Novel Jambi, “Pemburu Emas” – By Monas Junior

Novel Jambi "Pemburu Emas" Legenda Bermula by Monas Junior
Novel Jambi "Pemburu Emas" Legenda Bermula by Monas Junior

“Bisa antar aku ke sana, Wak?”

Wak Badar menarik nafas panjang lalu menghembuskannya dengan pelan. “Baiklah, aku siap-siap dulu.”

Bacaan Lainnya

Sepintas kulihat wajah Wak Badar memucat. Dua jam kemudian, aku sudah berdiri di antara rumah-rumah panggung dengan pekarangannya yang penuh bunga dataran tinggi. Matahari bersinar sangat terik. “Bukannya hari masih malam? Kenapa di sini siang?” bisikku. Tiba-tiba entah dari mana datangnya, seorang bertubuh kurus setingi dua meter, berkain sarung kaos singlet, berjalan pelan ke arahku.

“Kau pasti mencari ini.”

Lelaki itu menyerahkan buku diary berwarna hitam. Tanganku yang gemetar menyambut dengan ragu-ragu.
Dia tersenyum lembut, membalikkan badan, lalu gelap. Malam tiba-tiba kembali ke tempatku, tak jauh dari posisi Wak Badar yang kebingungan melihatku.

“Kamu dari mana? Puas aku cari-cari ndak ketemu…”

“Kita pulang, Wak.”

Meski bingung, Wak Badar langsung paham begitu melihat buku di tanganku. Dia juga tak bersuara lagi hingga kami tiba di rumahnya. Bahkan saat masuk ke kamar, Wak Badar hanya diam, bahkan tidak menegurku.

***

Berbulan-bulan di dalam hutan, akhirnya kami menemukan apa yang dicari. Sebuah goa besar di dasar bukit, tertutup tanaman hutan dan bebatuan. Tawa lepas kami menghapus lelah selama ini. Sebagian dari 15 pemuda itu mendirikan tenda di depan goa tanpa kusuruh. Sebagian lagi menebas semak dan menyingkirkan bebatuan dari mulut gua. Ya, ini moment membahagiakan.

Kebahagiaan kami makin memuncak ketika berhasil mengumpulkan butir-butir emas pertama di hari berikut. Hari-hari selanjutnya, emas berbongkah-bongkah memenuhi karung-karung plastik. Hasil yang sangat memuaskan.

Aku menjadikan tiga dari 15 pemuda itu sebagai tangan kanan; Rozi, Amir dan Saihan. Ketiga pemuda usia 16 tahun itu sangat cerdas dan loyal. Karena mereka pekerjaanku jadi lebih ringan dari sebelumnya. Keamananku pun terjaga. Meski begitu, aku selalu mengecek pistol revolver di pingganggku, sesekali menembakkannya ke udara, kubiarkan suara letusannya mengagetkan semua, supaya semua yang ada di sana sadar bahwa aku masih memiliki senjata pembunuh. Sebab, kau tahu, emas bisa menciptakan masalah besar bagi pemiliknya.

Setiap satu bulan sekali aku menyeberang ke Singapura via laut. Rozi selalu ikut ke manapun aku pergi. Di pasar gelap negara itu aku menjual bongkahan demi bongkahan emas. Lalu pulang ke Kota Jambi membawa uang yang sangat banyak. Aku menyimpan seluruh uang itu, menyisakan sebagian untuk gaji 12 pekerja dan tiga orang kepercayaanku. Tak lupa kusisihkan uang untuk diberikan kepada Wak Badar dan beberapa kepala desa.

Hasil penjualan emas pertama kubelikan tanah kosong tak jauh dari rumah Wak Badar. Di tanah itulah aku mendirikan rumah. Dindingnya dari batu, atapnya dari asbes dan lantainya dari keramik. Rumahku menjadi bangunan berdinding batu pertama di kampung ini. Sisa pembangunan rumah kubelikan dua mobil truk dan empat motor. Tak lupa kubeli lagi sepucuk revolver baru dengan ratusan butir peluru.

Hanya butuh waktu sebulan untuk seluruh orang di kampung ini tahu betapa berhasilnya pekerjaan kami. Tak berapa lama rumahku selalu dipenuhi warga yang ingin bekerja ataupun bekerjasama denganku. Sebagai pengusaha, aku menyambut keinginan masyarakat setempat. Dari semula pekerja 15 orang, kini sudah 150 orang. Dari semula hanya melibatkan Wak Badar, kini seluruh perangkat desa turut terlibat. Sampai-sampai, warga desa tetangga ingin ikut bisnis menggiurkan ini.

Pekerja yang banyak membuat aku harus mengeluarkan modal yang banyak pula. Selain itu, aku perlu mencari lokasi baru bagi pekerja-pekerja. Dan, tentu saja itu bukan perkara sulit bagiku. Sebab, di dalam buku hitam itu, ada gambar peta lokasi goa-goa emas peninggalan Belanda.

Kau tahu siapa penulis buku ini? Ya, itu aku di masa lalu. Seperti kau yang di masa kini melihatku, aku hanya butuh waktu sebentar untuk memahami seluruh isi buku diary bersampul hitam ini. Buku ini cuma sebagai pemicu ingatan, setelah membaca beberapa halaman saja, kenangan demi kenangan berloncatan ke luar. Lalu kenapa aku tak menceritakan isi buku hitam itu? Atau siapa penulis buku itu? Karena aku tahu, kini kau pasti sudah memilikinya. Tapi kalau kau masih penasaran, kusarankan untuk membaca buku hitam itu setelah kau menyelesaikan buku ini. Supaya semua menjadi jelas. Namun jika kau sedang terburu-buru, kau bisa membuka lembar terakhir di buku ini.

(BACA SELENGKAPNYA NOVEL JAMBI PEMBURU EMAS BY MONAS JUNIOR DI SINI)

Baca Juga Novel Jambi Lain : Gadis Bersenyum Surga (1) by Monas Junior

Pos terkait