Novel Jambi, “Pemburu Emas” – By Monas Junior

Novel Jambi "Pemburu Emas" Legenda Bermula by Monas Junior
Novel Jambi "Pemburu Emas" Legenda Bermula by Monas Junior

Tiba di rumah, aku memarkirkan motor di garasi. Melepas sepatu, masuk ke rumah pakai kunci sendiri (setiap anggota keluarga kami memiliki kunci masing-masing), menuju kamar dan memasukkan beberapa lembar pakaian ke dalam tas Eiger hitam.

Aku mencari-cari buku tabungan, ternyata ada di dalam laci meja belajar. Angka di saldo lebih dari cukup untuk perjalanan satu minggu.

Sukurlah aku termasuk anak muda yang rajin menabung.

Bacaan Lainnya

Berbekal buku tabungan itu, aku meluncur ke bank. Setelah mencairkan seluruh uang, aku memesan online tiket pesawat Jambi-Jakarta di pukul dua siang. Beruntung masih ada satu kursi tersisa di on-air. Meski agak mahal, aku nekat mentransfer uang ke Traveloka.

Berikutnya, aku sudah berada di sini, menanti maskapai yang telatnya lebih sering ketimbang tepat waktu itu.

Jika kau bertanya mau ke mana aku setiba di Jakarta? Entahlah, aku masih bingung. Yang pasti, pertama kali aku berusaha ke tempat pemakaman yang hadir di dalam mimpiku, tempat aku melihat kotak besi yang tersimpan di dalam salah satu makam. Jika kau bertanya apa isi kotak itu, nnti kita cari tahu karena aku sendiri masih penasaran apa yang ada di dalam kotak itu.

***

Setiba di Bandara Soekarno-Hatta, aku langsung googling. Beruntungnya hidup di zaman sekarang, ada google map yang selalu siap menjadi panduan arah bagi siapa saja. Berbekal map di dewa mesin pencari itu, aku mencocokkan pemakaman yang ada di Jakarta dengan yang ada di mimpi. Tak ada satupun yang cocok. Kalaupun ada pemakaman mewah, itu tempatnya di Karawang atau dekat Jawa Barat.

Aku mencoba peruntungan lain. Dengan go-car, aku meluncur ke Karawang. Sopirnya ramah. Lelaki muda awal 30-an. Kulitnya bersih, rambut hitam lurus potongan pendek, tubuhnya agak kurus tapi wajahnya cerah. Ia mengintipku dari balik kaca spion di atas dashboard mobil bermerk Avanza. Ia memperkenalkan dirinya Asep.

“Di sana ada dua pemakaman mewah. Mas mau yang mana?”

Kang Asep menjelaskan secara detail satu per satu makam mewah di kawasan yang kami tuju. Aku menyimak dengan susah payah. Kau tahu, meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan siapapun (kecuali Novi), adalah hal yang pertama kulakukan sejak dilahirkan. Tetapi, rasanya ini sudah pernah kulakukan berkali-kali di masa lalu. Makanya, di antara takut-cemas, aku mengukuhkan hati untuk tetap melanjutkan perjalanan. Toh, kalaupun semua ini salah, berarti aku bisa pulang dengan hati lega. Semua teori lenyap, dan aku bisa meneruskan kisah hidup dengan Novi tanpa ada ganjalan lagi.

“Jadi mau yang di mana, Mas?”

Kang Asep membuyarkan lamunanku.

“Kita ke semua tempat itu, Mas. Saya lupa pastinya di mana,” jawabku.

Kang Asep mengangguk, untuk selanjutnya kembali fokus di setir bersarung belundru biru itu.

Perjalanan kali ini diisi kesunyian. Aku diam, Kang Asep juga diam. Sepertinya kami menjaga pembicaraan di hati masing-masing. Tanpa suara, tapi seperti saling memahami. Sama-sama tak mau diganggu, entahlah.

Pos terkait