Novi berlari pelan ke arah pintu, garis tipis melengkung ke atas terlihat membayang di sudut bibirnya. Tiba di ambang pintu, ia berhenti, memalingkan kepala ke arahku, lalu mempersembahkan senyum terindah. Aku membalas tak kalah semangatnya, meski tak seindah miliknya.Tak berapa lama, ia menghilang di balik pintu. Ah, gadis cantik itu, idaman, kemenakan atau mama-ku? Entahlah. Aku merasa jadi orang tua yang balik SMA. Benar-benar aneh.
Namun keanehan ini belum ada apa-apanya. Banyak yang lebih menakutkan dari ini. Inilah awal mula aku memasuki dunia aneh yang awalnya tidak kumengerti untuk selanjutnya, baiklah dari sini, keanehan ini semakin memperjelas bahwa sesuatu yang besar akan terjadi.
Banyak yang lebih menakutkan dari ini. Inilah awal mula aku memasuki dunia aneh yang awalnya tidak kumengerti dan untuk selanjutnya…hmm.. baiklah akan aku jelaskan. Dari sini, keanehan ini semakin memperjelas bahwa sesuatu yang besar akan terjadi.
Di malam hari usai pesta kecil perayaan ulang tahunku ke tujuh belas, aku mendapati diriku sedang berdiri di atas trotoar tempat pemakaman elit. Pemakaman itu tampak sepi, kelam dan tanpa penjaga. Kakiku dengan mantapnya melangkah masuk, di tangan kananku satu sekop mengayun pelan mengiringi langkah hati-hati menuju pusara paling sudut.
Sekop mulai bekerja. Dengan gesit, satu kuburan terbongkar. Isinya hanya peti hitam. Setelah dibuka, ternyata di dalam peti itu berisi tumpukan kain, tak ada jasad satupun. Tanganku dengan cepat memasukkan kotak besi kecil ke dalam peti mati itu. Berikutnya sekop kembali berperan hingga lubang menganga itu tertutup lagi, balik seperti semula.
Aku bergegas ke luar pemakaman, lalu berdiri lagi di atas trotoar seberang jalan. Menatap sesaat, dan tiba tiba saja apa yang kulihat menjadi pudar lalu hilang sama sekali berganti keterkejutanku yang tersentak bangun di antara subuh dan kesadaran yang samar.
***
Di atas kasur busa beralas seprai biru lembut, aku duduk tanpa bisa berkata-kata. Sekarang semua menjadi jelas. Teori kegilaan berganti menjadi reinkarnasi atau sejenis itu. Aku berusaha turun dari ranjang, berjalan pelan ke luar rumah, lalu menatap langit yang masih menyisakan kelam. Matahari belum siuman dari pingsan semalam.
Karena kalah dengan dingin subuh, aku masuk lagi ke kamar, menatap cermin di lemari dengan lekat. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, aku yang berusia tujuh belas tahun hari ini, tampak begitu beda. Tiba-tiba tangisan pecah di mata dan mulutku tanpa aku tahu apa penyebabnya.
Perjalanan yang Mengubah Segalanya
Bandara Sultan Thaha sudah ramai sesiang ini. Di terminal keberangkatan yang satu-satunya dalam bandara, aku berdiri menatap landasan pacu. Dengan tas hitam di punggung, topi kupluk, kacamata hitam, jam tangan Swiss Army, sepatu Nike hitam, celana jeans biru, jaket kulit hitam punya papa, baju kaos biru, aku menanti pesawat on-air rute Jambi-Jakarta.