Dongeng Jambi : Pak Tua dan Pendulang Emas oleh Monas Junior

Dongeng Pak Tua dan Pendulang Emas oleh Monas Junior.
Dongeng Pak Tua dan Pendulang Emas oleh Monas Junior.

JAMBI, JambiSeru.com – Berikut salah satu dongeng anak dari Jambi tentang potensi emas dan hal hal mistis di dalamnya.

—Dongeng ini hanya fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama, tempat, peristiwa, ini hanyalah kebetulan belaka.—

Pak Tua dan Pendulang Emas

Dongeng Jambi oleh Monas Junior

Musim kemarau mulai melanda kampung kami. Sungai Baung Batang Asai mulai merangas. Daun daun karet dan sawit mulai menguning dan layu ditimpa sinar matahari berkepanjangan. Karet kering sawit trek. Lengkap sudah.

Bacaan Lainnya

Orang orang dusun mulai kesulitan. Pelan pelan, semua mulai turun ke sungai, mencari peruntungan dari mendulang emas. Ini sudah jadi tradisi bagi kampung kami dari turun temurun.

Kalau kemarau tiba, cepat cepatlah ke sungai untuk mendulang emas. Kalau tidak, hidup akan makin kering sekering kemarau panjang.

Sore itu aku sedang ikut Emak mendulang di tepi sungai, tak jauh dari kandang sapi desa. Di sini lumayan sejuk, karena ada pohon beringin di tepi sungai melindungi aku dan emak emak lainnya.

Sudah sejak selesai Ashar kami di sini, tapi tak seorang pun dari kami yang beruntung mendapatkan pasir berkilau kuning di alat pendulang.

“Yati… sudah, pulang kita. Tak beruntung tampaknya kita hari ini, Nak…”

Emak menegurku. Ia sudah lebih dulu naik ke tepian. Sedang aku masih sibuk dengan pendulang sambil berharap ada yang terselip di antara pasir dalam pendulang ini.

Tetapi memang betul kata Emak. Hari ini kami sepertinya tak beruntung. Karena di pendulang ini hanya ada pasir, pasir dan pasir keruh saja.

Kuputuskan ikut langkah Emak. Tepat ketika akan keluar dari air, kulihat ada Pak In yang berpeci putih, kaos oblong, bersarung, turun ke sungai. Ia berdiri tak jauh dari tempatku.

Sambil memegang dulang, ia menatap langit. Mulutnya komat kamit, setelah itu mulai menyerok dasar sungai yang dangkal itu dengan pendulangnya.

Kuperhatikan, Pak In tampak santai mengoncang goncang pendulangnya, lalu berhenti. Menatap ke pendulang itu, menatap langit lagi, lalu berjalan keluar sungai.

“Dapat, Pak?”

Pak In menoleh ke arahku. Tersenyum.

“Alhamdulillah.”

Kulihat sepintas di pendulangnya, ternyata benar! Semua isi pendulang Pak In itu adalah emas. Tak ada sebutir pun pasir! Aku takjub!

“Banyak nian, Pak!”

“Alhamdulillah.”

Begitu saja kata Pak Tua itu. Ia berjalan cepat keluar air dan bergegas ke tepi sungai. Setelah itu, masih dengan pendulang di kedua tangan, Pak In kulihat memindahkan butir butir emas ke dalam kantong plastik kecil yang sudah disiapkannya.

Pos terkait