Novel Pemburu Emas Vol 2: Araya Argathe Si Lidah Sakti by Monas Junior

Novel Pemburu Emas Vol 2
Novel Pemburu Emas Vol 2.Foto: Jambiseru.com

“Cinta Itu Sakti. Ia Tak Butuh Nama, Hanya Butuh Debur Mimpi dan Ombak Kebahagiaan”

I

Pangkalan Jambu pukul 18.30 WIB.
Malam sedang tersedak ketika berhasil menelan matahari. Angin berganti tugas. Mereka melapor kepada kelam yang menjadi penjaga baru. Binatang nocturnal keluar sarang, mengusir hewan siang yang mulai mengantuk.
Jangkrik masih setia bernyanyi di tepi sungai berbatu dengan mesin genset yang menyala. Listrik dari genset menyalakan lampu-lampu di atas tiang kayu, menerangi tepi sungai yang masih dihuni 7 penambang emas.Ke tujuh pria itu sedang berdiri menghadap mesin jenset. Tangan mereka sibuk menarik selang berwarna putih yang lubangnya sebesar mulut bayi sedang menganga. Baju mereka berlumpur. Tak jelas lagi warnanya.

Bacaan Lainnya

“Siap semua? Kita harus selesai sebelum tengah malam.”

Pria bertubuh kurus, tinggi semeter lebih sedikit, rambut pendek, memecah suara genset. Enam pria lain yang tinggi tubuhnya hampir sama dengan pria itu, mengangguk cepat.

“Pak Budi jaga genset. Kami yang turun ke dalam. Titiknya sudah ketemu, jadi mudah-mudahan malam ini kita sudah dapat hasil,” ujar pria tadi.

Pak Budi, pria dengan tubuh lebih tambun, mengangguk.

“Ok Pak Samsul. Semua sudah siap. Minyak genset cukup sampai besok. Selang oksigen juga dalam kondisi baik. Tak ada bocor,” timpal Pak Budi.

Pak Samsul dan lima pria lain mulai bergerak meninggalkan Pak Budi yang berdiri di sebelah genset itu.

Ke enam pria itu mulai memasuki lubang berbentuk sumur. Membawa perlengkapan sederhana, mereka hati-hati turun ke dalam lubang itu. Selang-selang menghalangi langkah mereka. Tetapi beberapa menit kemudian, mereka telah hilang di balik gelapnya dasar lubang.

Suara dan asap dari genset mengisi suasana di permukaan tanah. Pak Budi dengan sigap mengecek semua selang; selang penyedot, penyemprot dan suplai oksigen. Semua masih terinstal dengan baik. Tak ada masalah.

Pak Budi berjalan pelan ke tikar tak jauh dari genset. Duduk, merogoh HP senter, lalu membuka pesan singkat. Baru saja akan membalas SMS, tiba-tiba…

“Dhuar!!!”

Mesin genset meledak. Tanah bergetar. Api dan asap memenuhi malam yang gelap. Lampu seketika padam. Akibat getaran itu, bibir lubang longsor. Tanah menimbun akses masuk lubang jarum itu.
Tak menunggu lama untuk tanah turun memenuhi lubang.

Di dalam lubang, enam pria panik. Mereka yang sedang berada di dalam lubang terisi air dan lumpur, benar-benar mengandalkan oksigen dari luar. Akibat genset padam, pasokan oksigen dari selang mereka terhenti.

Saat kekurangan oksigen, mereka ditekan lagi oleh tanah dan air yang mulai memenuhi lubang. Tangan mereka menggapai-gapai permukaan tanah yang mulai turun, tubuh mereka terjepit. Dalam hati, mereka tahu bahwa ini adalah saat mereka berpisah dengan dunia. Dan mereka juga sadar resiko menjadi penambang emas lubang jarum. Nyawa taruhannya.

Di atas, Pak Budi memadamkam api di mesin genset. Namun sia-sia. Di tengah kepanikan, ia berusaha menghubungi orang desa. Tetapi karena sinyal HP di sana sedikit, Pak Budi tak bisa meraih siapapun.

Ia juga tahu, tak ada yang bisa dilakukannya untuk menolong ke enam rekannya yang sedang terjepit di dalam lubang sedalam puluhan meter itu. Lubang sempit dengan lebar seukuran tubuh manusia dewasa, meliuk-liuk dari pinggiran sampai membelah sungai dari bagian bawah, membuat pencarian akan sulit dilakukan. Apalagi untuk ia seorang diri.

Pak Budi melangkah ke bibir lubang. Melihat ke arah lubang berkat pencahayaan api yang masih menyala dari genset, ia makin sadar bahwa harapan rekan-rekannya selamat sangat tipis.

Meski begitu, Pak Budi meninggalkan lubang itu, bergerak ke arah motor butut yang terparkir sembarangan di samping tenda terpal. Meminta bantuan orang luar adalah tujuannya. Tak ada pilihan lain. Ia harus menemui aparat desa terdekat, untuk kemudian pergi meninggalkan desa ini untuk selamanya. Sambil berdoa semoga jasad ke enam rekannya bisa ditemukan oleh tim evakuasi.

Tapi baru saja motor diengkol, tiba-tiba ada cahaya silau muncul dari lokasi lubang. Makin lama makin terang. Saking silaunya, Pak Budi menutup mata dengan tangan kanan.

Sedetik kemudian, cahaya itu hilang. Pak Budi menurunkan tangan. Kini yang tersisa hanya gelap. Api di genset sudah padam. Susana hening. Bahkan jangkrik pun entah ke mana nyanyiannya. Benar-benar sunyi.

Pak Budi duduk terpaku di atas jok motor. Setelah menguasai kekagetannya, ia kembali meraih HP senter, menyalakan, dan menyinari ke arah genset.
Ternyata… Tak jauh dari genset itu…
**

Pos terkait