Widya, termangu mematung melihat temannya seperti itu. Ragu, Widya mendekatinya. Tak pernah terpikirkan Nur bisa menari seperti ini.
“Nur,” panggil Widya, tapi sosok Nur seperti tidak mendengarkannya, ia masih berlenggak-lenggok, sorot matanya beberapa kali melirik Widya, ngeri, tiba-tiba bulu kuduk terasa berdiri ketika memandangnya.
Dari jauh, sayup-sayup, kendang terdengar lagi, Widya semakin dibuat takut, tabuhan gamelan sahut menyahut, campur aduk dengan tarian Nur yang seperti mengikuti alunan itu.
Kaki seperti ingin lari dan melangkah masuk rumah, tapi Nur semakin menggila, ia masih menari dengan senyuman ganjil di bibirnya. Sampai akhirnya Widya memaksa Nur menghentikan tariannya. Ia berteriak meminta temannya agar berhenti bersikap aneh. Dan saat itulah, wajah Nur berubah menjadi wajah yang sangat menakutkan.
Sorot matanya tajam, dengan mata nyaris hitam semua. Widya menjerit sejadi-jadinya. Kali berikutnya, seseorang memegang Widya kuat sekali, menggoyangkannya sembari memanggil namanya, Wahyu.
Widya melihat Wahyu yang menatapnya dengan tatapan bingung plus takut.
“Bengi-bengi lapo As* nari-nari gak jelas nang kene (malam-malam ngapain anji*g!! nari sendirian di sini seorang diri)!!”
Jeritan Widya rupanya membangunkan semua orang, termasuk si pemilik rumah. Widya melihat sorot mata semua orang memandangnya, tak terkecuali Nur yang rupanya baru saja keluar dari dalam rumah.
“Onok opo to ndok (ada apa sih nak)?” kalimat itulah yang pertama kali Widya dengar. Si pemilik rumah tampak khawatir, namun Widya lebih tertuju pada Nur, ia juga memandang dirinya, mereka sama-sama termangu memandang satu sama lain.
Kejadian itu, diakhiri dengan cerita Wahyu.
Wahyu menceritakan semuanya, awalnya ia hanya ingin mengisap rokok sembari duduk di teras posyandu, kemudian ia tidak sengaja melihat seseorang, sendirian, menari-nari di tanah lapang, karena penasaran, Wahyu mendekat, sampai Wahyu baru sadar bila yang menari itu adalah Widya.
Semua yang mendengarkan cerita Wahyu hanya bisa menatap nanar, tidak ada yang berkomentar. Si pemilik rumah akhirnya menyuruh mereka semua bubar dan masuk ke dalam rumah lagi, karena hari semakin larut.
Si pemilk rumah, berjanji akan menceritakan ini kepada Pak Prabu. Namun ada satu hal, yang sengaja Wahyu tidak ceritakan, nanti, ia akan menjelaskan semuanya.
Namun malam itu, benar-benar malam yang gila, seolah-olah menjadi pembuka rangkaian kejadian yang akan mereka hadapi di sela tugas KKN mereka ke dalam situasi yang paling serius.
Semua orang sudah berkumpul, memenuhi panggilan Pak Prabu. Beliau bertanya tentang bagaimana kronologi kejadian. Ayu mengaku tidak tahu, Widya mengatakan ia sedang mengejar Nur yang pergi keluar rumah, namun Nur mengatakan ia hanya pergi ke dapur untuk mencari air minum.
Semua penjelasan itu tidak membantu sama sekali, namun tampak dari raut muka Pak Prabu, ia lebih tertarik bagaimana Widya bisa menari bila latar belakangnya saja bahwa ia mengaku tidak pernah belajar menari sebelumnya
Hari itu, Pak Prabu meminta Widya, Ayu dan Wahyu, menemaninya. Nur pergi, ia masih harus mengerjakan proker individualnya.
Dengan berbekal motor butut yang tempo hari digunakan untuk mengantar mereka masuk ke desa ini, kali ini digunakan untuk mengantar mereka ke rumah seseorang.
Wahyu dengan Widya, Pak Prabu berboncengan dengan Ayu. Jalur yang mereka tempuh hampir sama dengan jalur yang tempo hari, anehnya, kali ini Widya merasakan sendiri, untuk sampai ke jalan raya tidak sampai 1 jam, malah tidak sampai 30 menit, lalu, bagaimana bisa ia merasakan waktu selambat itu pada malam ketika orang-orang desa menjemput.
Rumah yang Pak Prabu datangi, rupanya rumah seseorang.
Melintasi jalan besar, lalu masuk lagi ke sebuah jalan setapak buatan, Rumahnya bagus, malah bisa di bilang paling bagus dibandingkan rumah orang-orang desa, hanya saja, rumah itu berdiri di tengah sisi hutan belantara lain.
Berpagar batu bata merah, dengan banyak bambu kuning, rumah itu terlihat sangat tua, namun masih enak dipandang mata.
Di depan rumah, ada orang tua, kakek-kakek, sepuh, berdiri seperti sudah tau bahwa hari ini akan ada tamu yang berkunjung. Tidak ada yang tahu nama kakek itu, namun Pak Prabu memanggilnya mbah Buyut. Setelah Pak Prabu selesai menceritakan semuanya, wajah mbah Buyut tampak biasa saja, tidak tertarik sama sekali dengan cerita Pak Prabu yang padahal membuat semua anak-anak masih tidak habis pikir.
Sesekali memang mbah Buyut terlihat menatap Widya, terkesan mencuri pandang, namun ya begitu, hanya sekadar mencuri pandang saja, tidak lebih.
Dengan suara serak, mbah Buyut pergi ke dalam rumah, beliau kembali dengan 5 gelas kopi yang di hidangkan di depan mereka.
“Monggo (silahkan),” kata beliau, matanya memandang Widya.
Melihat itu, Widya menolak, mengatakan dirinya tidak pernah meminum kopi, namun senyuman ganjil mbah Buyut membuat Widya sungkan, yang akhirnya berbuntut ia meneguk kopi itu meski hanya satu tegukan saja.
Kopinya manis, ada aroma melati di dalamnya, yang awalnya Widya hanya mencoba-coba tanpa sadar, gelas kopi itu sudah kosong.
Tidak hanya Widya, semua orang ditegur agar mencicipi kopi buatan beliau, katanya tidak baik menolak pemberian tuan rumah. Semua akhirnya mencobanya.
Berikutnya, Wahyu dan Ayu kaget setengah mati, sampai harus menyemburkan kopi yang ia teguk, mimik wajahnya bingung, karena rasa kopinya tidak hanya pahit, tapi sangat pahit, sampai tidak bisa ditolerin masuk ke tenggorokan.
Anehnya, Pak Prabu meneguk kopi itu biasa saja. “Begini,” kata mbah Buyut, beliau menggunakan bahasa Jawa halus sekali, sampai ucapannya kadang tidak bisa dipahami semua anak. Ada kalimat penari dan penunggu, namun yang lainnya tidak dapat dicerna.
Ia menunjuk Widya tepat di depan wajahnya, mimik wajahnya sangat serius.













