Novel Jambi, Gadis Bersenyum Surga (1) By Monas Junior

Novel Jambi Gadis Bersenyum Surga by Monas Junior
Novel Jambi Gadis Bersenyum Surga by Monas Junior

Batanghari dan simpanan kesunyian yang setia

Tengah hari, Anas duduk di tepi Sungai Batanghari, tak jauh dari mal yang baru dibangun dengan sejuta masalah pelanggaran lingkungan yang mengikuti pendirian bangunannya.

Kepalanya menatap jauh ke rumah apung, tempat orang-orang memesan dibuatkan perahu ketek. Menembus kumpulan asap pabrik karet di seberang kota Jambi -yang bau busuk menyengatnya memenuhi hidung-.

Bacaan Lainnya

Pedagang es tebu sudah mulai membuka lapak -berupa gerobak beroda dan tempat duduk kayu alakadar- di tepi jalan Tepian Angso, Pasar Jambi.

Hari ini matahari tak begitu jahat. Sebagian sinarnya ditangkis awan, sebagian lagi jatuh di atas permukaan sungai yang keruh kecoklat-coklatan. Beberapa perahu ketek hilir mudik membawa penumpang dari dan ke seberang kota.

Angin membelai rambut dan pipi Anas.

Seperti biasa. Ia merasa sendiri di keramaian. Sepi. Sunyi. Benar-benar sendiri.

Ini entah untuk ke berapa kalinya ia menyendiri di bahu Sungai Batanghari. Memandang sahabat setianya yang makin lama makin keruh itu, sambil bermain dengan pikiran sendiri yang tak lepas dari suramnya masa depan.

“Es tebu, Dek?”

Ibu-ibu berkain sarung batik yang dibuat dengan teknik canting -coraknya begitu hidup dan timbul- datang menghampirinya.

“Boleh, Buk.”

Ibu berkerudung abu-abu itu tersenyum lebar. Anas juga tersenyum tipis mengingat bahwa ia telah jadi pahlawan kecil di siang hari ini. Ya, pahlawan untuk ibu yang belum sama sekali mendapat pelanggan pertama itu. Dan ia, adalah penglaris di siang syahdu ini.

Baru saja segelas es tebu disedotnya, Didit, sahabat yang entah kapan dikirim Tuhan untuk mendampinginya semasa kuliah yang terpaksa diulangnya ini, duduk secara kasar dengan nafas terengah-engah.

Duduk berdekatan seperti itu, Didit bisa diibaratkan malam dan Anas diibaratkan siang. Warna kulit mereka begitu kontras, tapi saling melengkapi.

“Es, Bro?”

“Jelas! Buk! Tambah satu!”

Didit membenarkan posisi pantatnya di kursi kayu yang irit bahan itu.

“Gimana, Bro?”

Anas mulai penasaran.

“Beres. Aman. Slow!”

“Serius?”

“Iya. Serius lah.”

Didit dengan cepat menyambar segelas es tebu, lalu dengan cepat pula menghabisi air gula asli itu dengan beringas. Langsung kering. Hanya tinggal bongkahan-bongkahan es tak berdosa di dalam gelas itu.

“Besok kamu temui dia. Sudah kuurus semua.”

“Tapi, yang lain gimana?”

Anas masih penasaran. Rasa ingin tahunya meloncat-loncat.

“Percaya sama aku, Bro. Yang jelas pesaingmu kuurus dulu, habis tu tinggal kau masuk.”

Anas diam. Cukup lama sambil menanti Didit yang menghajar batang pertama rokok kreteknya.

“Oke. Tq, Bro.”

“Nanti dulu. Kenapa harus dia? Kenapa kau begitu terobsesi dengan dia?”

Anas lagi-lagi diam. Kali ini menundukkan kepalanya. Menatap sepatu jungle hitamnya yang kusam.

“Kau pernah mencapai puncak kesunyian, Dit?”

“Hah?”

“Ya, kesepian terdahsyat. Saat kau tak tahu lagi mau berbuat apa atau mau melangkah ke mana. Saat kau benar-benar sendiri walau di tengah keramaian. Saat kau jenuh dengan semua hal. Saat kau berada di tengah laut dan ingin segera berlabuh tapi tak tahu dermaga di mana. Saat kau…”

“Intinya, Bro. Intinya!”

Didit memutus sang penyair yang kesepian itu.

“Aku butuh dermaga. Tempat berlabuh supaya penatku hilang.”

“Ooo… kau mau kawin. Bilang gitu aja susah. Mutar-mutar bikin pusing.”

Anas memukul bahu Didit. Si hitam keling itu tertawa lepas. Lalu diikuti Anas yang juga tak sanggup menahan tawa.

“Buk. Tambah segelas lagi. Haus dengar curhat orang sesak kawin ni!”

“Eh, kampret!”

Kali ini Didit berdiri sambil terus ngakak. Anas hanya bisa merengut tapi juga tertawa pelan.

Matahari benar-benar jinak hari ini. Dua sahabat itu mengakhiri pertapaan di tepi Sungai Batanghari dengan mengantongi strategi-strategi baru.

“Agen” Didit pergi lebih dulu meninggalkan “Agen” Anas. Lalu Anas menyusul menghilang di balik Tanggo Rajo depan kantor Gubernur Jambi yang masih sepi sesiang jelang sore itu.

***

Tak jauh dari situ, Neneng dan Jibun -juga dua sahabat tak terpisahkan-, sedang duduk minum es campur di Es Jumbo, lokasinya tepat di sentral Pasar Jambi. Hanya berjarak setengah kilometer dari tepian Sungai Batanghari.

Mereka sedang berbicara tentang kuliah, rencana shoping dan kegiatan kampus lain. Saat inilah Neng cemberut.

“Kami dak boleh lagi ikut UKM sama Ayuk. Katanya ndak ada manfaat, Bun.”

“Lah, kok gitu?”

“Entahlah. Kan UKM kegiatan positif. Masak dibilang ndak ada manfaat.”

“Ya kamu protes lah, Neng.”

“Sudah. Tapi percuma.”

“Protes terus.”

“Ndak, Bun. Kalau Ayuk sudah ngomong A, ya, kami adik-adiknya harus ikut A. Ndak boleh dibantah.”

“Keras ya, Ayuk Neng.”

Neng mengangguk pelan. Air matanya nyaris jatuh mengingat betapa akan kehilangannya ia dengan kawan-kawan se-UKM. Kehilangan kesibukan agenda-agenda UKM dan seni-seni yang menceriakan itu.

Es campur datang. Mangkuk jumbo itu menyuguhkan pemandangan beragam warna. Mulai merah, hijau, coklat, kuning, lengkap ditutupi selimut es parut.

Mereka minum sekaligus makan es versi makan siang itu dengan semangat. Sesaat kesedihan Neneng luntur akibat sejuknya manis dingin yang mengalir lewat mulut hingga perutnya itu.

Selesai dua tiga suap besar, Neneng mengecek HP. Tak ada pesan ataupun panggilan tak terjawab. Sudah sepekan ini HP-nya benar-benar sepi.

“Kenapa?”

Jibun seakan tahu masalah Neneng.

“Aneh aja. Biasanya HP ni ndak pernah sepi. Sekarang benar-benar sepi.”

“Ciye… yang banyak fans….”

“Eh, bukan gitu, Bun.”

Neneng gelagapan. Malu dan tak tahu mau ngomong apalagi, Neneng buru-buru jalan ke kasir.

“Ciyeeee yang kehilangan penggemar!”

“Hush!”

Jibun tertawa di tempat duduknya. Neneng senyum-senyum geli di depan meja kasir.

Pembayaran selesai, kedua gadis cantik itu berjalan keluar warung. Menyusuri trotoar, mereka melangkah pasti menuju Matahari Dept Store.

Sore dengan sisa matahari yang malas-malasan, membuat langkah mereka tak begitu berat.

“Sepi gimana, Neng?”

“Ndak ah, nanti diejek lagi.”

Jibun tertawa lagi. Neneng cemberut untuk kesekian kalinya.

“Tuh, kan.”

“Ndak… ndak… Jadi, sepi gimana?”

Masih melangkah pelan, Neneng mengeluarkan HP dari tas sandang.

“Biasanya sehari bisa 10 sampai 20 panggilan. 10 sampai 20 SMS. Sudah seminggu, bunyinya pun ndak ada nih HP.”

Jibun menahan tawa, bibirnya dirapatkan dengan paksaan kuat. Tapi gagal.

“Hahahahaha…!”

“Tuh kaaaaaaannnnn!”

Jibun berlari, Neneng mengejar dengan tas sandang di tangan seakan-akan ingin melempar kepala Jibun yang berambut pendek itu.

***

Sepekan lalu.

Pagi jelang siang di ruang UKM, Didit mengumpulkan kru-kru yang laki-laki. Sebagai senior dan salah seorang caretaker UKM kesenian, suara Didit sangat didengar.

Sepuluh anak-anak muda dengan rambut rata-rata gondrong, duduk bersila di hadapan Didit. Didit membuka rapat kecil itu dengan tanpa basa-basi.

“Adek-adek, Abang cuma mau minta tolong satu hal. Cuma satu, tapi ini sangat perlu.”

“Siap, Bang.”

Timpal seorang anggota rapat.

“Jangan potong dulu. Belum selesai aku ni ngomong!”

Adek junior yang tadi semangat itu, tiba-tiba menciut nyalinya mendengar suara Didit yang menggelegar. Seketika ia mengunci mulut.

“Abang ulang. Abang cuma mau mintak tolong. Mulai hari ini dan seterusnya, jangan ada satupun yang nganggu Neneng. Itu saja. Ada pertanyaan, sampaikan ke aku langsung. Kalau ada yang protes, kita selesaikan di lapangan saat ini juga.”

Didit yang senior dan terkenal agak “gila” itu, membuat semua laki-laki muda yang ikut rapat kecut total. Sesekali ada yang saling pandang, tapi buru-buru menunduk ketika melihat Didit melotot ke arah mereka.

“Kubilang, kalau ada pertanyaan langsung ke aku. Atau kalau ada yang ndak senang, kita selesaikan sekarang juga di lapangan parkir. Mengerti?”

Hening.

“Mengerti!”

“Ngerti, Bang!”

Jawab anggota “mafia” itu ketakutan.

“Bagus. Rapat ditutup. Wassalamualaikum.”

“Waalaikumsalam…” jawab para “mafia” yang soleh itu, serentak.

“Dasar Anas, gila. Awas kalau dia ndak berhasil dapatin Si Neneng. Kucekik leher dia nanti,” rutuk Didit sambil pergi meninggalkan manusia di lingkaran kecil yang masih ketakutan itu. (Bersambung)

Baca Juga Novel Jambi Lain : “Pemburu Emas” – By Monas Junior

Pos terkait