Novel Jambi, Gadis Bersenyum Surga (1) By Monas Junior

Novel Jambi Gadis Bersenyum Surga by Monas Junior
Novel Jambi Gadis Bersenyum Surga by Monas Junior

“Kau adalah mahluk surga yang diturunkan dengan sengaja. Saat ini entah untuk siapa. Tapi esok harus untukku! Karena cinta itu egois.”

Di ruang tamu kos, Anas yang bercelana sport pendek biru muda, kaus oblong putih tipis, berbaring santai sambil membuka-buka hp.

Nda sibuk di dalam kamar. Sambil berbaring juga, adiknya itu terlihat sedang fokus menyusun makalah dengan tema… entahlah.

Bacaan Lainnya

Takut-takut berani, Anas menekan tombol panggil pada nomor telepon Neneng, gadis pujaan hatinya. Mereka berdua -hati dan dirinya- mulai rindu, selalu dihantui wajah cantik gadis mungil itu. Dan, yup, ini saat yang tepat memulai langkah berikut. Menelepon.

Berdering. Sekali. Dua. Tiga. Tapi tak diangkat.

Sekali lagi. Satu. Dua. Tiga dering, tapi tidak juga diangkat.

Anas menarik nafas sambil berharap gadis itu masih bangun. Sekarang sudah jam 10 malam. Memang agak larut, tapi mau apa dikata, toh, ia dan hatinya sudah benar-benar diterpa rindu.

Untuk terakhir kali, batinnya. Tombol ditekan, dering berbunyi; satu, dua, tiga, tapi tidak juga ada sahutan dari seberang sana.

Anas menggaruk kepalanya yang tak gatal. Menarik-lepas nafas berat, lalu meletakkan hp itu sembarangan di lantai.

“Nda. Lapar, ndak?”

Malang nasib Anas, setelah teleponnya tak disahut, kini adiknya pula yang tak menyahut panggilannya.

Setengah kesal, Anas berdiri lalu berjalan ke kamar yang hanya satu-satunya itu.

“Nda… Mau makan apa?”

Nda yang masih berbaring sambil telungkup hanya menatap sesaat, lalu menggelengkan kepala.

“Masih kenyang, Bang.”

“Abang mau keluar beli makan. Mau nitip?”

“Ndak lah, makalah ni harus dikumpul besok. Lagian Nda sudah ngantuk berat.”

“Oke lah.”

Anas menyambar jaket kulit hitamnya yang tergantung di balik pintu kamar. Lalu bergegas keluar. Beruntung motornya masih di teras, jadi tak repot mengeluarkannya lagi.

Sepanjang jalan kawasan Telanaipura, Anas masih saja dibayangi senyum manis dikulum, tatapan tajam tapi teduh, dan suara yang mendayu-dayu lembut Neneng.

Perutnya yang kosong merintih-rintih. Sepanjang jalan, ia mencari-cari apa yang enak dimakan di malam usai hujan ini.

Karena belum menemukan yang menggugah selera, Anas jadinya berputar-putar di kawasan itu, tanpa arah pasti dan tanpa keinginan untuk berhenti. Minyak di tangki masih penuh, jadi ia tak khawatir menghabiskan satu atau dua jam di atas motor mengitari Kota Jambi yang keramaiannya mulai redup.

Ia mengambil jalan pintas melalui satu lorong. Ini jalan tembus Telanaipura ke Sipin. Motornya yang lari lambat melewati dua gadis yang sedang berjalan di sebelah kiri dengan posisi membelakanginya. Anas tetap melaju pelan tanpa peduli dingin yang menusuk-nusuk wajahnya.

“Adek besok ujian?”

Neneng bicara ke Mila di sebelahnya sambil memandang jalan aspal yang masih basah sisa guyuran hujan.

“Belum, Yuk. Minggu depan. Habis ujian Mila balik dusun ya, Yuk. Rindu Bapak-Emak.”

“Ayuk juga rindu…”

Mereka bergandengan tangan. Terus berjalan dari lorong utama menuju lorong yang jalannya makin menyempit. Rumah bedeng dua pintu dengan pagar tinggi menyambut keduanya yang baru saja buang sampai di bak sampah tepi jalan protokol.

Yati, Kakak paling tua yang sedang hamil tua menyambut Neneng dan Mila dengan senyuman datar.

“Sudah?”

“Sudah, Yuk,” jawab Neneng-Mila bersamaan.

“Kalau sudah langsung tidur. Neng besok kan ujian, Mila Subuh harus bangun terus belajar. Bentar lagi ujian kan?”

Keduanya mengangguk patuh. Mila lebih dulu masuk, sedang Neneng ditahan Yati.

“Ayuk mau bicara sebentar.”

Jadilah Mila sendiri yang berjalan ke kamar sambil hatinya didera rasa khawatir. Biasanya, kalau Ayuk Yati bicara empat mata, pasti sedang marah atau kesal.

Duduk di sofa berhadap-hadapan, Neneng menunduk, tak berani menatap Kakak sepupunya itu.

“Ayuk dak suka kamu ikut UKM. Sejak aktif di UKM, kamu sering pulang malam, nilai semester turun terus.”

Neneng masih menunduk, kedua telapak tangannya tiba-tiba dingin.

“Mulai besok kamu keluar dari UKM. Gak ada gunanya, ngabisin waktu saja. Pikirin Emak-Bapak di dusun yang mati-matian nyari uang supaya kamu bisa kuliah. Apalagi cuma kamu anak satu-satunya yang kuliah dan paling diharap bisa jadi sarjana. Apa ndak kasihan sama Emak-Bapak?”

Neneng makin menunduk dalam. Matanya berkaca-kaca. Tiba-tiba bayangan Emak dan Bapaknya yang sedang menyadap karet melintas di pikirannya. Lalu ia mengangguk pelan ketika Yati menyuruhnya ke kamar.

***

Kampus Jam 1 siang.

Anas dan Didit sedang duduk di depan komputer ketika Ari, Ketua UKM datang tergopoh-gopoh.

“Bro, jangan duduk dekatan. Bahaya?”

“Lah, bahaya kenapa?”

Anas protes. Didit merengut.

“Kalau kalian gondrong-gondrong duduk dekatan, bisa-bisa kusut tuh rambut!”

“Kampret!”

Didit berdiri mengejar Ari. Ari berlari keluar ruangan sambil tertawa. Tinggal Anas ngakak di depan layar monitor.

“Sialan anak tu.”

“Hahahaha… belum makan mungkin,” timpal Anas.

Didit kembali duduk dekat Anas. Kali ini jarak semeter dari tempat semula.

“Kenapa? Takut kusut?” kata Anas.

Keduanya kembali tertawa lepas.

Di depan pintu, berdiri Neneng dan Lusi yang menatap heran keduanya.

Wajah Neneng tiba-tiba berubah saat menyadari bahwa lelaki yang bersama Didit, ternyata lelaki yang pernah menemuinya di mal saat lomba puisi lalu. Ia tak enak hati karena melupakan pria gondrong itu.

“Masuk, dek…”

Didit berusaha keras mengatasi tawanya. Sedang Anas tiba-tiba membeku saat melihat Gadis Mungil yang Cantik itu.

“Neng, ni Anas. Yang Abang bilang dia salam sama kamu, kemaren.”

Neneng melempar senyum. Hati Anas kejang-kejang!

“Ni Kak, proposal kemaren sudah Neng print.”

Neneng menyerahkan proposal festival musik ke Didit. Didit menerima, membaca sekilas sampul proposal bewarna ungu itu, lalu mengangguk-angguk.

“Kami izin masuk kelas lagi, Kak. Ada kuliah sama Pak Ridwan.”

“Sip!”

Neneng dan Lusi meninggalkan Didit dan Anas yang masih pingsan sesaat itu.

“Hmm.. Bujang lo-ve ni.”

Didit menepuk kepala Anas dengan proposal. Anas tersentak.

“Sudah kamu sampaikan ya salam kemaren?”

“Sudah, Bos. Aman.”

Didit duduk, membuka lembar demi lembar proposal itu.

“Apa kata dia?”

“Apanya?”

“Waktu kamu bilang aku salam sama dia, dia bilang apa?”

Didit meletakkan proposal itu ke meja dekat layar monitor. Diam sejenak, lalu menatap serius ke sahabatnya yang sudah udzur di kampus ini.

“Kamu mau main-main sama anggota aku, atau mau serius?”

Pembina UKM kesenian itu wajahnya menbagian depank serius. Anas diam, berusaha membaca apa yang ada di pikiran Didit.

“Serius,” kata Anas akhirnya.

“Kalau serius, aku urus serius.”

“Terus dia bilang apa?”

“Jantan cerewet, ya, kek gini.”

“Aduuuh… ayolah Bro, dia bilang apa?”

Didit memperbaiki posisi duduknya. Bersela dan menghadap ke Anas.

“Dia bilang kamu gondrong, keriting, kumal, bau, gak punya masa depan sama sekali.”

Anas kaget. Tubuhnya sampai tersentak ke belakang.

“Serius lah, Bro…”

“Iya. Itu yang dia bilang. Katanya kamu angka harapan hidup kamu sangat kecil, badan statistik pun malu mencatat kamu sebagai mahluk hidup.”

“Kampret!” Anas bingung antara mau tertawa, marah, atau menangis terhina.

“Jadi dia ndak wellcome, ya?”

“Yup. Sangat kecil kemungkinan. Sudahlah, cari yang lain aja, Bro. Kasihan sama rambut kamu yang gondrong kalau ndak dapat cewek lain.”

Anas kembali membisu. Matanya menatap kosong ke wajah sahabatnya yang mirip orang Indian Amerika itu.

“Tapi aku maunya sama dia, Dit.”

“Ya, terserah kamu. Emang bisa dapat dia? Kamu kan jelek, gondrong bangunan, kumal, bau, masa depan suram. Lah dia… bening, cantiknya kelewatan, masa depan cerah, prioritas dalam statistik mahluk hidup di negeri ini.”

Anas meninju bahu kanan Didit dengan keras. Didit meringis.

“Jangan sebut nama aku kalau aku ndak bisa dapatin dia!”

Sambil mengeluas bahunya yang bekas tonjok Anas, Didit tersenyum.

“Oke. Kalau kamu ndak dapat dia, aku panggil kamu Monyet.”

“Oke!”

Anas berdiri, kemudian berjalan cepat keluar ruangan. Tinggal Didit yang tertawa geli melihat sahabatnya yang mirip orang India itu. (Bersambung ke page berikut)

Bagian 5

Pos terkait