Cakap Ketua Edi: Soal Rumah, Jangan Kecilkan Hak Hidup Layak Rakyat

Cakap Ketua Edi: Soal Rumah, Jangan Kecilkan Hak Hidup Layak Rakyat
Cakap Ketua Edi: Soal Rumah, Jangan Kecilkan Hak Hidup Layak Rakyat.Foto: Jambiseru.com

Oleh : Edi Purwanto *

Saya ingin memulai catatan ini dari satu pertanyaan sederhana, tapi dampaknya panjang: berapa luas rumah yang layak untuk satu keluarga hidup dengan sehat dan bermartabat? Pertanyaan ini mungkin terdengar teknis, bahkan seperti urusan angka dan hitung-hitungan semata. Tapi sesungguhnya, di balik ukuran dinding dan lantai, ada urusan yang jauh lebih manusiawi—tentang tumbuh kembang anak, kesehatan keluarga, dan kualitas hidup rakyat kecil.

Sebagai Anggota Komisi V DPR RI, saya cukup sering turun ke lapangan. Masuk ke gang-gang sempit, melihat rumah-rumah yang berdiri rapat tanpa jarak, ventilasi seadanya, cahaya matahari nyaris tak masuk. Di sana, satu rumah bisa diisi empat sampai lima orang, tidur berhimpitan, dapur menyatu dengan ruang tidur, dan udara terasa pengap bahkan di siang hari.

Di titik itulah, isu standar luas hunian tidak lagi terasa sebagai diskusi elit di ruang rapat. Ia menjadi nyata, terasa, dan mendesak.
Ketika pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto menggulirkan program ambisius 3 juta rumah, saya termasuk yang menyambutnya dengan optimisme. Ini langkah besar. Negara hadir untuk menjawab kebutuhan dasar rakyat. Tapi saya juga merasa perlu mengingatkan: jumlah rumah penting, tapi kualitas hunian jauh lebih menentukan.

Karena rumah bukan sekadar bangunan berdinding dan beratap.

Dalam berbagai rapat kerja dengan Kementerian Perumahan Rakyat, saya mendorong agar standar luas hunian minimal dalam program ini ditetapkan 36 meter persegi. Angka ini bukan muncul begitu saja. Ini bukan keinginan pribadi, apalagi keinginan yang mengada-ada. Ada dasar ilmiah, ada rujukan kesehatan global, dan ada realitas keluarga Indonesia di baliknya.

Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO merekomendasikan kebutuhan ruang minimal 9 meter persegi per orang. Artinya, untuk keluarga sederhana dengan empat anggota—ayah, ibu, dan dua anak—dibutuhkan rumah seluas 36 meter persegi agar mereka bisa hidup layak, sehat, dan nyaman. Bukan mewah. Bukan berlebihan. Cukup.

Namun dalam diskusi kebijakan, kita justru sempat mendengar wacana standar yang jauh lebih kecil. Bahkan ada yang menyebut angka 18 meter persegi. Setengah dari kebutuhan ideal sebuah keluarga. Di sinilah saya merasa perlu bersuara lebih keras, meski tetap dengan kepala dingin.

Saya tidak ingin negara terjebak pada logika sempit: yang penting rumahnya ada, soal layak atau tidak belakangan.

Rumah yang terlalu sempit bukan hanya soal sempitnya ruang gerak. Ia berdampak langsung pada kesehatan fisik dan mental penghuninya. Ventilasi buruk memicu penyakit pernapasan. Ruang yang padat meningkatkan stres. Anak-anak kesulitan belajar dengan tenang. Orang tua tidak punya ruang privasi yang sehat.

Kalau sudah begini, apa bedanya kita menyediakan rumah dengan sekadar menyediakan tempat berteduh?

Saya sering mengatakan, kebijakan publik yang baik bukan hanya yang terlihat besar di atas kertas, tapi yang terasa manfaatnya di dapur dan ruang tidur rakyat. Rumah adalah ruang paling personal dalam kehidupan seseorang. Di sanalah keluarga dibentuk, nilai ditanamkan, dan masa depan dirajut.
Maka ketika kita bicara standar hunian, kita sedang bicara tentang martabat manusia.

Saya paham betul, negara punya keterbatasan. Anggaran tidak tak terbatas. Lahan semakin mahal. Tantangan urbanisasi makin kompleks. Tapi justru karena itulah, kebijakan harus dirancang dengan cermat dan berani mengambil sikap yang berpihak pada kualitas hidup jangka panjang.

Lebih baik membangun rumah sedikit lebih mahal tapi layak, daripada membangun rumah murah yang kelak menimbulkan masalah kesehatan dan sosial yang jauh lebih mahal untuk ditangani.

Dalam diskusi-diskusi itu, saya selalu menekankan bahwa standar nasional yang lebih kecil seharusnya bukan menjadi alasan untuk menurunkan kualitas. Justru program besar seperti 3 juta rumah harus menjadi momentum untuk menaikkan standar, bukan menurunkannya.

Saya tidak ingin generasi mendatang mewarisi masalah baru karena kita hari ini terlalu tergesa-gesa mengejar angka.
Pertanyaannya kemudian sederhana tapi menohok: untuk siapa sebenarnya rumah-rumah itu dibangun?
Apakah untuk memenuhi target statistik, atau untuk benar-benar menjadi tempat hidup yang manusiawi?

Saya percaya, Presiden dan jajaran pemerintah memiliki niat baik. Tugas kami di DPR adalah memastikan niat baik itu diterjemahkan dengan kebijakan yang tepat dan berpihak. Di sinilah fungsi pengawasan dan masukan menjadi penting, bukan untuk menghambat, tapi untuk menguatkan.

Saya membayangkan rumah rakyat yang tidak harus luas dan mewah, tapi cukup lega untuk bernapas. Ada ruang keluarga yang benar-benar bisa disebut ruang bersama. Ada kamar yang memberi privasi. Ada jendela tempat cahaya pagi masuk, membawa udara segar dan harapan.

Mungkin terdengar sederhana. Tapi bagi jutaan keluarga Indonesia, itu adalah mimpi besar.

Kalau negara sudah berkomitmen hadir melalui program perumahan, maka hadirnya harus utuh. Tidak setengah-setengah. Tidak sekadar formalitas.

Saya yakin, kebijakan yang berpihak pada kesehatan dan kelayakan hidup akan selalu menemukan jalannya, selama kita mau mendengarkan suara rakyat dan berani mengambil keputusan yang benar, meski tidak selalu mudah.

Pada akhirnya, ukuran rumah memang bisa dihitung dengan meter persegi. Tapi nilai sebuah hunian tidak pernah bisa diukur hanya dengan angka. Ia diukur dari seberapa layak manusia hidup di dalamnya.

Dan di situlah, negara seharusnya berdiri. (*)

* Edi Purwanto, Anggota DPR RI dapil Provinsi Jambi

Pos terkait