Sanksi bagi pihak perguruan tinggi itu tertera dalam Pasal 19 Permendikbud Ristek Nomor 30 tahun 2021 pada pasal 19: Perguruan tinggi yang tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dikenai sanksi administratif berupa: (a). penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana untuk perguruan tinggi dan/atau (b). penurunan tingkat akreditasi untuk perguruan tinggi.
Sanksi bagi PT ini menunjukkan bahwa Permendikbud Ristek ini tidak hanya mendorong liberalisasi (kebebasan) dalam pergaulan di PT namun jg menegaskan represi Rezim agar semua institusi PT mengikuti tanpa ada celah mengkritisi.
Butuh Islam Sebagai Solusi
Kita pasti sepakat bahwa segala bentuk kerusakan dalam pergaulan (interaksi) laki-laki dan perempuan harus dicegah dan dan ditangani dengan benar. Namun berharap Permendikbud Ristek ini sebagai solusi adalah hal yang tidak mungkin. Terlebih Permendikbud Ristek ini cacat bawaan, karena lahir dari paham sekuler liberal (memisahkan agama dari kehidupan dan menjunjung kebebasan). Paham ini lahir dari akal manusia yang lemah dan tidak memiliki standar tentang benar salah dalam menyolusi persoalan.
Jika pemerintah serius menuntaskan akar masalah kerusakan ini, sekaligus mewujudkan tujuan pendidikan yang ideal, semestinya tidak berpikir parsial. Kasus kekerasan seksual tidak bisa dipandang sebagai kasus tunggal. Ia adalah cabang dari penerapan sistem yang memang tidak mungkin melahirkan kebaikan. Maka sistem rusak tersebut harus diganti dengan sistem islam. Karena penerapan aturan islam dalam sistem pergaulan akan mampu menyelesaikan hal tersebut.
Beberapa aturan pergaulan dalam islam:
Pertama, larangan campur baur antara laki-laki dan perempuan bukan mahram ‘ikhtilath’.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam At-Tarikhul Kabir dari Ibnu umar Radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Janganlah kamu masuk masjid dari pintu wanita.” Campur baur yang bebas antara laki-laki dan perempuan, seperti yang dibiarkan tumbuh subur dalam sistem kapitalis liberal, menjadi salah satu pemicu kasus perzinaan.
Kedua, melarang khalwat, yakni laki-laki berduaan dengan perempuan yang bukan mahramnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki itu berkhalwat (menyendiri) dengan seorang wanita kecuali ada mahram yang menyertai wanita tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim). “Ingatlah, bahwa tidaklah seorang laki-laki itu berkhalwat dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah setan.” (HR Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim).
Ketiga, perintah untuk menutup aurat. “Wahai Asma! Sesungguhnya wanita jika sudah balig, maka tidak boleh tampak dari anggota badannya kecuali ini dan ini (beliau mengisyaratkan ke wajah dan telapak tangan).” (HR Abu Dâwud, no. 4104 dan al-Baihaqi, no. 3218)
Keempat, memerintahkan kepada seorang muslim untuk menjaga pandangan ‘ghadlul bashar’.
Dalil kewajibannya terdapat di dalam Alquran surah an-Nuur ayat 30-31, demikian juga terdapat dalam hadis Rasulullah Saw., seperti: “Wahai Ali, janganlah engkau mengikutkan pandangan (pertama, yang tidak disengaja- pen.) dengan pandangan (kedua, yang disengaja- pen.), karena sesungguhnya engkau berhak pada pandangan pertama, tetapi tidak berhak pada pandangan yang akhir”. (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Al-Hakim. Lihat Shahih Al-Jami’ush Shaghir, no. 7952).
Kelima, memerintahkan perempuan muslimah pergi safar sehari semalam disertai mahramnya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita muslimah, bersafar yang jauhnya sejauh perjalanan sehari semalam, kecuali bersama lelaki yang merupakan mahramnya.” (HR Muslim no. 1339).
Keenam, perintah segera menikah bagi pemuda yang sudah mampu dan menyuruh untuk berpuasa bagi mereka yang belum mampu.
Anjuran ini terdapat dalam hadis Rasulullah Saw.: “Barang siapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barang siapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagaikan kebiri.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ketujuh, Islam memerintahkan individu muslim menghiasi dirinya dengan ketakwaan (QS al-Ahzab[33]: 70).
Menurut Syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitabnya an Nizham al ijijtima’iy fii al Islam, tatkala seorang muslim memiliki sifat takwa, pasti ia akan takut kepada Allah SWT, akan mendambakan surga-Nya, sekaligus sangat ingin meraih keridaan-Nya. Ketakwaan ini akan memalingkan seorang muslim dari perbuatan mungkar dan akan menghalanginya dari kemaksiatan kepada Allah SWT seperti berzina.
Kedelapan, negara wajib menyelenggarakan pendidikan berbasis akidah Islam dan mengajarkan pengetahuan hukum syariat kepada peserta didik.
Pendidikan merupakan hak seluruh rakyat dan menjadi kewajiban negara untuk menunaikannya secara baik. Sistem pendidikan berbasis akidah ini akan melahirkan individu yang kuat imannya, penuh ketakwaan pada Allah SWT, dan sungguh-sungguh dalam beramal ketaatan sebagai bukti keimanan yang diyakininya. Produk pendidikan Islam adalah munculnya generasi umat yang menjadikan Islam sebagai standar dalam perbuatannya.
Kesembilan, negara wajib menerapkan sistem pergaulan Islam.
Yakni yang akan memberlakukan ketentuan syariat dalam interaksi di masyarakat. Seperti kewajiban menutup aurat, larangan khalwat, larangan ikhtilat tanpa hajat syar’i, dll.. Negara juga wajib menyediakan Qadli hizbah yang akan bertugas di tempat-tempat umum untuk memastikan tidak adanya pelanggaran hukum. Jika ada kasus pelanggaran, maka petugas ini akan segera menyampaikan sanksi sesuai ketentuan hukum syara’.
Kesepuluh, negara wajib menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Di antaranya memastikan kepala keluarga memiliki pekerjaan layak untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarganya. Dalam kondisi ini, para ibu tidak akan dituntut ikut bekerja membantu mencari nafkah. Mereka akan memiliki waktu yang cukup untuk melaksanakan peran utama sebagai ibu pendidik anak-anaknya. Juga akan hadir mendampingi dan menjaga mereka dari setiap ancaman bahaya.
Negara wajib memastikan tidak adanya konten-konten media yang merusak akidah dan merusak akhlak masyarakat. Seperti kemusyrikan, sepilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme), juga pornografi dan pornoaksi. Negara pun akan bertindak cepat memberi sanksi pada siapa pun yang melanggar
Kesebelas, negara menerapkan sanksi tegas sesuai ketentuan syariat terhadap pelaku maksiat.













