Novel Jambi, “Pemburu Emas” – By Monas Junior

Novel Jambi "Pemburu Emas" Legenda Bermula by Monas Junior
Novel Jambi "Pemburu Emas" Legenda Bermula by Monas Junior

“Banyak yang cari goa itu, tapi ndak ketemu.”

Cerita Wak Badar beralih ke menir-menir Belanda dan kebiasaan menyapu jalan.

Bacaan Lainnya

Katanya lagi, sewaktu pendudukan Belanda, pejabat Belanda dan istrinya sering menghabiskan waktu liburan di Jangkat. Kalau mereka mau datang, warga desa diperintahkan menyapu jalan. Supaya bersih dilalui kuda para menir itu.

Sampai di situ saja yang bisa kutangkap dari cerita Wak Badar. Karena setelah itu, aku tertidur akibat lelah yang dihasilkan perjalanan panjang dari Jawa-Jambi-Bangko hingga ke Jangkat.

Malam hari selepas makan nasi lauk tempoyak ikan Semah, aku meminta Wak Badar mengumpulkan beberapa pemuda desa. Kujanjikan akan memberi gaji lumayan besar kepada para pemuda itu jika mau membantuku mencari goa tersembunyi dan kampung hilang. Wak Badar langsung semangat. Menit berikutnya pak tua itu telah hilang ditelan gelap malam, melaju dengan motor Honda C 70 miliknya.

Setengah jam kemudian rumah makan Wak Badar telah penuh. Ada 15 pemuda duduk bersila melingkariku di ruang keluarga lantai dua.

Ya, di kampung ini, rumah-rumah penduduk kebanyakan berbentuk rumah panggung berdinding papan beratap seng. Bagian atas rumah dijadikan tempat tidur dan ruang keluarga, sedang bagian bawah biasanya dibiarkan terbuka tanpa dinding sebagai tempat penyimpanan kayu bakar atau alat-alat pertanian.

Rumah Wak Badar sedikit berbeda dengan rumah lain. Pada bagian bawah, dipasanginya dinding papan sehingga bisa dijadikan toko sembako sekaligus warung nasi.

Usai memberi pengarahan kepada lima belas pemuda itu, aku mengeluarkan beberapa amplop yang sudah kuisi uang. Amplop itu kuserahkan kepada masing-masing pemuda, yang agak tebal kuserahkan ke Wak Badar.

“Besok mulai kerja. Tolong siapkan semua keperluan untuk menginap selama satu minggu di dalam hutan. Dan terpenting, carikan saya jaket paling tebal di desa ini…” instruksiku kepada tim yang baru saja terbentuk.

Rapat terbatas itu berakhir. Masing-masing menyalamiku dan Wak Badar, lalu pulang. Dari dalam masih terdengar suara tawa mereka karena menerima gaji pertama dari pekerjaan yang belum dilaksanakan.

“Kenapa mencari Kampung Hilang?”

Wak Badar menyelipkan amplop tebal itu ke dalam sarungnya.

“Mencari buku diary lama bersampul hitam. Wak pernah dengar soal ini? Atau, apa Wak tahu di mana kampung hilang?”
Wak Badar menggeser duduknya lebih dekat denganku. “Lokasinya tahu. Warga sini tahu semua. Tapi untuk melihat Kampung Hilang, tidak sembarang orang bisa melakukannya,” lanjut Wak Badar membuatku bingung.

“Maksudnya gimana, Wak?”

“Sebagian pedagang keliling pernah masuk kampung itu. Sebagian warga juga pernah, tapi jarang terjadi. Kata mereka yang pernah ke sana, kampung itu cuma berisi tujuh rumah. Penghuninya manusia seperti kita, tapi jarang ngomong. Setelah urusan mereka selesai, kampung itu tidak bisa dilihat lagi. Seolah-olah ditelan bumi.”

Pos terkait