Oleh : Edi Purwanto *
Ketika saya pertama kali turun langsung mendengar aspirasi warga transmigrasi di Desa Gambut Jaya, Kecamatan Sungai Gelam, Muaro Jambi, saya melihat wajah-wajah harap yang tak pernah padam meskipun janji mendapatkan lahan selama lebih dari satu dekade belum juga terpenuhi. Kampung yang seharusnya menjadi tempat hidup yang adil dan produktif bagi 200 kepala keluarga justru tertatih oleh masalah administratif yang tak kunjung tuntas.
Pagi itu, saya ditemani oleh beberapa perangkat dari Kementerian Transmigrasi. Mereka menyampaikan kepada saya melalui pesan bahwa upaya penyelesaian sengketa lahan ini sudah dibahas sampai ke tingkat rapat bersama Wakil Menteri ATR/BPN. Namun, kenyataannya, Badan Pertanahan Nasional menegaskan bahwa menurut regulasi internalnya, Surat Hak Milik (SHM) yang telah terbit lebih dari lima tahun hanya bisa dibatalkan lewat jalur pengadilan.
Sebagai wakil rakyat yang mendengar langsung kesulitan warga, itu menyeret saya masuk ke ruang refleksi yang penuh kontradiksi. Saya memikirkan: apa arti sebuah sertifikat dan janji pendistribusian lahan jika keadilan tak kunjung datang? Bukankah niat awal kita telah menjanjikan setiap KK transmigran 2 hektare lahan untuk permukiman dan usaha? Faktanya, yang mereka terima hanyalah lahan permukiman sekira 0,06 hektare saja.
Diskusi kami dengan ATR/BPN tak mudah. Mereka berpegang pada aturan yang mengikat; sementara itu, saya tak bisa serta-merta menjadikan aturan itu sebagai penghalang untuk mengembalikan hak yang semestinya sudah di tangan warga. Sebagai mantan Ketua DPRD Jambi, mempertemukan keduanya—aturan dan keadilan substantif—adalah tantangan terbesar saya.
Dalam rapat koordinasi kemarin, Kementerian Transmigrasi bahkan menghadirkan saksi yang memahami tuntas latar sejarah Gambut Jaya: mantan Bupati Muaro Jambi, Burhanuddin Mahir. Kehadiran beliau bukan sekadar formalitas, melainkan upaya konkret untuk memperkuat posisi warga di hadapan argumen legal yang kaku.
Kita semua tahu sejarah transmigrasi ini dimulai pada 2009. Ratusan keluarga lokal dan pendatang dari Jawa Tengah menunggu lahan yang dijanjikan untuk membangun masa depan mereka. Sayangnya, sebelum program itu berjalan, sebagian lahan sudah dikuasai pihak lain sejak 1996. Ketika Badan Pertanahan Nasional menerbitkan 105 SHM kepada penggarap melalui program redistribusi tanah sebelum kedatangan para transmigran, itu menciptakan konflik yang terus berulang hingga hari ini.
Sidang akhir penyelesaian sengketa ini akan segera digelar. Saya berharap bukan sekadar formalitas pengadilan semata. Saya berharap sidang itu membuka ruang pemaknaan ulang atas bagaimana kebijakan pertanahan harus berpihak kepada rakyat yang sejak awal paling dirugikan. Saya tetap berharap ATR/BPN dapat mempertimbangkan secara matang pembatalan SHM tersebut demi keadilan substantif.
Namun, jika jalan hukum tetap menjadi satu-satunya pilihan, saya dan kementerian akan pastikan warga mendapatkan dukungan hukum yang layak untuk memperjuangkan haknya. Itu bukan sekadar kewajiban administratif; itu adalah amanat moral yang tak bisa saya ingkari sebagai wakil rakyat.
Refleksi saya selama mengawal sengketa ini sederhana namun kuat: negara harus hadir bukan cuma lewat regulasi, tetapi lewat praktik keadilan yang nyata di kehidupan masyarakat. Desa Gambut Jaya bukan sekadar wilayah di peta; ia adalah saksi nyata bagaimana kebijakan publik harus bekerja demi kesejahteraan rakyat.
Saya akan terus berjuang; karena setiap inci tanah yang diperjuangkan oleh warga adalah bagian dari harga diri bangsa kita. (*)
* Edi Purwanto, Anggota DPR RI dapil Jambi












