Novel Jambi, “Pemburu Emas” – By Monas Junior

Novel Jambi "Pemburu Emas" Legenda Bermula by Monas Junior
Novel Jambi "Pemburu Emas" Legenda Bermula by Monas Junior

Setelah membayar beberapa lembar rupiah kepada kapten, aku mengambil posisi di salah satu bilik kecil dalam kapal. Kuletakkan tas di bawah ranjang papan, memasukkan buku tabungan ke kantong celana dan kuselipkan pistol revolver ke pinggang kiri tertutup kemeja panjang. Aku ke luar, menatap ke belakang kapal, tampak tumpukan batu di dalam ponton bermuatan 2.000 ton itu.

“Pernah berlayar sebelumnya?” Sang kapten bertanya dengan gagahnya. Aku gelagapan. “Belum.” Jawabku. Dia tertawa mengejek. Perut buncitnya bergerak naik-turun, persis seperti ombak lautan yang bergelombang. Giliran aku yang tertawa membayangkan itu.

Bacaan Lainnya

Sang Kapten terdiam. Tawanya hilang, bibirnya menyungut, matanya menatap bingung. Aku melanjutkan tawa tanpa putus melihat tingkah Si Kapten bengal itu. Entah karena memang sibuk, Sang Kapten meninggalkanku begitu saja.

Satu jam kemudian, kami berlayar. Dua hari dua malam di lautan, aku telah menghabiskan hampir semua isi di perut. Kamar, tepi geladak, kamar lagi, tepi geladak lagi, hingga entah berapa banyak ikan yang kenyang memakan muntahan dari mulutku. “Mabuk laut ini sangat menyiksa, Kapten”, ucapku.

Tapi Si Kapten seakan tak peduli. Melirikku setiap kali muntah, melengos setiap kali aku lewat di dekatnya.

Hari ke tiga perutku mulai beradaptasi. Angin kencang tanpa hambatan di laut kini mulai jadi sahabatku. Burung-burung yang bermigrasi di atas kapal menjadi teman setia. ABK-ABK lain yang ramah-ramah dan super rajin, menjadi pendamping perjalanan. Aku mulai mengerti arti kekompakan di dalam kapal kecil bertenaga luar biasa ini. Tentang kerjasama, tentang saling menghormati, saling menghargai dan saling menjaga satu sama lain. Tak ada sistem yang sempurna selain di dalam kapal. Kecil, tapi sangat selaras.

Lima belas hari sudah dilalui. Akhirnya sampai juga di Muarasabak, ujung timur Jambi. Setelah beristirahat sebentar, kami melanjutkan perjanan ke Pelabuhan Talang Duku, dekat dengan Kota Jambi ibukota Provinsi Jambi melalui Sungai Batanghari. Setiba di Talang Duku, berpamitan sekedarnya saja dengan Si Kapten menyebalkan itu, berpelukan dengan ABK-ABK, lalu menumpang mobil truk yang kebetulan lewat ke pasar utama Kota Jambi.

Di pasar, aku kembali mengingat potongan demi potongan mimpi itu. Tiba-tiba aku tahu harus ke mana.

“Kalau ke Bangko, naik apa, Bang?” tanyaku kepada seorang tukang parkir yang bertubuh kurus berkulit hitam. “Naik bus. Di sekitar Simpang Rimbo banyak. Tanya sama orang di sana, nanti dikasih tahu bus-nya yang mana.”.

Meski bertampang sangar, ternyata tukang parkir itu baik hati. Aku mengucapkan terima kasih, lalu berjalan ke arah simpang empat pasar itu, menanti mobil angkot kuning untuk selanjutnya transit ke Simpang Rimbo.

***

Pagi hari setelah cek out dari hotel sederhana di Kota Bangko, aku beranjak ke BRI. Kuambil uang cukup banyak sehingga tas ranselku penuh dengan uang kertas, lalu menuju terminal angkutan desa di Pasar Bawah. Di sini, aku menyewa mobil Hardtop hijau tujuan Jangkat. Nama tempat yang sangat kuhapal sejak mimpi pertama mendatangiku.

Pos terkait