Puisi : Dusun Kita tak Lagi Mesra by Monas Junior

ilustrasi puisi
ilustrasi puisi

(I)

Masih seperti biasa,
Kau melingkur manja di ketiakku
Ketika beduk-beduk memanggil-manggil
Adzan-adzan subuh menghardik-hardik
Dingin-dingin mencabik-cabik
Tapi kau, aku, seperti biasa, masih larut dalam duka
yang mengiris-iris dada

Pedih itu masih nyata, Dindo… (1)
Masih menyesakkan bagian
antara jantung dan tulang dada
Perihnya mengalir lewat mata dan
bulir-bulir bening di pipi kita

Bacaan Lainnya

Tapi kau, seperti biasa
Asyik melingkur manja di ketiakku
Di ranjang rumah panggung (2)
Dusun Dalam Batin Delapan (3)
Seolah tak pernah ada luka atau
apa-apa yang mengusikmu

Padahal… dindo oh dindo….
Setahun sudah kita berduka
Setahun sudah kita bertapa
Setahun sudah kita melala (4)
Setahun sudah kita meratap
Dan setahun pula semua itu
membuat kita tak bisa menengadah,
Sejak kekalahan telak yang
Memukul kita dengan sempurna

Masih ingatkah kau?
Atau sudah terbiasa?

(II)

Setahun lalu
Tak seperti biasa,
Usai Isya dua puluh nol nol,
Balai desa Parit Dalam (5) penuh sesak.
Tamunya tumpah sampai ke jalan
Tua tak disebut gelar
Muda tak disebut nama
Bersisesak dalam ruang 8 kali 8 meter
Menghadap tengganai datuk nan 4 orang (6)
Penjaga qolbu-qolbu (7)

Tawak (8) tak lagi menyalak
Kain (9) tak lagi menari
Keris tak lagi berseri
Pedang tak lagi berdesing
Tombak tak lagi bernyali
ketika para datuk bersuara lantang
memecah kesunyian

“Kita harus jaga tradisi!”
Kata yang satu
“Kita harus rubah tradisi!”
Kata satu lagi
“Lalu kita mau apa?”
Kata dua yang lain
Menjadikan bingung
Rio (10) yang sah malam itu

Semua saling bersitatap
Semua saling bersitegang
Lalu semua saling bersuara,
Riuh redam menguasai kampung para datuk.

Menyalak-nyalak Tawak tak lagi dihirau
Menyobek-sobek kain tak lagi dipandang
Mengancam keris, tombak dan pedang tak lagi diacuh
Kampung ini membara angkara
Murka menguasai!
Mesra terkubur sudah!

Para datuk hanya bisa menatap nanar
Bibir terkunci tangan gemetar
Perubahan tak lagi bisa dihindar
Lalu keputusan dipaparkan
“Kita ubah tradisi, ikut demokrasi”.
Gemuruh lagi dan lagi dan lagi
Hingga ditutup tangisan 5 pusaka
Dan satu qolbu yang tak dapat giliran (11)

Malam itu perubahan benar-benar terjadi (12)
Tapi aku belum terbiasa,
akan kah esok terbiasa?

Esoknya, satu di antara utusan qolbu adalah aku, perwira dari tengah,
berdiri di depan meja panitia
Yang seperti hantu (tak bersuara tapi ada)
Kuserahkan apa yang ada dan tersisa
Karena malam telah mengintip kampung
Bersama lengking ketakutan

Hari itu, dindo…
Kuputuskan untuk terbiasa
Walau hati tak terima

Di meja panitia,
Berkas-berkas bertumpuk
Ijazah-ijazah berserakan
Dokumen-dokumen berhamburan
Para panitia meneliti dengan jeli
Sejeli penghuni kampung yang mengawasi

Ada yang mengamat-amat hingga tamat
Ada yang membolak-balik hingga terbalik

Ada yang mencampak-campak hingga tercampak
Lalu berkas-berkas suci itu kini
berdosa di tangan panitia.
Salah siapa? Entahlah!

Hari itu, dindo…
Semua mulai terbiasa,
berburuk sangka

(III)

Hari masih paghayang (13) ketika kau bangkit,
menyesap embun dan melaju ke langgar samping.
Ada pilu tertinggal di balik selimut
yang tak kau pedulikan
Ada luka yang lupa kau obati pagi ini
Ada veteran tua yang kau abaikan begitu saja
Tapi ya, sudah lah, mungkin kau sudah terbiasa

Padahal Dindo, paghayang musim lalu itu,
Kau yang paling semangat membangkitkanku
Kau pula yang meninggalkan selimut lebih dulu
Menyapa embun dengan tawa dan senyum ikhlas
Lalu kau seret aku ke kamar mandi,
ke kamar, ke ruang tamu, ke atas motor
dan melepas kepergianku dengan senyum yang tadi,
ikhlas tanpa ada luka

Lalu pintu ke pintu kumasuki,
Menebar janji menyebar harapan
Berharap ada selembar kertas yang mereka coblos (14)
Di hari penentuan itu
Dan kau, seperti biasa, selalu menyorakiku dari jauh

Kau pun sudah terbiasa ketika Mbah-mbah (15)
Menyiangi belukar parah, sawit dan pohon duren (16)
Di petak-petak tanah warisan
Tanpa risau hasil potongan atau dodosan
Di petang hari perhitungan

Siapa peduli?

Ya, siapa peduli apa yang mereka simpan di hati
Ketika aku mengetuk-ketuk pintu rumah mereka
Masuk lalu duduk menyebar senyum
Menyapa segala yang di dalam maupun di luar
Menghadap wajah-wajah palsu
Senyum palsu
Hati palsu
Bibir mencibir

Siapa pula yang peduli
Ketika aku pamit lalu berdiri,
Jalan sempoyong ke luar membawa
Luka atas semua kepalsuan itu?

Meski aku tahu ada lebih banyak
cibiran menghujam punggungku
ketika kakiku lengket di sendal
Pantat di jok motor
Tangan di gas
Tapi, lagi-lagi…
Siapa peduli….

Yang aku dan kau pedulikan saat itu
Adalah kertas-kertas bergambar diriku
Dicoblos dengan paku sakti di TPS itu (17)
Sebanyak-banyaknya.
Ya, sebanyak-banyaknya!

Tapi hidup bukan hidup kalau semua mudah.
Satu semester kemudian, di malam yang hitam puwung (18)
Dalam keadaan busuk lantung (19),
Aku mulai galau
Risau dan tak tak tahu bagaimana menghalau
Semua menjadi kacau
Benar-benar kacau

Keraguan mulai berjamur
Ketika wajah-wajah mulai kabur,
Senyum-senyum berkarat berhambur
Sehingga di tiap gelap malam
aku mulai sakit diserang tetanus.

Tiba-tiba aku mulai usang,
Karena ini sudah berulang-ulang
Dan mereka sudah biasa
Sangat terbiasa dengan janji-janji kosong

Harapan-harapan palsu
Senyum-senyum hambar
Dan tatapan-tatapan nanar
Seperti para pemain drama (20)

Palsu dibalas palsu.
Begitulah.
Aku tahu kau sangat tulus
Dan berharap lebih dari apa yang ada
Tapi siapa nyana
Kalau akhirnya itu sia-sia
Tanpa maksimalnya usaha
Kau tahu, usaha!
Tak cukup hanya melangkah dan berdoa
Butuh pula semua rupiah yang ada
Tapi kau tak peduli itu,
Lalu mau bagaimana?

Akhirnya di malam yang hitam puwung
Dalam keadaan busuk lantung,
Aku hanya bisa galau
Dan ketakutan
Di negeri para datuk

(IV)

Hari penentuan itu tiba juga,
Ribuan orang berkumpul di lapangan
Mengantri panjang depan TPS
Bersama belasan aparat berbaju dinas
Persis perang melawan Belanda
Benar-benar tegang kala itu, Dindo

Aku tak pernah berhenti sembahyang
Dari tahajud, tobat hingga hajat
Tak putus-putus
Tapi kau biasa saja
Senyum ikhlasmu membakar semangatku

Lalu kau bilang, “apa yang harus dirisau?”
“kita sudah menyatu, semua telah dipetakan”
Dan kau benar
Saat itu aku mulai damai
dan berusaha mendamaikan kegalauan

Terbayang olehku wajah-wajah kecil
Tubuh-tubuh mungil
Bermandi lumpur setiap hujan turun
Bermain apa saja dengan yang di alam
Layaknya anak-anak desa lain.
Ah, mereka adalah sahabat-sahabatku dari kecil
Orang-orang tuaku dari aku lahir
Bukan siapa-siapa
Apa yang harus dicemaskan?

Dari paghayang hingga petang
Kita terus berjuang tanpa pantang
Berharap semua yang di TPS (21)
Mengarahkan pilihan kepadaku
Kepada kita
Kepada harapan masa depan
Kepada semua impian
Kepada yang kita janjikan
Tapi, Dindo… oh dindo…
Bukan hidup kalau hidup itu mudah

(*)

Jambi

Monas Junior nama pena dari Alpadli Monas. Jurnalis berdomisili di Jambi.

Pos terkait