Catatan Anang : Ridho Rhoma, Kewajiban dan Kewenangan Hakim ‘dapat’ Menghukum Rehabilitasi

Ridho Rhoma. (Ist)
Ridho Rhoma. (Ist)

Menggugat Kewenangan Hakim Menghukum Rehabilitasi

Sejak Indonesia ber UU narkotika 45 tahun yang lalu, pembuat UU “selalu” memberi kewenangan kepada hakim berupa kewenangan “dapat” menghukum rehabilitasi terhadap perkara pecandu yaitu perkara penyalah guna narkotika dalam keadaan ketergantungan.

Tetapi hakim tidak banyak menggunakan hukuman rehabilitasi dalam mengadili perkara narkotika yang tujuan kepemilikannya untuk dikonsumsi.

Padahal Mahkamah Agung sudah mengeluarkan kriteria penyalah guna melalui SEMA no 4 tahun 2010 tentang penempatan korban penyalahgunaan narkotika.

Penyalah guna dan pecandu kedalam lembaga rehabilitasi dan mengeluarkan pedoman penerapan keadilan restoratif berdasarkan Keputusan Dirjend Badilum Mahkamah Agung no 1691/DJU/ SK/PS.00/12/2020 tentang pemberlakuan pedoman penerapan keadilan restoratif (restorative Justice).

Selama ini hakim, dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika dalam keadaan ketergantungan tidak dilakukan secara restorative justice, dan penjatuhan hukumannya berupa hukuman penjara.

Hal tersebut menyebabkan terjadinya anomali Lapas yang ditandai dengan over kapasitas, terjadinya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di dalam Lapas.

Banyak aparat lapas yang terlibat peredaran narkotika didalam lapas, terjadinya residivisme penyalahgunaan narkotika dan meningkatnya peredaran gelap narkotika yang merugikan semua fihak.

Tapi, mengapa hakim selama 45 tahunsecara terus menerus menghukum penjara bagi penyalah guna narkotika?

Dan, mengapa Mahkamah Agung tidak melakukan peningkatan kapasitas hakim dalam menangani perkara penyalahgunaan narkotika?

Kenapa tidak melakukan koreksi ketika penyalah guna seperti Rhidho dengan barang bukti sebanyak 3 butir ekstasi dan tujuannya untuk dikonsumsi, proses pengadilannya dilakukan seperti pengedar dan dihukum penjara seperti pengedar ?

Pengalaman selama 45 tahun ber UU narkotika, selalu memberikan kewenangan kepada hakim “dapat” menghukum rehabilitasi, baik terbukti salah maupun tidak terbukti bersalah melakukan tidak pidana penyalahgunaan narkotika.

Tetapi dalam prakteknya kewenangan tersebut, tidak digunakan ketika memeriksa perkara narkotika yang tujuan kepemilikannya untuk dikonsumsi.

Kewenangan hakim “dapat” menghukum rehabilitasi, kini digugat untuk dilaksanakan. Memang berat bagi Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk melaksanakan gugatan tersebut, karena sudah terlanjur salah kaprah dalam waktu yang sangat lama.

Pengadilan Khusus Narkotika (Drug Court)

Itu sebabnya, saya menyarankan dibentuk Drug Court (Pengadilan Khusus Narkotika).

Menggantikan Criminal Court untuk menjamin penyalah guna mendapatkan hukuman rehabilitasi, agar tidak terjadi anomali Lapas.

Residivisme penyalahgunaan narkotika dan peningkatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan masarakat dan merugikan keuangan negara.

Karena hakim Criminal Court selama 45 tahun ber UU narkotika, ternyata tidak mampu melaksanakan ketentuan UU narkotika dan peraturan pelaksanaannya, khususnya dalam membedakan mana penyalah guna narkotika.

Mana yang wajib dilakukan restorative justice dengan hukuman berupa rehabilitasi dan mana pengedar narkotika yang wajib diproses secara criminal justice dengan hukuman pidana.

Atau dilakukan revisi UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, sebagai momentum bagi hakim dan penegak hukum lainnya untuk mulai melakukan restorative justice dalam proses peradilan perkara penyalahgunaan narkotika dan menghukum penyalah guna dengan hukuman menjalani rehabilitasi.

Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya.

****

Penulis adalah Komisaris Jenderal purnawirawan Polisi. Merupakan Doktor, yang dikenal sebagai bapaknya rehabilitasi narkoba di Indonesia.

Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Bareskrim Polri, yang kini menjadi dosen, aktivis anti narkoba dan penulis buku.

Lulusan Akademi Kepolisian yang berpengalaman dalam bidang reserse. Pria kelahiran 18 Mei 1958 yang terus mengamati detil hukum kasus narkotika di Indonesia. Meluncurkan buku politik hukum narkotika.

Pos terkait