Oleh: Musri Nauli*
Di tengah hijaunya rimba yang memeluknya, kisah tentang Gajah bukan hanya sekadar catatan fauna, melainkan sebuah epik filosofis yang tersemat dalam denyut nadi masyarakat Melayu: Seloko Adat.
Gajah, dengan tubuhnya yang menjulang dan kekuatannya yang tak terbantahkan, telah diangkat dari sekadar penghuni hutan menjadi metafora hidup yang memegang peran sentral dalam sistem sosial, hukum, dan etika masyarakat Jambi. Bersama Harimau, ia berdiri sebagai simbol dwi-tunggal merepresentasikan kekuatan alam yang menjadi acuan bagi tata tertib manusia.
Ketika Gajah Menjadi Bayangan Hukuman
Dalam tradisi lisan Melayu Jambi, simbol Gajah memiliki wajah yang keras, mewakili ujung tombak sanksi adat. Puncak dari hukuman sosial tergambar jelas dalam seloko yang menusuk:
> “Bebapak pado harimau, Berinduk pada gajah…”
> Seloko ini bukan sekadar larangan, melainkan sebuah proklamasi pengucilan. Ia merujuk pada hukuman plali—penolakan untuk mematuhi putusan denda adat. Seseorang yang menerima hukuman ini secara harfiah dianggap “orang buangan”. Mereka kehilangan seluruh perlindungan sosial, terputus dari jaring-jaring kekeluargaan dan kemasyarakatan.
Metafora “mencari perlindungan pada hewan buas” menggambarkan betapa gentingnya situasi ini. Tanpa pegangan adat, hidup seseorang menjadi sama berbahayanya dengan berjalan tanpa arah di rimba, perlindungannya kini hanya bisa dicari pada ‘ayah’ dan ‘ibu’ metaforis yang buas: Harimau dan Gajah. Inilah cerminan kekuatan hukum adat yang absolut: melanggarnya berarti memilih hidup tanpa kemanusiaan yang terorganisir.
Dari Kekuatan Menjadi Solidaritas: Hati Gajah dan Hati Tungau
Namun, keagungan Gajah tidak berhenti pada intimidasi hukum. Simbol ini juga membimbing masyarakat pada nilai-nilai kebersamaan dan keadilan yang paling fundamental. Seloko berikut menyingkap sisi Gajah yang penuh hikmah:
> “Hati gajah samo dilapah, hati tungau samo dicecah.”
> Sungguh sebuah pernyataan etika sosial yang mendalam. ‘Hati gajah’ melambangkan hasil yang besar
dan melimpah, sementara ‘hati tungau’ mewakili rezeki atau usaha sekecil apa pun. Pesan ini tegas: baik hasil panen yang melimpah maupun rezeki yang seujung kuku, semuanya harus dibagi rata dan dinikmati bersama-sama (samo dilapah/dicecah).
Seloko ini adalah landasan filosofis bagi gotong royong dan kesetaraan dalam masyarakat Melayu Jambi. Ia menekankan solidaritas tidak mengenal ukuran materi; keadilan berarti pembagian yang merata, memastikan tidak ada yang merasa terlalu besar atau terlalu kecil di hadapan rezeki bersama.
Panggilan Kehormatan Sang “Datuk Gedang”
Kekuatan Gajah dan peranannya dalam menopang tatanan sosial diabadikan dalam panggilan penghormatan khusus: “Datuk Gedang”.
Penggunaan gelar “Datuk” adalah sebuah tabu, sebuah pengakuan suci terhadap kedudukan Gajah dalam hierarki spiritual dan alam. Sama halnya dengan Harimau yang dipanggil “Datuk Belang”, Gajah dihormati bukan hanya sebagai hewan, melainkan sebagai entitas memegang kekuatan alam—sebuah kekuatan yang diakui, dihormati, dan dijadikan patokan moral.
Cermin Filosofi Hidup
Secara keseluruhan, simbol Gajah dalam Seloko Adat Melayu Jambi bukan sekadar ornamen budaya. Ia adalah cermin multidimensi dari filosofi hidup masyarakatnya. Gajah mencerminkan:
* Kekuasaan (Adat): Kekuatan tak tertandingi yang menjadi landasan sanksi dan tata hukum.
* Keadilan dan Solidaritas: Prinsip fundamental pembagian hasil yang merata.
* Kehormatan: Pengakuan spiritual terhadap kekuatan alam.
Melalui Seloko Gajah, kita disajikan sebuah kearifan lokal yang abadi: kekuatan terbesar harus selalu tunduk pada keadilan, dan kebersamaan adalah fondasi yang jauh lebih kokoh daripada kekuasaan individual semata. Di Jambi, Gajah mengajarkan kita hidup bermasyarakat adalah tarian abadi antara hukum yang keras dan hati yang lapang. (*)
*)Advokat. Tinggal di Jambi