Seloko Adat Jambi : Datuk Belang

musri nauli
Musri Nauli, Advokat tinggal di Jambi.Foto: Istimewa

Oleh: Musri Nauli

Masyarakat Melayu Jambi memiliki seloko yang secara khusus merujuk pada harimau, sering kali dengan sebutan “Datuk belang” sebagai bentuk penghormatan. Panggilan ini digunakan karena nama asli harimau dianggap tabu.

Sistem kepercayaan masyarakat Melayu Jambi terhadap harimau tercermin dalam beberapa seloko, yang menunjukkan penghormatan dan pengakuan atas keberadaan hewan ini. Seloko tersebut memperlihatkan harimau sebagai simbol kekuatan dan figur yang dihormati, bahkan dihubungkan dengan konsep kepemimpinan dan sanksi adat.

Bacaan Lainnya

Selain itu, ada beberapa seloko yang menempatkan harimau dalam konteks sosial dan hukum adat. Seperti seloko Bebapak pado harimau, berinduk pada gajah, berkambing pada kijang, berayam pada kuawo.”

Bebapak pado harimau, berinduk pada gajah, berkambing pada kijang, berayam pada kuawo.” Seloko ini menggambarkan seseorang yang tidak lagi diakui atau diurus oleh masyarakat adat, seolah-olah ia telah dibuang dan harus mencari perlindungan sendiri dari alam liar. Orang yang mendapat sanksi ini disebut “orang buangan,” dan ia tidak akan diurus jika sakit atau meninggal. Seloko ini juga dikenal dengan istilah “Plali,” yang merujuk pada ketidakmauan seseorang untuk menjalankan sanksi adat yang telah dijatuhkan.

Gajah yang begading, rimau yang bebelang dan ombak yang bederuh.” Seloko ini merujuk pada situasi di mana masalah tidak dapat diselesaikan pada tingkat adat, sehingga harus diserahkan kepada pemimpin atau pemangku batin (raja). Penggunaan harimau (“rimau”) dan gajah di sini melambangkan kekuatan dan kekuasaan yang lebih tinggi, yang mampu menangani persoalan yang rumit.

“Rimbo sunyi, harimau lepas.” Seloko ini merupakan bagian dari deskripsi hutan larangan atau kawasan yang tidak boleh diganggu. Frasa ini melambangkan bahwa hutan yang sunyi adalah habitat alami bagi harimau, dan keberadaan mereka menjadi salah satu alasan untuk melindungi kawasan tersebut.

Seloko yang berkaitan dengan harimau mencerminkan pandangan dunia masyarakat Melayu Jambi yang harmonis dengan alam. Harimau bukan hanya hewan buas, melainkan simbol sakral dan penjaga keseimbangan ekosistem. Penghormatan terhadap harimau melalui sebutan “Datuk belang” menunjukkan hubungan spiritual yang mendalam, di mana hewan ini dianggap memiliki kedudukan yang tinggi dan pantas dihormati.

Seloko seperti “Bebapak pado harimau…” berfungsi sebagai alat kontrol sosial yang kuat dalam masyarakat. Ancaman dikucilkan dari persekutuan sosial dan harus “berbapak” pada harimau adalah sanksi terberat yang dapat dijatuhkan oleh adat. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kepatuhan terhadap norma dan keputusan adat bagi kelangsungan hidup individu dalam komunitas.

Selain itu, seloko tentang harimau juga menjadi bagian dari sistem hukum adat. Keberadaan seloko ini memperlihatkan bahwa penyelesaian masalah, terutama yang sulit, sering kali diserahkan kepada figur yang dihormati dan memiliki kewenangan tertinggi, seperti yang digambarkan dalam seloko “Gajah yang begading, rimau yang bebelang…”.

Dengan demikian, harimau menjadi metafora untuk kekuasaan yang adil dan tegas. (*)

Advokat. Tinggal di Jambi

Pos terkait