beranjak maju. Tak ada jembatan layang, tak ada jalan tol, tak ada gedung pencakar langit, tak banyak tempat hiburan, sama persis dengan kota berkembang lain di Sumatera. Jadi, begitulah, betapa sederhananya aku.

Tetapi hari ini, dan hari hari berikut, semua berubah.

***

Upacara Senin sudah dimulai. Aku menyusup di barisan paling belakang. Beberapa sahabat melotot saat melihat aku melempar tas ke rumput. Secepat kilat kupasang topi, merapikan baju lalu menatap lurus ke depan. Benar-benar lurus.

“Telat lagi, bro…”

“Macet,” Jawabku singkat.

Tomi tertawa sekilas. Lalu berusaha fokus mengikuti rangkaian upacara yang panjang. Novi, gebetanku di baris kanan depan, melirikku sepintas lalu menatap ke depan lagi.

Ah, gadis ini sangat menggoda. Tuhan pasti tahu betapa besarnya keinginanku memilikinya. Ternyata, Tuhan justru lebih senang menggodaku, dibiarkannya aku melatih sabar menahan hasrat yang lebih jauh sambil memelihara lirikan lirikan kecil Novi yang kerap terpajang menjelang tidur.

Usai upacara, kami bergegas memasuki ruang kelas masing-masing. Sekali lagi, seperti biasa, tak ada yang istimewa. Dari pagi belajar –memperhatikan Novi yang duduk di depan-, siang istirahat –mendekati Novi dengan berbagai alasan-, dilanjutkan belajar–lagi-lagi memperhatikan Novi-, lalu pulang di sore hari –berharap besok bisa cepat bertemu Novi.

Melalui jalan protokol dari Telanaipura ke Thehok, aku tak merasa akan ada perubahan besar menantiku di rumah. Mobil-motor menderu-deru mengiringi perjalanan pulang, simpang-simpang menghalangiku dengan lampu-lampu merahnya, polisi-polisi yang menatap tajam pengendara motor sepertiku –kau tahu, di negeriku, anak SMA belum boleh pakai motor, tapi kami tak peduli itu, dan tetap- berusaha mengdaun ilegall.

Tapi aku tiba di rumah tepat waktu, setengah jam lebih sedikit. Bangunan 13 x 10 meter bercat putih menyambut dengan antusias. Setelah memarkir motor dan membuka sepatu, aku berjalan lesu ke dalam rumah.

“Dedek mana, Ma?”

“Katanya ekskul”

Hening sejenak. Suara TV menyiarkan berita Bom di Surabaya.

“Sana ganti baju, habis itu makan,” Mama melanjutkan ucapan, sekenanya. Ia terlihat asyik bermain HP di ruang tengah, depan TV. Kali ini TV yang menonton dirinya. Aku menebak-nebak, mama jaman now itu sedang update IG- atau sedang live Tiktok. Entahlah.

Sambil geleng-geleng kepala, aku masuk ke kamar. Dan semua yang tak biasa itu mulai terjadi dari sini, mengubah seluruh perjalanan hidupku, bukan hanya sesuatu yang besar akan terjadi di depan, tapi juga merubah masa lalu yang anehnya membuatku merasa bisa menerima bahwa itu bagian masa laluku yang memang pernah terjadi.

Baru saja membuka baju, keanehan itu bermula. Kepalaku kehilangan kendali seperti orang kena penyakit vertigo. Bumi berputar, semua tampak bergerak, perut mual, pusing tiada tara, aku mau menjerit tapi tak bisa. Yang bisa kulakukan cuma menghempaskan tubuh ke kasur, memejamkan mata dan berharap semua ini cepat berlalu.

Lalu, semuanya benar-benar berlalu.

***

Dalam tidur aku bermimpi sedang berada di satu pemakaman, beralih ke gedung Bank Tabungan Negara (BTN) di Jakarta, sekejap kemudian aku sudah berada di puncak tugu Monas, detik berikut di dalam pesawat sambil memegang buku tentang obyek wisata di Prancis, ditutup adegan seorang wanita dewasa sedang memelukku di puncak menara Eiffel. Mimpi itu terputus ketika sebuah suara memanggil namaku dengan nada cukup kencang.

“Ari… Ari… Bangun, sudah sore. Ari!”

Aku membuka mata dengan pelan. Di atasku terlihat wajah Mama yang tengah menatap dengan heran.

“Kamu sakit?” disentuhnya keningku dengan tangan kanan.

Pos terkait