Cerpen Jambi : Makan Bajamba By Mutia Jurnalis
Balai di tengah kampung sudah ramai. Para Amak sudah berdatangan mengantar masakan untuk acara Makan Bajamba1 sebagai puncak helatan Tour De Singkarak. Dulang-dulang besar berjajar penuh berisi lauk pauk khas Minang. Mangkuk-mangkuk stainles besar berisi rendang, gulai ayam, sampadeh2, pangek cubadak3, tunjang, cincang, paru, dendeng balado, sambal baluik4, sambal hijau hingga nampan besar berisi rebusan pucuk ubi dan ulam mentimun telah tertata rapi. Tikar-tikar telah sejak sehari sebelumnya digelar hingga ke bawah-bawah tenda. Termos-termos besar berisi nasi yang dimasak khusus menggunakan Bareh5 Solok, berjajar menunggu dituang dalam nampan-nampan besar untuk nantinya disantap bersama-sama.
Aku merapikan meja beralas taplak kain merah jambu. Membantu Uni Desri, menata aneka kue dan juga bungkusan makanan untuk dipamerkan dan dijual dalam bazaar yang juga digelar sehari itu. Meja-meja mulai dikerubuti pengunjung dari provinsi tetangga macam Jambi, Pekanbaru, Palembang bahkan dari luar pulau.
“Ramai pengunjung ya, Niah,” bisik Uni Desri sambil menyeka peluhnya. Aku membalas dengan senyum sambil menata lima puluh bungkus kecil rendang buatan Amak. Meski acara Makan Bajamba sering kami laksanakan saat peringatan acara keagamaan, namun, Makan Bajamba kali ini berbeda karena dilaksanakan sebagai puncak festival Tour De Singkarak. Tentu saja yang hadir bukan hanya orang sekampung. Bahkan sejak kemarin, di kampung kami sudah berseliweran bule-bule yang penasaran dengan tradisi Makan Bajamba.
“Niah, tolong kau ambilkan Lapek Sagan6 dalam baskom putih besar itu,” kuikuti arah jari Uni Desri. Dadaku terkesiap. Ada sosok yang amat kukenali tengah menata kue entah apa di dekat Lapek Sagan yang diminta Uni Desri.
“Uni sajalah. Biar Niah yang jaga di sini,” bisikku. Uni Desri melepas pandangan heran. Lalu menatapku maklum.
“Ada Rangkayo Asminar ternyata. Baik, biar Uni ambil sendiri.”
Uni Desri bergegas bangkit meninggalkanku sendiri dengan kecamuk yang sukar kutata. Rangkayo Asminar adalah ibunya Uda Yunus. Sudah bukan rahasia lagi jika aku dan Uda Yunus saling jatuh hati dan memiliki hubungan manis. Tak pernah ia katakan cinta. Dan bagikupun tak perlu. Mata Uda Yunus terlalu bening untuk menyembunyikan cinta yang bersemaian di dasar hatinya. Dan Uda Yunus yang alim itu juga sepertinya mampu menerka perasaanku. Sepulang mengajar di Dinniyah tempatku bersekolah dulu, Uda Yunus kerap singgah ke lapau7 nasi Amak untuk sekedar membeli lauk nasi. Rendang dan dan Gulai Banak8 serta sambal hijau adalah menu yang paling sering dia pesan. Dan aku selalu merasakan debar yang sama saat menerima uang yang ia sodorkan atau saat menyorongkan kembalian untuk Uda Yunus.
“Tanganmu gemetar, Niah,” kata Uda Yunus suatu kali yang langsung membuat pipiku bersemu merah.
“Aku ingin tahu apakah tanganmu juga akan gemetar saat kuselipkan cincin dijari manismu.”
Kalimat yang manis. Magis. Dan aku tersihir. Sejak saat itu seakan ada ‘ikatan’ tak terlahir lisan antara aku dan dia. Sebuah hubungan indah yang mengalir apa adanya. Sayang, hubungan yang belum seberapa tinggi kami bangun itu, tercium ibunya, Rangkayo Asminar. Dan dia berang. Sebagai keluarga bangsawan, menikahi jelata sepertiku adalah kemustahilan. Sebuah kisah klasik yang tak lekang dimakan jaman. Ada, walau tak selalu terbaca.
Sejak saat itu, Uda Yunus tak lagi sesering dulu singgah ke lapau Amak. Aku mencoba menelan takdir. Pahit. Tapi tak sepahit menelan kerinduan berhari-hari tak lagi menatap mata bening bersemburat cinta diwajah Uda Yunus. Ah, Saniah. Sadar dirilah. Sesekali aku tersenyum menertawakan diri. Seorang Saniah, gadis penjaga lapau bersanding dengan Uda Yunus, guru madrasah tamatan Turki dari keluarga bangsawan pula? Aku tersenyum pahit. Betapa lucunya. Sudut hatiku nyeri.
“Heh, Niah! Kenapa kau senyum-senyum? Pasti ingat Yunus ‘kan?”
Aku tersadar ternyata Uni Desri sudah berdiri disebelahku dengan Lapek Sagan dalam baskom yang ditentengnya.
Acara Makan Bajamba sudah dimulai. Ditandai dengan pembacaan ayat suci yang dibawakan dengan suara amat mendayu Uda Yunus. Mataku tak mampu menyembunyikan kekaguman. Juga kerinduan. Juga kehilangan. Duhai. Sakitnya cinta terhalang kasta. Semua memuji kemerduan suara Uda Yunus dan kepiawaiannya membaca ayat suci. Samar kudengar suara Rangkayo Asminar mengungkapkan kebanggaannya saat Uda Yunus menyudahi bacaannya. Lalu, para penghulu adat menyambung dengan saling berbalas pantun. Sementara kami, mulai duduk menata diri melingkari dulang berisi nasi dan jamuan lauk pauk yang menggugah selera. Kami duduk bertiga hingga bertujuh melingkari dulang. Para lelaki duduk bersila. Perempuan duduk bersimpuh. Saat tangan kanan menyuap nasi, tangan kiri wajib menadah di bawah dagu agar jika ada nasi yang jatuh, tidak bercecer kembali ke dalam dulang. Sehingga tidak ada perasaan jijik bagi orang lain untuk kembali menyuap.
“Geser, Niah,” sebuah suara yang amat kukenal meletus disebelahku. Aku tersentak mencoba meyakinkan bahwa itu bukan Rangkayo Asminar. Sayangnya, itu benar-benar Rangkayo Asminar. Untuk apa dia datang duduk di sebelahku? Bukankah tadi dia duduk di tengah? Aku menggeser dudukku. Berusaha menenangkan deburan tak nyaman, aku mulai menjumput dedak rendang dalam nasi hangat dan menyuapkan ke mulutku yang tetiba hilang selera.
“Rangkayo, sedap nian suara si Yunus. Beruntung nian punya anak pandai mengaji,” puji Etek Dahlia. Rangkayo Asminar melebarkan senyum.
“Terima kasih. Tentu saja pintar mengaji. Buat apa jauh-jauh kami kirim ke Turki kalau tak ada hasil. Putera kesayanganku, biji mataku.” Rangkayo Asminar menyesap air minum mineral.
“Segeralah ambil menantu. Kawan sepantaran Yunus sudah beranak satu dua. Tak adakah yang teringin satu untuk menantu?”
Etek Dahlia melirikku. Aku nyaris tersedak. Buru-buru aku menyesap air dan menelan nasi yang belum lumat. Uni Desri mengangsurkan sehelai tisu. Perempuan itu memang paling tahu suasana hatiku. Rangkayo Asminar menangkap gelagat tak baik sebagai reaksi spontanku yang tak dapat kutahan.
“Oh, menantu. Sudah, tentu saja. Sebelum bulan puasa nanti kami berencana baralek gadang, menikahkan Yunus dengan kemenakan penghulu nagari. Itu, si Nurmadina. Tahun ini dia lulus dari universitas.”
Nurmadina. Kueja nama cantik itu. Walau tak pernah melihat wajahnya, mendengar namanya sudah dapat kubayangkan keelokan parasnya. Kurasakan mataku panas. Nasi tak lagi tertelan. Sekarang aku tahu maksud Rangkayo Asminar duduk di dekatku. Secara tak langsung, dia ingin mengumumkan berita itu laangsung ke telingaku. Tuhan. Selamatkan aku. Andai mampu, aku ingin melenyapkan diri detik itu juga. Tak sanggup kudengarkan percakapan Etek Dahlia dan Rangkayo Asminar yang seakan sengaja diperdengarkan khusus untuk mengejekku.
“Saniah,” Uni Desri memberi kode lewat matanya. Aku menatapnya.
“Ibu berbaju kuning itu memanggilmu, sepertinya dia ingin membeli rendang buatan Amakmu.” Doaku terkabul. Aku gegas berdiri. Melayani pembeli lebih baik daripada menyantap nasi serasa duri di sebelah Rangkayo Asminar. Terima kasih Uni Desri.
Aku memandangi tiket yang tertera dilayar gawaiku. Pikiranku menerawang jauh. Membayangkan sepetak kamar kost di Bandung tempatku akan menghabiskan beberapa waktu menimba ilmu di sebuah lembaga kursus tata boga. Restu Amak sudah kugenggam. Amak dengan berat hati mengikhlaskan rencana kepergianku. Perempuan yang telah melahirkanku itu dapat merasakan nganga hatiku. Berita terakhir telah merebak rencana baralek gadang untuk Uda Yunus dan Nurmadina. Membayangkan lelaki yang kucintai akan bersanding dengan perempuan lain amat menyakitkan. Bagaimana mungkin aku bisa melewati arak-arakan pengantin itu nanti saat lewat di depan lapau Amak yang sepetak.
Pergi dari kampung adalah jalan terbaik. Meski terkesan pengecut, namun setidaknya aku tak memberikan kesempatan untuk lebih terluka. Kata Amak, hanya keajaiban saja yang bisa menahan kepergianku. Dan lamat-lamat, aku kerap menangkap suara tangis tertahan Amak berharap keajaiban itu hadir untuk menahan kepergianku, dalam tiap hamparan sajadahnya. Tentu saja berat bagi Amak melepasku. Sejak kepergian Abah, hanya aku yang diharapkan membantu usaha lapau nasi Amak, meracik rendang andalan dan juga beberapa jenis lauk nasi lainnya. Amak tentu akan kerepotan bekerja tanpa aku, meski ada Etek Eli yang bersedia membantu dengan upah sewajarnya.
“Niah! Niah! Ada tamu,” suara Amak memecah lamunanku. Kuseka sudut mata buru-buru. Merapikan kerudungku, lalu bergegas menyusul Amak.
“Siapa, Mak?”
“Tak tahu. Katanya orang dinas apa itu, mikro-mikro begitu. Coba kau temui mereka.”
Kubuka tirai pintu. Di ruang tamu kulihat dua orang perempuan dan satu laki-laki duduk berpakain dinas di seperangkat kursi rotan tua. Salah satu dari perempuan itu, kukenali sebagai perempuan berbaju kuning yang memborong beberapa bungkus rendangku saat bazaar di acara Makan Bajamba itu. Perempuan itu berdiri menyalamiku.
“Apa kabar, Saniah? Masih ingat saya?”
Ragu aku mengangguk. Untuk apa mereka ke sini?
“Begini, Saniah. Rendangmu beberapa hari lalu terpilih sebagai rendang yang paling diminati pelancong asing. Bahkan saat kita tawarkan di Jakarta Halal Expo tiga hari lalu, rendangmu diminta memasok pasar Timur Tengah dan sebagian Eropa. Ini peluang bagus, Niah. Saatnya produkmu menembus pasar internasional. Bukan saja peluang keuntungan maksimal yang bisa kau dulang, tapi juga memberdayakan warga sekitar dari sisi penyerapan tenaga kerja. Tentu untuk memenuhi permintaan pasar itu, tidak mungkin dilakukan hanya olehmu dan Amak,” perempuan itu memberi jeda untukku menangkap maksudnya.
“Kau tentu membutuhkan tenaga kerja cukup banyak untuk membantu memproduksi rendang, mengemas, dan sebagainya. Kami akan membimbing dan memberi pendampingan baik dari manajerial maupun pemasaran sesuai standar ekspor-impor. Jangan cemaskan apapun, cukup fokus pada kualitas rendang yang sama seperti yang sudah-sudah.”
Tuhan! Inikah jawaban atas doa-doa Amak? Inikah keajaiban itu, mataku berkaca-kaca.
“Ta..tapi mengapa rendang kami?” Aku nyaris tak percaya. Bergantian kutatap wajah perempuan itu dan juga wajah Amak yang telah basah oleh airmata haru.
“Karena rendangmu memenuhi standar, Niah. Dagingnya empuk, bumbunya meresap dalam setiap serat daging, warnanya yang kehitaman dianggap eksotis memenuhi standar pasar rendang yang diminati pasar internasional dan yang terpenting rasanya benar-benar lezat,” puji perempuan itu. Airmataku sempurna luruh.
“Ini benar?”
Perempuan itu menggenggam jemariku. Meyakinkanku.
“Tentu saja benar, Saniah. Kamu tidak sedang bermimpi. Bahkan senin depan, akan ada kucuran dana khusus untukmu memulai memenuhi permintaan pasar. Tidak banyak memang, hanya lima puluh juta diawal. Kami akan bantu kelola dan manajemen pembukuan juga sesuai standar usaha yang seharusnya. Kamu siapkan, Niah?”
Dengan mantap aku mengangguk. Ini saatnya aku bangkit. Membuktikan eksistensi diriku. Membangkit batang tarandam8. Melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi warga kampungku. Memberdayakan mereka yang bernasib tak beruntung untuk membantu produksi.
“Niah, bagaimana..bagaimana rencanamu ke Bandung?” Amak menatapku penuh harap. Kurengkuh tubuh ringkih itu. Kuciumi keningnya yang bau asap tungku.
“Niah tetap di sini untuk membesarkan usaha rendang kita, Mak. Amak jangan khawatir. Aku tak akan pergi ke Bandung. Keajaiban itu telah datang, bukankah Amak yang undang dalam doa-doa panjang Amak?”
Tak kuhiraukan nganga membayangkan Uda Yunus bersanding dengan Nurmadina. Kesibukanku mengelola usaha rendang nanti tentu tak memberi banyak ruang untuk meratapinya. Akan kucurahkan segenap cinta dan perhatianku untuk tidak mengecewakan mereka yang telah mempercayai rendangku. Rendang yang dimasak Amak dengan api kecil selama berjam-jam di atas tungku. Cintaku boleh terkubur, tapi memajukan usaha rendang Amak dan menembus pasar dunia cukup sepadan untukku bertahan. (*)
Mutia Jurnalis, nama pena dari Siti Mutia, mantan jurnalis Jawa Pos Group di Provinsi Jambi. Aktif menulis cerpen dan romansa sejak beberapa tahun terakhir.
Keterangan:
– Makan Bajamba: Tradisi makan bersama dalam kelompok kecil bertiga atau bertujuh dalam sebuah wadah dan ruang yang sama. Disebut juga makan barampak.
– Sampadeh: Salah satu masakan berkuah khas Minang berwarna merah biasanya diolah dari ayam, daging atau ikan dengan citarasa asam dan pedas.
– Pangek Cubadak: Salah satu masakan khas Minang terbuat dari nangka muda.
– Bareh: Beras
– Lapek Sagan: Sejenis penganan khas Minang terbuat dari pisang dan tepung beras ketan.
– Lapau: Warung
– Mambangkik Batang Tarandam: Memebangkitkan kembali marwah atau kehormatan.
Kumpulan Berita Jambi (Jambiseru.com):
Nomor Telepon Penting di Kota Jambi
Kapolda Jambi yang Baru Disambut Kalungan Bunga
Berita Jambi di Situs Nasional, Kunjungi Link Ini
Ayah di Muaro Jambi Pukuli, Benturkan Badan, Ikat Lalu Perkosa Anak Tiri di Kebun Sawit
Apa Itu Jambi? Berikut Sejarah Provinsi Jambi
Tempat Wisata Jambi yang Seru Dikunjungi
Anda Orang Tua Tinggal di Kota Jambi? Awas DBD Ancam Anak Anda, Korban Capai 200-an Anak
Kota Jambi