Aku teringat surat untuk kedua orang tuaku. Kuambil ponsel dari kantong, buka aplikasi Whatsapp, lalu mengirimkan pesan ke Novi yang intinya meminta dia mengantar salah satu surat ke rumahku. Kalau bisa langsung ketemu Mama. Bilang kita study tour ke Bogor selama 5 hari. Tolong ya, beib. Tq, tulisku di WA. Novi membalas dengan sengit.
“Ndak mau. Bilang dulu kamu di mana? Atau aku bilang ke Mama kamu bolos dari sekolah!”
“Aduh! Aku di Jakarta. Nemui paman yang tinggal di sini. Tolonglah, nanti kubelikan oleh-oleh. Please….
“Pokoknya nanti sore VC aku. Awas kalau ndak!”
“Iya… iya sayang.”
Kumasukkan kembali ponsel ke saku celana. Lalu kupejamkan mata.
Perjalanan ke makam-makam mewah tak membuahkan hasil. Aku tak menemukan apapun kecuali penat dan rasa kecewa yang berat. Kuputuskan untuk kembali ke Jakarta, istirahat semalam, dan merencanakan pulang ke Jambi esok pagi. Kang Asep setuju mengantarku ke salah satu hotel di kawasan ITC Mangga Dua. “Sekalian bisa belanja-belanja,” kata Kang Asep yang ramah itu.
“Kalau di Jakarta Pusat, ada gak makam-makam mewah, Kang?”
“Kurang tahu juga, Mas. Tapi menurut teman, tempat pemakaman di Jakarta sudah bersih-bersih. Pemeliharaannya terjamin, rata-rata sudah seperti pemakaman mewah gitu,” ulas Kang Asep. Dia berbicara tanpa menoleh ke spion dalam.
Kepalaku langsung pusing. TPU di Jakarta sangat banyak. Ke mana aku harus mencari pemakaman yang sesuai di mimpi?
“Ya udah, ke hotel aja, Kang.” Aku menyerah.
Di kamar hotel, aku melempar tas ke kasur, membuka pakaian hingga setengah telanjang, lalu melangkah ke kamar mandi. Sambil menikmati air hangat dari shower, aku bertekad akan mengelilingi Jakarta hari ini. Satu per satu makam akan kudatangi. Jika tak selesai hari ini, esok pagi akan kulanjutkan. Kalau tidak sekarang, entah kapan aku mendapat jawaban pasti dari mimpi-mimpi yang membayangiku beberapa hari ini.
Setelah berganti pakaian, kuraih ponsel, melihat sesaat ke layar, menolak panggilan VC dari Novi, lalu beranjak ke luar kamar. Beruntung juga tadi Kang Asep mau meminjamkan KTP-nya untuk chek-in di hotel ini, kalau tidak, mungkin aku sudah terdampar di hotel-hotel kelas melati pinggiran kota.
***
Jalanan Jakarta seperti biasa kulihat di youtube ramai tanpa jeda, macet di sana-sini dan sangat tidak teratur. Antara mobil, motor, bus trans Jakarta, metro mini, kopaja, memadati setiap jalan yang kulalui. Nyaris aku menyerah dengan kemacetan panjang ini. Tapi karena tekadku sudah bulat, aku tetap melanjutkan perjalanan.
Satu per satu makam kudatangi. Hingga pada suatu lokasi pemakaman, aku melihat gerbang yang sangat mirip di mimpiku. Aku tercekat sejenak. Pemakaman itu terbuat dari beton, beratap seng, cat biru. Penjagaan makam terlihat longgar. Sesore ini, tak terlihat seorang penjaga makam pun berada di dekat gerbang masuk. Karena hari cerah, sisa-sisa cahaya matahari menguatkan keberanianku. Dengan sedikit ragu, aku mulai melangkah masuk.
Ada yang aneh. Setiba di dalam, langkah kakiku seperti ditarik ke pojok kanan makam, terus tertarik dengan kekuatan entah apa hingga berakhir di salah satu makam tak berbatu nisan namun berkeramik batu pualam.
Aku mengamati sesaat, melihat sekitar, lalu berjongkok di dekat makam itu. Pikiranku langsung penuh, dugaan-dugaan berhamburan, keraguan tak terbendung, tapi di saat bersamaan, keyakinanku semakin kuat.
Berbekal kayu nisan dari makam yang sepertinya baru dibuat, aku menggali dan menggali hingga matahari benar-benar tidur. Cahaya ponsel membantu penggalianku hingga ke permukaan peti. Begitu peti kubuka, aku tersentak. Apa yang di mimpiku terlihat nyata. Ada kotak besi kecil dalam peti mati tanpa jasad itu. Benda itu tersembunyi di balik tumpukan kain beludru putih.
Antara girang dan bingung, aku menyambar kotak itu, meletakkannya tak jauh dari makam, lalu kembali menutup lubang makam. Dan entah kenapa, tak ada seorang pun terlihat saat aku melakukan penggalian malam ini. Aku sadar, andai ini memang pemakaman mewah, sudah pasti sejak tadi ada penjaga yang mendatangiku selama penggalian.
Aku bergegas ke luar makam, menghentikan salah satu taksi, kemudian meluncur cepat ke hotel dengan pakaian kotor bekas tanah pemakaman. Setengah jam kemudian, aku telah berada di dalam kamar hotel; duduk di kasur, kotak besi di pangkuan, meraih remot AC lalu mendinginkan suhu kamar. Kutarik nafas dalam-dalam, menghembuskannya pelan-pelan, lalu kubuka kotak besi yang tidak terkunci itu. Jantungku berdebar kencang.
Di dalam kotak itu ada dua buku diary, satu bercover tebal warna hitam dan satu lagi berwarna merah. Ada dua kunci dan beberapa lembar kertas. Satu persatu barang yang ada di dalam kotak kukeluarkan. Kubiarkan semuanya berserakan di atas kasur. Kubiarkan saja tanpa ingin kusentuh sampai akhirnya kuputuskan untuk mengecek buku diary berwarna merah.
Tak ada istimewa di sampul buku ini. Tanpa judul, tanpa tulisan apa-apa kecuali tulisan DIARY yang besar. Begitu covernya kubuka, aku melihat tulisan tangan bertinta hitam di soft cover buku itu.
Andi Rahman, 1980-2018.
Teruntuk kau yang tak kukenal.
Hanya dua kalimat itu. Tak ada yang lain. Karena penasaran, aku mulai membaca isinya.