Novel Jambi, “Pemburu Emas” – By Monas Junior

Novel Jambi "Pemburu Emas" Legenda Bermula by Monas Junior
Novel Jambi "Pemburu Emas" Legenda Bermula by Monas Junior

Di antara barisan manusia yang menyemut, si pria berhenti. Perempuan tua bertubuh tambun di sampingnya menampilkan wajah pucat. Tubuhnya bergerak liar, gelisah.

“Ada apa?”

“Petrus. Korbannya sudah dibawa polisi barusan.”

Bacaan Lainnya

Si ibu menjawab sambil berlalu. Dengan cekatan ia merangsek ke depan, dekat dengan garis polisi yang telah terpasang di gerbang masuk salah satu bangunan Pasar Tanah Abang.

Dari balik barisan polisi, terlihat seorang pria berjas hitam memandang tajam ke arah kerumunan massa. Ia menunjuk ke arah pria bertopi koboi, lalu bergerak cepat mendekati si pria itu. Namun si pria tadi langsung membalikkan badan, melangkahkan kakinya dengan cepat, lalu berlari menyeberangi jalan dan menghilang di balik arus kendaraan yang hilir mudik.

***

Pagi ini aku merasa bukan Ari yang biasa. Ari si remaja ceria telah hilang disapu kecemasan akan mimpi semalam yang tingkat kenyataannya mencapai 90 persen. Bahkan sambil memakai seragam sekolah, aku masih bisa mengingat dengan jelas adegan demi adegan di dalam mimpi itu.

Penembakan di pasar, rumah kontrakan, sepucuk revolver, tubuh sedang kulit hitam kecoklatan, topi koboi dan pria berjas hitam yang mengejar, semua itu seperti nyata di ingatan. Aku merasa bahwa pria itu, adalah aku di tahun 1980-an. Mirisnya, sewaktu itu aku belum lahir. Kejadian nyata, kualami, tapi aku belum lahir. Bagaimana ini?

Di atas motor yang sama, rute jalan yang sama, aku mengira-ngira bahwa ini semua adalah dejavu. Sesuatu yang rasanya telah terjadi tapi entah benar atau tidak itu pernah terjadi. Sisi lain, aku meyakini bahwa aku di mimpi adalah bukan aku yang sekarang.

Setiba di parkiran sekolah, ide bahwa aku telah mendekati kegilaan, menjadi lebih nyata dari teori-teori yang ke luar dari otakku sedari dini hari tadi. Aku merasa takut. Apakah siang ini aku harus ke rumah sakit jiwa? Masih setengah sadar, aku berjalan menuju kelas yang biasa. Tak kupedulikan Zian ketika menyapaku, tak kuhirau Rando yang menepuk pundakku dan tak kugubris Novi yang menantiku dalam diamnya yang menawan.

Tiba di meja ke tiga dari belakang barisan kiri pintu masuk, aku duduk sekenanya. Tas punggung kubiarkan di atas meja. Mataku menatap papan tulis tanpa berkedip. Mulutku terkunci rapat. Ide tentang tanda-tanda kegilaan, kian melekat di pikiranku. Apakah aku harus ke rumah sakit jiwa siang ini?.

Sejak bangun subuh tadi, ketakutanku tentang bayangan seorang wanita cantik yang menenamiku makan sore, tiba-tiba hilang. Malah, aku merasa wanita itu adalah orang yang sangat dekat denganku. Seseorang yang tak perlu ditakuti. Dan tiba-tiba, kerinduan akan wanita itu membara di hati, melebihi rinduku kepada Novi, gadis berikat rambut pita pink yang kini sedang memandangku.

Pelan-pelan, pelan sekali, kupalingkan pandangan ke kiri. Di kursi baris kiri depan, Novi terlihat sedang memandangku. Kubalas dengan tatapan tajam, ia menolehkan kepala ke depan, lalu menunduk. Tiba-tiba pula, aku melihat gadis itu seperti keponakanku yang beranjak remaja. Astaga! Aku mulai merasa tua! Padahal esok hari usiaku baru 17! Apakah aku memang sudah gila?

Pos terkait