Novel Jambi, Gadis Bersenyum Surga (Babak 2) By Monas Junior

ilustrasi: romantic
ilustrasi: romantic

“Dan aku memanggilmu, ‘gadis mungilku yang cantik’.”

Jam makan siang sudah lewat. Anak-anak reguler kembali bergerombol memasuki gerbang kampus. Didit dan lelaki gondrong keriting itu masih saja asyik dengan asap rokok kretek dan ocehan kosong, se kosong perut mereka.

“Ada mata kuliah, Nas?” Didit melirik ke lelaki gondrong keriting.

“Ada, tapi lagi malas,” Anas menjawab dengan sangat irit.

Bacaan Lainnya

“Sudah berapa semester kamu cuti?”

Anas melempar batang rokok yang tinggal separuh ke lantai, lalu mulai menghitung jarinya.

“Kalau 7 tahun berapa semester?”

“Mati! 14 kalau ndak salah.”

“Hah, segitu…”

Didit menepuk jidatnya. Anas terkekeh. Kedua lelaki ini tertawa di antara derap kaki para mahasiswa yang memasuki pelataran parkir.

Sesekali Anas melirik ke gerbang pintu masuk, sesekali melihat jam, dan sesekali menatap sahabatnya yang sudah termasuk senior juga di kampus ungu ini.

Lalu yang ditunggu datang. Dua gadis bergandengan tangan melangkah santai di antara kerumunan mahasiswa lain. Dari belakang Anas terbuai dengan lambaian rambut indah gadis mungil itu. Langkah keduanya begitu lambat sehingga ia cukup puas menikmati keindahan gadis yang dikenal hatinya dengan sangat akrab itu, sampai benar-benar menghilang di telan pintu masuk kampus bagian dalam.

“Ah, gadis mungkilku yang cantik…” bisiknya di dalam hati.

Didit menegur Anas dengan senggolan tangan. Lalu mengisaratkan agar mereka beranjak ke ruang UKM Kesenian di pojok kanan kampus. Anas mengangguk, dan akhirnya mereka berdua melangkah cepat ke ruang 15 x 15 meter itu.

“Dit, bangunkan aku jam tiga ya, ngantuk. Semalam begadang sama kawan.”

“Oke, Bos.”

Didit meninggalkan Anas yang berbaring di kasur bagian belakang ruang itu. Suara riuh redam mahasiswa yang masuk ruangan, masih menendang-nendang telinga Anas hingga akhirnya ia benar-benar tak bisa mendengar apapun kecuali detak jantungnya yang makin lama makin pelan.

Di luar, pelataran parkir sudah tak berpenghuni kecuali besi-besi beroda dua yang berdesakan satu sama lain. Angin memetik satu per satu daun tua pohon beringin di balik tembok, lalu meletakkannya dengan sangat pelan ke lantai coran parkir setelah membuat mereka menari beberapa putaran.

Sedang di dalam satu ruang kelas lantai 2, gadis mungil yang cantik itu dengan anggun mengeluarkan perlengkapan tulis ke atas meja, lalu menatap ke depan tempat wanita paruh baya bertubuh agak tambun berdiri.

Lalu ia, wanita tambun di depan, dan puluhan orang di dalam kelas dibuai cerita tentang angka-angka dan logika-logika flowchart, database, serta prediksi masa depan tentang informasi teknologi yang maju pesat, sangat maju sehingga manusia sendiri tak akan bisa mengikuti langkahnya.

Siang jelang sore di kampus ilmu komputer itu diakhiri mimpi seorang jejaka yang bertemu bulan di atas pungguknya yang bungkuk. Mimpi seorang bujang buntu, lusuh dengan masa depan gelap kepada bibagian depanri yang mungil dan cantik. Mimpi yang memperpanjang penantiannya akan perahu kecil bernama keluarga dan dermaga yang bernama bahagia.

Tapi semua lenyap ketika tubuhnya dipaksa merespon tangan yang menggoyang-goyangkannya dengan cukup keras.

“Ya?” Anas menjawab tanpa membuka mata.

“Lapar ndak, jok?”

“Iya.”

“Mau nitip nasi bungkus?”

“Boleh.”

Anas merogoh dompet di balik saku belakangnya. Lalu menyerahkan dompet itu ke lawan bicaranya.

“Ambil berapa?”

“Tinggal selembar juga, Dit. Masih nanya ambil berapa.”

“Berarti waras. Kupikir ngelindur jadi ndak tahu lagi sama duit,” Didit terkekeh sementara Anas masih terpejam, jauh lebih pelan ketika tubuhnya dimiringkan menghadap tembok.

Sepeninggal Didit, mimpi yang terputus itu tak bisa lagi tersambung gara-gara suara-suara gadis-gadis yang menyerobot masuk ke dalam ruangan.

Masih terpejam, Anas menarik napas panjang, lalu melepaskannya dengan sangat berat. Ia berusaha membuka mata, dinding bercat ungu menyambut tatapannya. Lalu ia berbalik badan. Jarak 5 meter darinya terlihat dua gadis sedang menghadap layar monitor sambil berbisik-bisik entah entang apa.

Tiba-tiba hatinya mengenali salah satu gadis itu. “Yah, dia, Si Gadis Mungilku yang Cantik itu!” teriak hati Anas, girang.

Setuju dengan hati yang sedang dilanda kasmaran, mata Anas tiba-tiba terbuka lebar. Jadilah ia tak berkedip menatap punggung gadis berambut hitam lurus sebahu itu.

Tiba-tiba Didit muncul membawa kantong plastik hitam di tangan kanan dan dua bungkus rokok di tangan kiri. Si Didit berhenti sejenak di dekat dua gadis yang hampir ditabrak Anas beberapa jam lalu itu, kemudian berjalan cepat ke arah Anas yang masih terpana.

“Woi! Tidur apa mimpi ni! Melotot kek orang gila,” tegur Didit, mengambil posisi duduk di sebelah kiri Anas.

Anas menoleh ke Didit.

“Siapa dia?”

“Yang mana?”

“Ssst… pelan-pelan bisa gak sih.”

“Yang mana….?” Didit mengulangi dengan nada sangat pelan sampai-sampai seperti orang sedang bertasbih.

“Itu..” Anas menunjuk dengan ujung bibirnya ke arah “Si Gadis Mungilku Yang Cantik”. “Yang mungil…” lirih Anas.

“Oh… Neneng. Anak semester 1. Kru sini lah,” terang Didit. Ia dengan cuek mengeluarkan dua bungkus nasi dari dalam kantong plastik. Meletakkan satu bungkus di depan Anas duduk, satu lagi di hadapannya sendiri.

“Titip salam, ya.”

“Hah?!”

“Titip salam…”

“Oke.”

Keduanya mulai membuka bungkusan nasi Padang dengan lauk rendang itu. Lalu melahapnya dengan kemarahan perut yang sudah berjam-jam kosong.

“Bang Didit, proposal sudah. Kami simpan di hardisk.”

Bibir Anas terbuka lebar, sebagian nasi di dalam mulutnya mengerem menbagian depank.

Betapa tidak, gadis mungil itu, dengan suaranya yang merdu, mata yang berbinar dan bibir yang mempesona, membuat Anas benar-benar kehilangan kendali diri.

“Oke,” jawab Didit yang suaranya bercampur tumpukan nasi, gulai dan potongan daging rendang di dalam mulut.

Gadis itu berbalik badan, lalu keluar ruang tanpa meninggalkan teguran sedikitpun kepada Anas yang masih membatu.

“Semester 1, Dit?”

“Iya. Dah, makan dulu, Bro. Nanti kubantu. Tenang aja,” lagi-lagi Didit dengan suara kumur-kumurnya menyadarkan Anas.

“Ah, betapa jauh rentang usia kita. Kau, yang kunanti-nanti selama ini, datang begitu terlambat,” hati Anas berbisik lagi.

(Karena Kau Datang Terlambat – Selembar Penggalan Surat Cinta Terhebat 

Aku sedang berada di persimpangan empat setelah tanjakan dan turunan terlewati dengan penuh pengorbanan. Ini saat-saat paling tidak menyenangkan. Kau tahu, inilah waktunya memutuskan. Ya, keputusan. Hal teramat sulit yang harus dilakukan manusia, membuat keputusan yang harus dipertanggungjawabkannya di kemudian hari.

Persimpangan jalan ini sangat rumit. Ada tiga pilihan: maju, ke kiri atau ke kanan (tentunya mundur bukan pilihan karena itu telah terlewati). Lalu mau ke mana aku?

Bisa saja ke kiri dengan risiko tinggi, ke kanan risiko sedikit dan maju dengan jalan tak berujung. Bisa saja. Tapi, aku belum bisa melaju. Ada yang kurang. Selalu sama. Kakiku. Ya, kakiku yang satu, entah di mana ia berada.

Selama jalan hidup ini kulalui, aku berjalan di atas sebelah kaki, sebelah tangan, sebelah mata, sebelah otak, sebelah hati dan sebelah jiwa. Aku ialah Si Pincang Yang Menantang Hidup. Benar-benar nekat!

Kau harus tahu, kondisi begini sangat tidak baik untuk pencapaian maksimal. Supaya maksimal berlari di jalan hidup, kita butuh kaki, tangan, mata, otak, hati dan jiwa yang lengkap. Tapi, bagaimana bisa aku lengkap jika kau membawa semua belahan itu di hidupmu.

Sementara simpangku telah sampai, kau, masih berada entah di mana. Jadi, aku terpaksa menunggumu di simpang ini sambil bersabar untuk memutuskan apa yang terbaik bagi hidup.

Sesekali aku melihat engkau di nun jauh belakang, tapi sosokmu belum terlihat jelas. Begitu banyak peserta berlomba-lomba mencapai simpang yang kini telah lebih dulu kupijaki, sehingga aku tak tahu yang mana engkau. Atau, aku telah terlambat karena mungkin saja kau lebih dulu tiba di simpang ini, lalu membuat keputusan ke arah mana kau berlari. Mmm… kemungkinan terakhir ini sangat kecil. Jika kau lebih dulu tiba di sini, tentunya sudah ada yang membawamu pergi. Dan kehadiranku, tentu pula percuma.

Setelah berpikir cukup lama, akhirnya aku memutuskan untuk menunggumu. Menunggu sosokmu dari bayang-bayang menjadi nyata. Menunggu kau yang membawa sebelah jiwa, hati, dan organ-organ penting lainnya untuk bertahan hidup -syukur-syukur bersamamu aku bisa memenangi kehidupan yang keras ini-.

Akhirnya, menunggumu adalah pekerjaan terberat bagiku. Butuh waktu, butuh sabar dan butuh tekad kuat sebelum memutuskan pergi atau memilih peserta lain yang telah lebih dulu menggapaiku. Aku mulai yakin, kau, ketinggalan sangat jauh.

Ketika aku mulai berlari, kau masih asyik bermain-main dengan mata polos di pelukan ibumu. Ketika aku mulai belajar hidup, kau baru saja disapih dari bagian depan ibumu. Ketika aku mulai bertahan hidup dengan tenaga dan pikiranku sendiri, kau mulai belajar berlari. Dan ketika aku sering menangis di tengah malam karena hidup yang sepi dan kekurangan (di simpang ini), kau, baru belajar memengerti hidup. Ah Dinda, betapa terlambatnya langkahmu.

Karena kau datang terlambat, penantianku jadi bertambah lama.

Waktu dan orang-orang yang memahaminya semakin tak sabar melihatku menunggu di simpang ini, tanpa gerak, tanpa semangat dan tanpa keputusan. Berkali-kali mereka mendorongku untuk segera membuat keputusan, tapi tak berhasil. Berkali-kali pula mereka membawa pilihan lain untuk kubawa sepanjang jalan pilihan, tapi kutolak. Itu karena aku yakin, dan sangat yakin, bahwa kau akan datang, meski terlambat.

Benar saja, kau akhirnya tiba memenuhi penantianku. Wajahmu penuh semangat meski membawa lelah di sisa pelarian. Matamu berbinar, meski tubuhmu penuh keringat. Dan senyummu yang dikulum-kulum itu, memastikan niatku untuk membawamu serta dalam pelarian berikutnya di jalan hidup.

Kau datang persis ketika aku mulai bimbang. Kau hadir pas di saat semangatku untuk berlari bangkit. Dan kau, meski separuh ragu-ragu, akhirnya memutuskan untuk berlari denganku menapaki jalan-jalan hidup yang berliku tajam ini.

Akhirnya, sampailah kita di sini, setelah membuat keputusan yang sama, komitmen yang sama dan impian yang sama. Kau dan aku tahu, hal paling sulit dalam hidup adalah membuat keputusan. Sementara hidup adalah hasil rangkaian keputusan yang kita ambil. Ah, betapa menariknya hidup ini setelah bersamamu, Gadis Pemilik Senyum Dikulum Yang Menggemaskan. Betapa ringannya jalan yang kulalui begitu kau lengkapkan kakiku, tanganku, otakku, hatiku dan jiwaku.

Meski kau datang terlambat, hadirmu kini sangat sepadan dengan penantianku. Terima kasih. Teruslah di sini, biar lengkap hidup ini.)

“Woi. Makan! Nanti basi!”

“Aku dah kenyang.”

Yah, ia benar-benar sudah kenyang dengan penantian yang panjang ini. Penantian terhadap Gadis Mungil yang Cantik itu… (Lanjut)

***

BACA LENGKAP DI SINI

Baca Juga Novel Jambi Lain : “Pemburu Emas” – By Monas Junior

Pos terkait