Novel Jambi, Gadis Bersenyum Surga (Babak 3) By Monas Junior

“Aku, Hati dan Pasukan Cupid yang bertekuk lutut di kakimu”

Baiklah. Sudah pagi lagi. Anas merasa beruntung karena ia telah mengalahkan matahari pertama hari ini sejak dua jam lalu.

Di indekos yang sama, di atas tunggangan yang sama, memakai celana blue jeans yang sama hanya beda kemeja saja, serta keruwetan menyisir rambut keriting panjang yang sama, Anas meluncur pelan dari teras kostannya ke jalan protokol.

Targetnya masih sama, bertemu Pak Mus, Ketua Yayasan kampus yang ingin dilobinya.

Bacaan Lainnya

Sepagi ini, jalan-jalan protokol penuh sesak. Semua berebut ingin cepat sampai di tujuan masing-masing.

Kembali di simpang empat kemarin, Anas bernafas lega karena ia ingat di mana harus menaruh helm ketika polisi kemarin menatapnya pangling. Ia melempar senyum, tapi polisi itu terlalu sibuk untuk memperhatikan keramahannya.

Lampu hijau. Anas memacu Jupiter umur setahun itu dengan santai. Dibiarkannya mobil-mobil, motor-motor dan kerutan kening para pengendara mendahuluinya. Bagaimanapun, ia terlalu pagi hari ini.

Jarak 10 kilometer dari Anas, Neneng sedang sibuk memasang sepatu kets hitam, menyandang tas katun warna pink, lalu bersama gadis kurus tinggi 1,6 meter berjalan cepat ke luar teras rumah dua pintu.

“Adek kalau pulang telepon dulu, soalnya Ayuk mau ke pasar sebelum ke rumah,” Neneng memandang ke Mila, adiknya yang masih kelas 1 SMA.

“Tapi ndak lama kan,  Yuk?”

“Ndak. Paling jam dua sudah di rumah.”

“Mila nunggu di rumah kawan dekat sini aja ya.”

“Ya lah.”

Mereka berdua sampai di simpang lorong. Menyeberang jalan yang dipenuhi mobil-motor, keduanya berpisah dengan salam cium tangan dari Mila ke Neneng.

Neneng menoleh sejenak ke arah adiknya yang sudah bertahun-tahun didera sakit paru-paru itu. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca membayangkan betapa sengsaranya gadis manis itu setiap kali mau tidur.

“Yang sabar ya, Dek,” lirihnya dalam hati.

Mobil angkot warna biru yang ditungguinya berhenti. Bergegas naik, ia duduk dan berharap adiknya bisa menjalani hari ini dengan ringan, seringan embun yang terangkat matahari pagi.

Sampai di kampus yang sudah penuh dengan mahasiswa sedang memarkirkan motor, Neneng merangsek masuk ruang sekre Kesenian. Ia periksa proposal kemarin yang diketiknya, ternyata file-nya masih ada di komputer. Lega, ia bergegas ke arah tangga bagian dalam kampus, melintasi Anas yang sibuk mengetik SMS di ponselnya.

Keduanya saling tak sadar sudah bersua, tapi saking sibuknya dengan target masing-masing, pertemuan itu jadi tak bermakna. Dua cupit terlihat bersedih di atas kepala keduanya.

Tiba di lantai 2, Neneng mencari sahabat-sahabatnya. Ah, rupanya di sana, tepat di pintu masuk ruang tengah dari 10 ruang lantai 2.

“Pagi Lus, Lot, Ma,” Neneng menyapa ceria.

Ketiga sahabatnya menyapa lebih ceria lagi. Tawa-tawa ringan mereka mengisi suasana pagi di kampus ungu yang sibuk itu.

Sedang di lantai 1, Anas mengumpulkan keberanian untuk mengetuk ruang bagian administrasi kampus.

Tujuh tahun. Ya, tujuh tahun sudah ia tak menginjak ruang ini. Ruang suci yang hanya mahasiswa tertentu saja yang bisa memasukinya. Kalau tidak penerima beasiswa, tentu yang bermasalah.

Ia adalah yang terakhir. Bermasalah karena sudah 7 tahun tidak masuk kampus. Tak hadir di tiap mata kuliah meski selalu bayar uang semester.

Ini adalah kali kedua ia bertemu dengan Pak Mus. Setelah sebelumnya, ia memohon-mohon agar tidak dikeluarkan dari kampus kepada Pak Mus. Bersukur pria bertubuh kekar itu mau mengampuninya hingga akhirnya menjadwalkan pertemuan di hari kemarin.

Anas berharap masih bisa bertemu dengan penguasa kampus itu meski kemarin tak berhasil bersua.

Tok! Tok! Tok!

“Masuk!”

Suara perempuan.

Anas perlahan membuka pintu, melongokkan kepala ke dalam, lalu masuk dua langkah. Menutup pintu, kemudian berjalan menghampiri ibu Neti, dosen Logika Algoritma yang mematikan.

“Anas?”

“Pagi, Buk.”

“Ke mana aja kamu? Sekarang sudah kerja? Perasaan ndak pernah lihat kamu wisuda, Nas.”

“Memang belum, Buk.”

“Hah?”

Bu Neti menganga. Sepagi ini hanya ada wanita bertubuh tambun ini di ruang yang makin lama makin menyeramkan bagi Anas.

“Pak Mus ada, Buk? Sudah janjian kemarin.”

“Oh. Ada. Tunggu, ya.”

Bu Neti mengetuk pintu kaca di bagian belakang ruang itu. Tubuhnya menghilang sesaat, lalu muncul lagi dari balik pintu sambil membawa senyum yang lebih mirip rengutan.

“Masuk.”

“Makasih, Buk.”

Di dalam, pria berambut pendek klimis sisir kanan yang mengenakan baju safari krem menatapnya dengan tajam. Kedua mata, kerongkongan, hingga jantung Anas nyeri seketika.

“Duduk.”

“Pagi, Pak.”

Pak Mus meletakkan dua tangannya di atas meja kaca hitam.

“Masih mau lulus?”

“Masih, Pak.”

“Kan kamu sudah kerja. Buat apa titel?”

“Eee…”

Pertanyaan menbagian depank yang tak bisa dijawabnya. Benar-benar serangan telak buat otaknya yang beku ketakutan.

“Kamu kan sudah jadi wartawan. Pasti wawasan dan pergaulannya lebih luas dari kami-kami di kampus ini. Ya, kan?”

“Eee… bukan gitu, Pak. Saya…”

Ah, mata tajam itu, benar-benar berhasil melukai lidah Anas.

“Saya sudah dihubungi Bang Ucok. Dia sudah jelaskan ke saya tentang kamu.”

Ah, Bang Ucok, senior di kantor yang sangat baik hati.

“Jadi, gimana, Pak?”

“Kamu harus kuliah lagi. Masuk dari semester 1, sampai semester 5.”

“Maksudnya, Pak?”

“Saya sudah lihat mata kuliah kamu yang sangat banyak tertinggal itu. Solusinya, kamu harus ikuti setiap mata kuliah di tiap tingkatan. Hanya itu.”

“Jadi, harus semua kelas di semua tingkatan saya masuki, Pak?”

Pak Mus mengangguk tegas. Anas merengut pula dengan tegas.

“Sanggup?”

“Sanggup, Pak.”

Tidak sanggup! Jerit hati Anas meronta-ronta ingin dilepaskan keluar dan menonjok muka pria semrawut yang sok-sokan itu.

Di ruang sekre Kesenian, Anas mencari-cari Didit, satu-satunya adik leting dan sahabatnya yang tersisa di antara ratusan seletingnya di kampus ungu ini. Tapi Didit tak ada di situ. Ia berjalan ke lantai 2, mengintip dari balik jendela kaca satu per satu ruang kelas yang penuh diisi anak-anak yang sedang ujian semester. Lagi-lagi Didit tak ditemukan.

Capek, masih di lantai 2, Anas duduk di salah satu kursi depan ruang paling pojok sebelah kanan. Ruangan yang persis berada di atas ruang sekre Kesenian.

Matanya terpejam sementara otaknya makin panas memikirkan setahun ini harus keluar masuk kelas dari pagi sampai malam hari. Baik reguler maupun kelas non reguler, terpaksa harus dimasukinya demi mengejar puluhan mata kuliah yang terlewatkan 7 tahun terakhir ini.

Anas mengurut keningnya yang berdenyut-denyut dengan tangan kanan. Saat tangannya dilepas, Gadis Mungil yang Cantik itu tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu.

Kemeja putih lengan panjang, rok hitam selutut, sepatu hitam berkaos kaki putih, rambut hitam sebahu dibando putih, membuat semua beban di tubuh Anas melayang diangkat matahari yang mulai menua.

Lima menit lebih ia hanya terpukau menatap Gadis Mungil yang Cantik itu. Di menit berikut barulah diberanikannya diri untuk menyapa pasangan hatinya itu.

“Dek. Jam berapa sekarang?”

Gadis itu kaget. Menatap Anas sesaat, lalu beralih ke jam tangan berkulit hitam di tangan kanannya yang berbulu halus.

“Jam 10, Kak.”

Ia menatap Anas lagi. Kali ini Anas menggigil. Bukan karena dingin, tapi karena hatinya dan pasukan Cupid bersekongkol ingin menaklukkan diri di tapak kaki Gadis Mungil yang Cantik itu. Benar-benar bertekuk lutut.

“Makasih, ya.”

Neneng hanya tersenyum. Tapi senyum yang tidak “hanya” buat Anas.

“Dek.”

“Ya, Kak.”

“Boleh minta nomor HP? Kakak mungkin nanti masuk kelas Adek. Jadi kalau perlu info kuliah, Kakak telpon Adek, aja.”

Lagi-lagi Neneng tersenyum. Senyum dikulum yang menawan. Unik. Aneh. Tapi membahagiakan.

“Kakak sudah jarang lihat cewek sekarang pakai rok. Adek cantik sekali pakai rok kek begini.”

Teng. Tiba-tiba keberanian Anas muncul. Hati dan pasukan Cupid berhasil mempropokasi dirinya.

Lagi-lagi senyum itu, senyum yang meluluhlantakkan.

“Nomor HP?”

Setengah memaksa, Anas mengeluarkan HP-nya. Lalu mencatat angka-angka yang disebut Neneng. Usai itu, sudah.

Keberanian dari hati dan pasukan Cupid hanya sebatas itu.

Usai memasukkan HP ke dalam kantong celana, Anas meninggalkan gadis itu di tempat yang semula bersama separuh hati, separuh jiwa dan separuh masa depan yang tersia-siakan. Cupid di atas kepalanya menangis sejadi-jadinya.

Ujian selesai. Keramaian menjadi-jadi di kampus ungu begitu semua mahasiswa yang berada di lokal masing-masing keluar secara bersamaan.

Anas kembali ke ruang sekre, sedang Neneng kembali ke rangkulan sahabat-sahabatnya.

***

Novel ini diupdate setiap pagi

LANJUTKAN KE BABAK 4

Indeks Novel Jambi Gadis Bersenyum Surga By Monas Junior

BABAK 1
BABAK 2
BABAK 3
BABAK 4
BABAK 5
BABAK 6

Baca Juga Novel Jambi Lain : “Pemburu Emas” – By Monas Junior

Pos terkait