Dongeng Pak Tua dan Petani Miskin oleh Monas Junior

Dongeng Pak Tua dan Petani Miskin.
Dongeng Pak Tua dan Petani Miskin. (Ist)

Dongeng Monas Junior : Pak Tua dan Petani Miskin

Matahari baru saja hinggap di wajah Putra. Ia berdiri termenung menatap onggokan jagung yang mulai membusuk di tepi ladangnya yang tandus.

Sudah dua pekan ia mencari pengepul, tetapi tak berhasil. Sementara beras di dapur mulai habis, istrinya bahkan merungut dengan kerut yang pasti setiap harinya. Hati Putra berdenyut pedih, sepedih perutnya yang keroncongan karena tak makan cukup.

Bacaan Lainnya

Di tengah kebingungannya, ia menatap ke atas gunung belasan kilometer dari ladangnya di lembah ini.

Kata orang, di sana ada seorang Pak Tua bijak tinggal menyendiri tanpa ditemani sesiapapun. Pak Tua itu sering didatangi orang ketika sedang ditimpa musibah dan kemalangan. Jika berhasil menjumpainya, entah bagaimana, setelah medoakan, solusi akan tiba dengan sendirinya bagi musibah kemalangan atau bahkan kesulitan orang yang menemuinya.

Putra yang putus asa akhirnya pasrah. Ia bergegas kembali ke rumahnya yang beratap jerami dan dinding kayu. Menegur istrinya sekenanya lalu berjalan cepat ke atas gunung.

“Assalamualaikum… Assalamualaikum…”

Sejam kemudian Putra telah berdiri di pintu rumah Pak Tua. Rumah ini sederhana. Tak begitu besar tetapi mengesankan sejuk yang menyeruak ke hati Putra.

Putra kembali menyapa Pak Tua. Setelah berkali kali akhirnya Pak Tua muncul dari balik pintu. Ia membalas sapaan Putra lalu menyilakan ia masuk.

Di dalam rumah yang juga sederhana ini, Putra terdiam dan bingung memulai pembicaraan.

“Aku hanya minta tolong sama kamu untuk menyiapkan 11 batang kayu bakar setiap hari. Antar kayu itu ke rumahku, itu saja,” kata Pak Tua memulai pembicaraan.

Putra tak bisa menutupi keterkejutannya. Keningnya berkerut walau tak sedalam kerutan istrinya yang terhimpit ekonomi di rumah.

“Pulanglah, kembali ke istri dan anakmu. Tapi ingat, aku cuma minta itu sama kamu. 11 batang kayu bakar setiap hari di depan rumahku ini,” lagi lagi Pak Tua berkata begitu.

Putra yang masih bingung akhirnya berdiri dan pamit kepada Pak Tua.

“Kamu bersedia?”

“Bersedia, Pak…”

“Sukurlah.”

Pertemuan singkat itu menyisakan tanda tanya besar di hati Putra. Namun ia berusaha menetramkan diri dengan mengingat ingat bahwa Pak Tua itu orang bijak. Tentu ia sudah tau maksud dan tujuannya menemuinya.

Sesampai di rumah, Putra langsung mengambil parang, dan menuju hutan mencari berpuluh puluh batang dahan dan ranting kayu kering.

Setelah itu ia pulang dan menyimpan kayu bakar itu di dapur dengan rapi dan hati hati. Lalu ia kembali ke ladang. Namun tak ada perubahan. Putra menghela nafas panjang.

Malamnya, ketika habis Magrib, rumahnya diketuk seseorang. Putra membuka pintu, terlihat dua orang pria berdiri di depan rumahnya.

“Kami mau membeli semua jagung, Bapak. Kami butuh jagung lagi, bisakah bapak menanam lebih banyak dari ini supaya nanti pas panen dijual ke kami?”

“Alhamdulillah. Bisa… bisa… Pak,” kata Putra dengan semangat.

Malam itu transaksi berakhir bahagia. Semua jagung Putra yang hampir busuk sudah terjual. Istrinya seketika sumringah mendapat uang bergepok gepok dan memastikan bahwa dapur mereka akan terus ngepul sejak hari ini.

*

Tiga bulan berakhir. Jagung Putra kembali panen. Kali ini hasilnya sangat memuaskan. Ia bernafas lega ketika baru saja panen, tetiba pedagang yang kemarin telah datang dan memborong semua jagung miliknya.

Kabar bahagia ini cepat menyebar hingga sampai ke tetangganya, Rahim. Rahim memelas agar diajak serta oleh Putra agar jagungnya juga cepat laku.

Putra menceritakan dari awal sampai akhir. Termasuk soal perjanjiannya dengan Pak Tua di atas gunung itu. Rahim langsung menyetujui ketika Putra mengajak Rahim menjumpai Pak Tua.

Sama seperti dirinya, walau tanpa berkata kata, Pak Tua itu paham dan memberi ia syarat yang sama. 11 kayu bakar setiap hari diantar ke rumahnya ini.

Satu bulan Putra dan Rahim masih setia menyetor 11 kayu bakar ke Pak Tua. Lambat laun, mereka mulai lalai. Berkurang berkurang hingga akhirnya ada beberapa hari terlewat tanpa kayu bakar.

Panen berikut, mereka berdua masih mendapat keuntungan seperti sedia kala walau setoran kayu bakar mereka sering tak terlaksana.

Hingga akhirnya pada panen berikut, mereka termenung. Pembeli tak datang datang. Walau sudah dinanti berkali kali bahkan dihubungi mereka, pembeli itu tak peduli.

Putra dan Rahim makin khawatir. Apalagi selama ini mereka sering berfoya foya tanpa menyiapkan tabungan atau pencarian tambahan lain.

Malu malu, akhirnya mereka kembali menjumpai Pak Tua. Pak Tua telah menanti mereka di teras rumahnya. Dengan tersenyum, Pak Tua mempersilakan mereka berdua duduk di balai teras yang terbuat dari bambu.

Tanpa basa basi, Pak Tua meminta mereka tetap memberi dirinya kayu bakar.

“Kalau tak mampu 11 batang per hari, 1 saja. Sebab ini sangat perlu buatku dan buat kalian,” katanya sambil mengelus janggutnya yang putih.

Keduanya terdiam dan menyadari kesalahan. Mereka mengangguk dan berlalu.

Esoknya mereka menyetor 1 kayu per hari. Tetapi hasil panen mereka malah menurun dan pembeli mengurangi jumlah pembeliannya. Sehingga ekonomi mereka mulai morat marit lagi.

Kali ini keduanya kembali menjumpai Pak Tua di atas gunung.

“Maaf Pak… kenapa ekonomi kami makin sulit, kenapa pedagang tak mau lagi memborong jagung kami, kenapa….” kata Rahim.

“Sabar… biar aku jelaskan.”

Pak Tua mulai menjelaskan satu per satu kepada mereka. Kenapa harus ada 11 kayu bakar setiap hari. Itu karena setiap hari Pak Tua akan membakar setiap kau untuk dijadikan obor di tepi jalan.

Obor itu fungsinya menerangi jalan bagi pedagang yang akan masuk ke lembah para petani jagung. Semakin banyak obor, semakin terang jalan, semakin mudah bagi pedagang melalui jalan hingga tiba di lokasi petani jagung.

Namun gara gara kayu bakar tak cukup, Pak Tua hanya bisa menjadikan sedikit obor dan otomatis jalanan menjadi gelap untuk dilalui para pedagang.

Dampaknya adalah, para pedagang yang kesulitan melalui jalan, akhirnya mengurungkan niat datang ke lembah para petani jagung.

Para pedagang itu adalah kawan lama Pak Tua. Sehingga cukup Pak Tua minta tolong, para pedagang itu dengan ringan tangan menolong Pak Tua, termasuk ketika Pak Tua meminta tolong agar pedagang membeli jagung para petani di lembah.

“Tapi karena jalan mereka sulit, minta tolong pun aku, mereka jadi keberatan. Akhirnya mereka tak mau lagi ke lembah kalian,” jelas Pak Tua.

Barulah Putra dan Rahim paham, bahwa kayu bakar yang diminta Pak Tua selama ini, ternyata dipakai untuk memudahkan mereka juga.

“Jangan hitung apa yang orang beri kepada kamu, tapi hitung apa yang orang korbankan untuk kamu,” tutup Pak Tua sambil memukul mukul lembut bahu Putra dan Rahim.

“Kalian pulang lah. Berdoa yang banyak kepada Allah, minta ampun juga yang banyak. Semoga dimudahkan,” timpal Pak Tua.

Putra dan Rahim akhirnya berjalan gontai keluar dari pekarangan rumah Pak Tua. Mereka mulai menyesal dan merutuk diri sendiri. Bahwa apa yang mereka anggap tau, ternyata itu bukan pengetahuan. Ada banyak ilmu yang harus mereka pelajari, termasuk ilmu ikhlas.(*)

Monas Junior ialah nama pena dari Alpadli Monas. Seorang jurnalis Jambi yang gemar menulis.

Artikel ini telah tayang di Jambiseru.com dengan judul “Dongeng Pak Tua dan Petani Miskin oleh Monas Junior”

Pos terkait