Novel Jambi, Gadis Bersenyum Surga (1) By Monas Junior

Novel Jambi Gadis Bersenyum Surga by Monas Junior
Novel Jambi Gadis Bersenyum Surga by Monas Junior

Novel Jambi, Gadis Bersenyum Surga By Monas Junior

By : Monas Junior

[lwptoc title=”Daftar Isi : Novel Gadis Bersenyum Surga by Monas Junior”]

Bacaan Lainnya

Bagian I

“Aku tak pernah berjumpa denganmu, tapi hatiku sudah mengenalimu dengan begitu akrab!”

Hari sudah terlanjur siang. Lelaki kurus yang baru bangun itu bergegas bangkit lalu berlari kecil ke arah kamar mandi dengan celana pendek coklat dan baju kaos ketat juga warna coklat.

Baca Juga Novel Jambi Lain : “Pemburu Emas” – By Monas Junior

Di kamar mandi sebelah kamar tidur, lelaki berambut keriting panjang sepunggung itu menimba air dari bak lalu mengguyur air itu dari ubun-ubun kepalanya.

KEMBALI KE INDEKS UPDATE BERITA JAMBI

A

“Alah…” ia bergumam.

Saking buru-burunya, ia lupa buka baju. Air terlanjur membasahi baju dan celana pendeknya. Tapi karena mengingat sudah terlalu terlambat, tetap saja diguyurinya air dari bak itu ke tubuhnya. Bersampo, bersabun, lalu gosok gigi sekenanya, ia melanjutkan mandi tergesa-gesa di siang jelang pukul 12.00 WIB.

Setelah mengenakan baju kemeja biru berlengan pendek dan celana jeans biru, lelaki itu berjuang keras menyisir rambutnya yang panjang dan bergulung di depan cermin di dinding kamar. Tak berhasil. Sisirnya hampir patah. Ia hanya mampu mengikat rambutnya untuk kemudian ke ruang tamu tempat motor Yamaha Jupiter hitamnya sudah menanti sejak subuh tadi.

Sambil menggiring tunggangannya ke teras indekos, si lelaki tampak mengerutkan kening, mengingat-ingat apalagi yang ia lupakan di siang super telat ini.

“Gara-gara Fahmi ngajak begadang ni! Sempak nian anak tu,” rutuknya sambil mengengkol motor.

Mesin berderu, gerutunya masih berlanjut hingga balik ke kamar.

Disambarnya HP Blackberry dari atas bantal, memasukkan hp itu ke kantong celana, lalu menyambar sepatu jungle hitamnya dari sebelah lemari. Kemudian berlari kecil lagi ke motor di teras.

“Aduh. Notebook!”

Ia turun lagi dari motor, balik ke kamar, menyambar buku catatan kecil dari atas lemari plastik warna coklat, memasukkan buku itu ke kantong belakang celana, kemudian buru-buru keluar. Mengunci rumah, kemudian menunggangi Jupiter kesayangannya ke luar dari area indekos 5 pintu itu.

Dari atas terlihat si lelaki dan motornya merayap di jalan pemukiman padat penduduk Jalan Baru. Selewat jembatan papan, ia sampai di jalan protokol lalu mengambil arah kanan ke arah jalan protokol Telanaipura, arah ke kiri, kemudian berhenti di simpang empat kantor Bank Indonesia.

Lampu lalu lintas lagi-lagi menghalanginya yang sedang memburu jadwal janjian bertemu seseorang yang sangat penting. Polisi Lalu Lintas yang sedang bertugas sempat melirik ke arah lelaki itu.

“Astaga…. Helm!” ujar si lelaki berambut gondrong itu merutuk dalam hati. Kini ia ingat apa yang dilupakannya tadi di indekos.

Beruntung lampu lalu lintas berwarna hijau. Ia gas motornya dengan kencang, menembus satu per satu kendaraan yang sedang antri di simpang itu, dan meninggalkan polisi yang melotot ke arah motornya yang mulai menghilang ke arah Broni.

Kota Jambi di siang ini sedang sibuk-sibuknya. Orang-orang yang istirahat dari kerja hilir mudik di jalanan. Mobil-motor bertumpuk-tumpuk di simpang-simpang. Kemacetan sesaat pada jam makan siang sudah jadi pemandangan biasa di kota yang baru berkembang ini.

Bergeser dikit ke kampus bercat ungu kawasan Sipin, mahasiswa dan mahasiswi tampak baru bubaran dari lokal-lokal mereka. Sebagian menyerbu kantin-kantin di depan seberang jalan, sebagian lagi memilih kongkow-kongkow santai di tempat duduk beton yang melingkari pelataran parkir.

Seorang gadis bertubuh mungil proporsional, rambut lurus sebahu, baju kemeja putih lengan panjang, rok hitam selutut, sepatu kets hitam, tas sandang pink bertali putih, berjalan cepat ke arah pojok kanan kampus. Di dalam markas unit kesenian mahasiswa ini ia meletakkan tasnya di lantai dekat meja PC berlayar tabung.

Komputer itu bertengger di atas meja pendek, operator harus lesehan jika mau menggunakannya. Karena itu, si gadis berambut lurus hitam mengkilap itu merapikan roknya, lalu duduk bersimpuh di depan PC. Telunjuknya mencari-cari tombol power ketika sahabatnya memanggil dari ambang pintu.

“Neng! Ke kantin dulu yuk, baru ngetik proposal.”

Gadis langsing berambut ikal berdiri menatapnya. Seragam kemeja putih rok hitam juga dikenakan gadis itu.

“Duluanlah Fit, baru mulai, malas gerak,” jawabnya, menatap sesaat ke pintu, untuk kemudian mengalihkan tatap ke layar monitor.

Fitri bersikeras. Ia masuk, mendekati gadis di depan PC, lalu menyambar tangan kiri gadis itu.

“Ayok! Lapar nih!”

Akhirnya gadis cantik itu mengalah. Berdiri, lalu pasrah ketika diseret si Fitri hingga ke gerbang kampus.

“Tiiiit!!!”

Klakson mengagetkan kedua gadis itu. Hampir saja keduanya ditabrak motor ketika mau menyerang jalan.

“Woi! Pakai motor lihat-lihat!”

Lelaki gondrong yang mengendarai Jupiter hitam kaget.

“Lah, situ yang salah nyeberang dak lihat-lihat, malah orang yang disalahin!”

“Sudah-sudah. Kan gak kena juga Fit,” ujar si gadis manis sambil gantian menyeret tangan sahabatnya ke seberang jalan.

Fitri masih melotot ke arah lelaki gondrong keriting di atas motor yang masih terpaku di depan gerbang kampus.

“Dasar cewek, dak mau kalah! Huh!” teriak si lelaki tanpa helm itu.

Si lelaki masuk ke kampus, sedang kedua gadis itu masuk ke dalam kantin yang sudah penuh sesak di siang bermatahari terik ini.

Setelah motor terpakir di antara motor-motor lain, ia memandang sekitar dan bergegas ke arah sahabat-sahabatnya yang duduk di dekat gerbang masuk.

“Lihat Pak Mus, ndak?”

“Ndak lihat, Bos. Kayaknya ndak masuk,” ungkap lelaki lain yang juga gondrong.

“Janjinya ketemu pagi.”

“Jiah! Ni dah siang, Bos…”

“Iya, sih.”

Akhirnya lelaki gondrong keriting itu duduk di sebelah si gondrong lurus.

Baru saja membuka rokok kreteknya, ia tercenung membayangkan kejadian beberapa menit lalu.

Ah, gadis itu. Tiba-tiba ia penasaran dengan gadis manis yang penyabar bertubuh mungil itu. Ia begitu familiar. Sangat bersahabat.

“Aku tak pernah berjumpa denganmu, tapi hatiku sudah mengenalimu dengan begitu akrab!” ia bergumam pelan.

“Apa, Nas?”

“Ndak lah, Dit.”

Perutnya memutuskan untuk makan siang sekepul dua kepul rokok di sebelah Didit sahabatnya. Sedang hatinya terus melacak keberadaan pasangannya yang sedang makan entah apa di kantin depan. (Bersambung ke page berikut)

Bagian 2

Pos terkait