Novel Jambi, Gadis Bersenyum Surga (1) By Monas Junior

Novel Jambi Gadis Bersenyum Surga by Monas Junior
Novel Jambi Gadis Bersenyum Surga by Monas Junior

“Hei kau yang belum sadar akan keberadaanku. Apa kabarmu? Aku di sini. Kau lihat? Perhatikan di balik hatimu. Ya, bagian terdalam, di situ lah aku menantimu dalam diam…”

Neneng menatap HP-nya yang hening. Hanya sebuah pesan singkat. Tanpa nama, tanpa keterangan, tanpa petunjuk jelas. Yang tertera hanya tulisan bahwa ada pulsa masuk sebesar Rp 100 ribu.

Untuk ukuran dirinya yang mahasiswi, pulsa senilai itu cukup fantastis. Bahkan lebih dari cukup untuk digunakan sebulan penuh. Jarang-jarang Abangnya yang dikampung mengirimi pulsa sebanyak itu. Seratus ribu! Dari siapa?!

Bacaan Lainnya

Penasaran, gadis yang masih mengenakan daster putih itu menghubungi Abangnya. Ia tanyakan soal pulsa yang barusan masuk, kata Abangnya, bukan ia yang mengirim. Ditanyanya lagi sama Ayuknya di kampung, jawabannya sama, bukan dia.

Lah. Lalu siapa?

Ah, mungkin sahabatku? Tapi siapa? Lusi? Fitri? Ibun? Mama? Siapa…?

Semua yang ditanya tak ada yang mengiyakan. Sama-sama bingung. Kecuali satu yang masuk akal. Mungkin saja, ya, mungkin saja ada seseorang salah kirim pulsa. Masuk akal…

Neneng menanti. Semenit, setengah jam, se jam, dua tiga jam, sampai akhirnya malam ditutup bulan yang rebah di balik awan hitam, tak ada seorangpun yang menghubungi meminta agar pulsanya -yang salah kirim itu- dikembalikan.

Neneng masih menunggu. Sampai akhirnya tubuhnya tak sanggup menahan lelap yang datang dengan pasti.

Pagi Minggu. Tak ada jadwal kuliah. Neneng yang baru keluar dari alam mimpi langsung mencari-cari HP-nya. Tak ketemu. Dicarinya di balik bantal, balik kasur, bawah dipan, samping lemari, tetap tak bertemu.

Diperiksanya kantung baju daster yang sudah seharian dipakainya, tetap tak ada tanda-tanda HP Nokia putih itu.

Sambil mengikat rambut, Neneng berjalan keluar kamar. Tak ada sesiapa di ruang keluarga. Berjalan ke dapur, juga tak ada sesiapa. Barulah di ruang tamu, tepat di sofa coklat yang panjang, Mila sedang memegang HP Nokia kesayangannya itu.

“Adek! Ayuk lah capek nyari-nyari HP tu, taunya sama Adek. Sini!”

Disambarnya HP dari tangan Mila. Mila nyengir. Neneng curiga.

Diperiksanya pulsa, dan yup, tebakannya benar. Separuh sudah hilang.

“Adek ngambil pulsa Ayuk, ya?”

Mila masih nyengir, kali ini pakai anggukan cepat.

“Aduh Deeek… Adek tahu ndak, Ayuk ndak tahu siapa yang ngirim ini? Kalau orang yang salah kirim gimana? Kan repot pas dia minta balikin tapi sudah sama Adek sebagiannya.”

Masih nyengir, Mila pelan-pelan berdiri, lalu pelan-pelan bergeser-geser dari sofa hingga melewati Neneng. Kemudian berlari cepat ke teras. Raib.

Tinggal Neneng yang terjebak kegelisahan.

Tapi insiden pulsa nyasar itu terlupakan begitu saja setelah dua hari kemudian tak ada siapapun yang komplain. Neneng yang masih penasaran belajar menerima, apalagi Mila terus merayunya untuk tak mempermasalahkan siapa yang mengirim pulsa membahagiakan itu.

Usai ujian semester, Neneng dan Mila pulang kampung. Tinggalah Ayuk Yati dan Abang Iparnya di rumah bedeng dua pintu -karena keduanya bekerja di Kota Jambi-, serta tanda tanya besar siapa yang mengirimi pulsa kaget itu.

Dua pekan berlalu, Neneng dan Mila kembali ke Kota Jambi. Tiba di rumah bedeng dua pintu sore hari, keduanya segera beres-beres kamar yang sudah lama ditinggalkan. Tak terlalu berantakan. Ini membuat Neneng dan Mila lega lalu menghempaskan tubuh lelah mereka ke kasur empuk berseprai hijau daun itu.

Di kamar ini, Neneng kembali teringat pulsa nyasar dan si pengirim misterius. Tapi tak diceritakannya ke Mila. Kalau adiknya tahu, bisa-bisa protes sampai malam.

Waktu berputar cepat. Sore, malam, lalu pagi lagi. Neneng berangkat ke kampus sedang Mila menuju sekolahnya. Mereka berpisah di tempat biasa, simpang lorong seberang jalan.

Lalu aktivitas seperti berulang terus sampai akhirnya sebulan habis tanpa terasa.

Satu siang di bulan berikut, Neneng kembali dikagetkan dengan pulsa dan pengirim misterius bulan lalu. Lagi-lagi pulsa 100 ribu rupiah masuk ke HP-nya. Tanpa nama, tanpa keterangan, tanpa petunjuk jelas. Sangat misterius.

Ia serasa dejavu. Sekali lagi diceknya pulsa, tetap segitu, 100 ribu rupiah plus 10 ribu rupiah sisa miliknya yang belum habis. Ia sungguh-sungguh penasaran.

Sekali ini disimpannya baik-baik HP Nokia putih itu. Dan ia berjanji tak akan menggunakan pulsa itu sampai si pengirim diketahui. Yah, tekadnya sudah bulat. Tak akan berkurang serupiah pun pulsa misterius itu.

Tapi percuma.

Pagi esok, lagi-lagi tinggal 50 ribu rupiah di HP nya. Dan ia menebak siapa lagi pelaku pencurian pulsa itu kalau bukan Si Mila yang entah kenapa sudah dari Subuh tadi berangkat ke sekolah.

“Dasar anak nakal…” rutuk Neneng sambil bergegas mengejar angkot jurusan kampusnya.

***

Sabtu malam Minggu, Neneng mulai mendapat petunjuk siapa pengirim pulsa misterius yang mengganggu pikirannya dua bulan ini.

Lewat secarik kertas yang disampaikan Bang Didit, ia membaca dengan hati yang melambung ke Cirrus, awan tertinggi di langit.

(Ya… Begitulah – Selembar Penggalan Surat Cinta Terhebat

Pagi Dinda…

Aku tahu senyummu masih seperti pertama kita sua. Selalu saja kau kulum. Selalu saja kau mampu membuatnya demikian indah, dan penuh misteri. Selamat pagi, Cinta. Kau kelihatan tidur pulas semalam. Aku senang.

Bicara apa kita hari ini? Kau mau apa? Baiklah, kita bicara tentang rengekan yang keluar dalam celoteh tolak-harapmu. Ya, penolakan, tetapi kau juga berharap. Benar begitu, kan? Sayang…

Yup. Kau berceloteh tentang dirimu yang kau nilai; cerewet, manja, banyak permintaan, keras kepala. Dan kau merutuki dirimu seperti tak mau memaafkan. Dan kau, membuat aku berpikir bermalam-malam setelah itu. Berpikir, bagaimana menjelaskan betapa aku telah mengenalmu, dengan segala elemen yang ada di tubuhmu-jiwamu.

Jadi, hari ini kita bicara tentang karakter manusia saja. Biar kau tenang, aku puas. Puas sudah sampaikan betapa aku mengenalimu jauh sebelum aku mengenali diriku sendiri, ataupun orang-orang mengenali dirinya sendiri.

Kembali ke karakter. Baiklah.

Suatu saat, kawan dekatku menanyakan hal yang membuat aku kaget sekaligus tersanjung. Waktu itu kami di sebuah kedai samping kantor. Biasalah, memenuhi hasrat perut sekaligus memuaskan dahaga kerongkongan. Plus kopi, plus berbatang-batang tembakau, plus musik dan plus ocehan belasan pengunjung kedai lain.

Dia bertanya, “Kok kau tahan dengan Dia? Aku saja tak tahan dengan sikapnya. Kalau aku jadi kau…” begitu katanya sambil menyeruput kopi, mengernyitkan dahi lalu menghisap Sampoerna Mild di bibirnya.

Lalu kujawab sekenanya, “Ya… begitulah Dia,” tukasku cepat. Sambil membubuhi bumbu-bumbu kesal yang kian ambigu.

Dia yang kami bicarakan, adalah teman sekamarku yang sikapnya ‘aneh’ dinilai kawan-kawan sekantor. Waktu itu kami tinggal di mess kantor. Tiap hari, ada saja ulahnya yang membuat orang kesal.

Mulai dari kepicikannya, kepelitannya, kelicikannya, hingga ke-ke yang lain. Simpulannya, tak banyak orang menyukai kehadirannya. Meski, orang-orang tak bisa begitu saja terhindar darinya.

Dia, tokoh nyata. Karakternya, juga nyata. Jadi, “Ya…. begitulah Dia.” Penilaianku waktu itu, hanya sebatas perkataan itu. Tak berjabar.

Hingga, suatu saat aku belajar banyak dari, lagi-lagi kawan dekatku. Wanita. Cantik, sudah bersuami dan masih menganggap dirinya gadis yang pantas dimanja. Bah! Tapi, lagi-lagi aku menerimanya dengan damai, karena… “Ya… begitulah Dia.”

Kawan wanitaku yang suka bermanja itu bilang, (suatu saat aku berkata-kata agak ‘nakal’); “Kau ni, cubo lah jangan ngomong kayak gitu lagi. Dak berubah-rubah,” ujarnya menyalak. Aku teringat anjing tetangga yang acapkali ‘menyapa’ku tiap pulang malam.

Lalu kujawab sekenanya, lagi. “Loh, beginilah aku. Kalau aku berubah, kau pasti akan bingung, aku juga bingung, semua jadi bingung,” jawabku, kau tahu, sekenanya saja.

Aku terus mengetik narasi. Bercanda dengan kata-kata yang makin ‘nakal’ tapi berdasar fakta. Orang-orang menyebut tulisan yang aku buat itu, sebagai BERITA. Memberitakan, begitu pembenarannya. Tapi, au ah!

Kan kita sedang bicara karakter, nih. Kita sedang bicara manusia, nih. Kita sedang memahami celotehanmu tentang dirimu sendiri, nih. Jadi, masalahnya adalah…. Aku tak tahu harus diperpanjang berapa alenia lagi.

Yang jelas. Karakter manusia itu, sesuatu yang terbentuk dengan tidak disengaja. Menjadi satu dengan darah, daging, tulang. Lalu mengalir ke kulit di semua permukaan tubuh. Dan, BANG! Terciptalah aku, kau, mereka, semua!

Karakter itu, bukan terjadi begitu saja seperti yang aku tulis di atas, BANG! (ini ilustrasi saja, biar manis gitu loh!). Tapi penciptaannya bertahun-tahun sejak manusia mulai berkenalan dengan lingkungannya. Ya alam, ya manusia, ya gaib dan ya proses belajar.

Lalu semua pembelajaran itu, pelan-pelan telah membalut dirinya, dan menjadikan dia seseorang yang akan dikenal setiap orang. Karakter, adalah seseorang. Karakter, adalah KTP bagi semua orang. Jika seseorang mengubah karakter, artinya siap-siap merubah KTP yang tak punya tanda tangan Camat dan tak bermasa berlaku.

Ketika si ‘Dia’ berubah menjadi Aa’ Gym (misalnya), maka ‘Dia’ bukan lagi kawan yang kukenal. Dan aku akan segera menjauh darinya sambil berteriak, “Engkau siapa!”. Lalu, kalau tidak dia pergi, aku yang berangkat dari kamar mess beberapa waktu lalu (buktinya aku bertahan hingga dia menikah dan beranak-pinak).

Dan kini, ketika kawan wanita yang masih suka manja itu mengetahui aku berubah, maksudku karakterku kuubah, dia juga akan melakukan hal yang sama. Jadi asing, jadi bingung, jadi aneh melihat aku. Dan dia pasti bertanya-tanya, “Ada apa denganmu? Sakit? Buntu (tak ada uang)? Ada masalah?”

Tentu itu membuat aku jadi berkata, “Loh!” lalu, “Iya, ada apa denganku? Sakitkah aku? Buntukah aku? Ada masalahkah aku?” Tiba-tiba, aku terpaksa kembali menjalani karakter yang kemarin, kemarin dan kemarinnya lagi. Seperti yang biasa orang-orang kenal. Bahwa aku adalah aku, adalah benar. Bahwa karakterku begini, dan selalu akan begini, juga merupakan kebenaran. Meski masih absurd.

Simpulannya apa, Dindaku rindu? Kau bingung? Aneh? Berkernyit? Ya, sudah, biar kubantu menyimpulkan.

Aku akan mengenali kau, karena kau seperti ini. Cerewet plus judes, plus manja, plus banyak permintaan, plus keras kepala. Barangkali aku perlu tambahkan; plus imut-imut, plus cantik, plus menggemaskan, plus penuh harapan dan plus menawan! (ups! Maaf agak ‘nakal’).

Ya, jadi jangan sungkan-sungkan lagi, cintaku. Kau telah kuterima dengan damai sedamai angin memimpin awan, sedamai daun melindungi batang, sedamai ibu menitip cintanya di hati kita.

Aku menerimamu, karena; “Ya… begitulah Engkau.” Dan semestinya kau menerimaku disebabkan yang sama; “Ya… beginilah Aku.”

Bonus, jika karakter buruk pada kita bisa sama-sama kita kurangi. Catatannya, jangan sampai hilang sama sekali. Bisakah? Nah itu dia. Merubah karakter, berarti kembali ke kehidupan di mana kita memulai semua pelajaran.

Artinya… Tidak usah sungkan-sungkan berubah baik. Tapi, tidak apa-apa kau begini. Sebab, kau pasti sudah tahu sekarang, aku sudah menerimamu karena… “(tolong isikan)…”)

Neneng menutup surat itu. Meski Didit tak memberitahu siapa yang menulisnya, matanya membayangkan seorang lelaki gondrong yang belum terlalu disimpannya di hati.

Antara melambung, bingung, bahagia dan tak tahu apa mau dikata, Neneng tanpa sadar tertidur sambil memeluk selembar surat cinta pertama yang berisi ocehan aneh itu. (Bersambung ke page berikut)

Bagian 6

Pos terkait