Novel Jambi, “Pemburu Emas” – By Monas Junior

Novel Jambi "Pemburu Emas" Legenda Bermula by Monas Junior
Novel Jambi "Pemburu Emas" Legenda Bermula by Monas Junior

Dua Diary Misterius

Prancis, 2018

Aku menulis buku ini dengan susah payah di sela-sela ketakutan. Kenapa takut? Nanti kau akan tahu sendiri.

Bacaan Lainnya

Untuk saat ini, yang perlu kau tahu bahwa aku sekarang sedang berbaring di kasur empuk, apartemen lantai 46, Jalan Rue Marcel, Paris awal tahun 2018. Aku merasa, ini adalah akhir ceritaku. Tetapi sebelum mengakhirinya, sebaiknya aku memulai cerita ini dari mulai diriku dan istriku.

Istriku, Ratih Siswanti. Panggil saja dia Ratih. Anak bungsu dari 7 bersaudara keturunan Prancis-Surabaya. Setiap kutanyakan apakah ia keturunan ningrat atau rintisan putri Majapahit, ia selalu menjawab dengan tawa yang indah; gurih dan nikmat didengar. Soal kecantikan, jangan tanya lagi, tak terbandingkan! Penasaran dengannya? Sabar, nanti kau juga akan tahu sendiri.

Dari sekian perjalanan hidup yang panjang, aku memilih tahun 1983. Di sini semua petualangan dimulai. Sebaiknya kau mempersiapkan diri sebelum mulai membaca, karena semua perhatianmu dibutuhkan untuk mencermati kisah ini. Dan ini, akan menjawab semua pertanyaan yang ada di benakmu. Percayalah.

Jakarta, 1983

Pintu kontrakanku telah menganga saat aku menginjak teras. Gembok dan engsel kunci sudah terlepas dan berserak di lantai. Tak ada suara dari dalam, kecuali angin yang berdesir pelan di telinga. Kucabut revolver dari pinggang kanan, kukokang pelatuknya lalu kugenggam senjata itu dengan kedua tangan. Peralahan, kulangkahkan kaki, masuk ke dalam kontrakan.

Di dalam tak ada siapa-siapa. Hanya seprai, dua bantal yang bertebaran di lantai, serta laci meja yang sudah terbuka. Aku berjalan pelan ke kamar mandi, menodongkan pistol ke dalam, tak ada siapa-siapa.

Setelah yakin, aku kembali ke depan meja kamar. Semua barang sudah berserakan. Bahkan, batangan-batangan emas telah raib! Aku langsung panik. Bergegas ke luar kontrakan, lalu menggedor pintu tetangga sebelah.
Tak ada sahutan. Kugedor lagi pintu berikut, juga tak ada orang. Pintu yang terakhir, akhirnya dibuka oleh Bu Ningsih. Ia terkejut melihat wajahku yang pucat.

“Kenapa Nak Andi?”/ “Mau nanya, Bu. Lihat orang masuk ke rumah aku, nggak?”/ “Nggak, kenapa?” / “Dengar suara orang dobrak pintu?” / “Nggak. Tadi saya di dapur, lagi masak. Emang kenapa?”/ “Gak apa-apa, Bu.”/

Aku meninggalkan Bu Ningsih yang masih penasaran itu. Ia memperhatikan kepergianku dengan kerenyit di dahi yang sangat dalam.
Kembali ke dalam kamar, aku menemukan selembar amplop besar. Di situ tertulis namaku. Tak sabaran, amplop itu langsung kubuka.

“Kau harus menghilang. Emas-emas mu sudah kami gantikan nominal di BRI. Ini buku tabungan atas namamu. Kau bisa menarik uangnya di manapun dan kapanpun.”

Begitu mendapat petunjuk keras seperti ini, aku langsung mengemas pakaian. Mengambil tiga lembar baju kaos, enam lembar celana dalam, lalu kumasukkan amplop di dalam tas ransel. Berikutnya aku sudah berada di Tanjung Priok. Menanti salah satu kapal yang akan berlayar ke Jambi, satu daerah di Sumatera bagian tengah.

Kau tahu, ini adalah kesempatanku untuk membuktikan kebenaran mimpi-mimpi yang selama ini menyiksa. Ya, mimpi yang kau rasakan juga pernah kurasakan. Mimpi itu datang di waktu-waktu tertentu dengan gambaran yang hampir sama. Aku bahkan bisa mengingat jelas adegan per adegan dalam mimpi-mimpi itu.

Tentang seorang pria yang mengembara di hutan belantara, tentang emas-emas yang tersembunyi di balik goa, tentang orang-orang yang rela menghabisi nyawa orang lain demi benda berkilau itu, dan tentang desa yang tersembunyi dari sentuhan orang luar.

***

Kapal yang kutunggu sudah tiba. Kapal tongkang penarik ponton. Rasanya mau protes dengan kenalanku karena mengirimku ke Sumatera dengan kapal seperti itu, tapi kesadaranku menyuruhku untuk menurut. Toh, sekarang aku tidak dalam posisi bisa memilih.

Pos terkait