Merapal Hari di Bulan Suci di Turki

mutia
Siti Mutia (jurnalis Jambi tinggal di Turki)

Penulis: Siti Mutia (jurnalis Jambi tinggal di Turki)

Jambi Seru – Meski mayoritas muslim, suasana Ramadhan yang suci tak terasa di Turki. Selain produk kurma yang ditawarkan dan dipajang di berbagai pusat perbelanjaan, nyaris tak ada ‘sinyal’ apapun  yang menandakan kedatangan bulan Ramadhan. Di Jambi, kami terbiasa dengan tradisi ‘mantai’ yaitu tradisi menyembelih hewan sapi atau kerbau untuk dimasak menyambut Ramadhan. Di Aceh, tradisi menyembelih hewan untuk Ramadhan ini disebut ‘mak meugang’. Bahkan konon, tradisi mak meugang di Aceh ini menjadi tradisi paling semarak yang bisa menghabiskan ratusan sapi dalam sehari. Ketiadaan tradisi sepeti ini sempat bikin perasaan ‘nelangsa’ saat pertama kali menyambut puasa di Turki.

BACA JUGA: Masyarakat Turki dan Berliter-liter Teh yang Mereka Seruput

Bacaan Lainnya

Terlebih, kami harus puasa lebih lama dari saudara di tanah air, yaitu sekira 18 jam. Jangan bayangkan ada pasar bedug. Jangan kira ada penjual bagian depankan yang menggelar lapak dikanan kiri jalan menjual takjil. Tak ada itu semua. Dan ketiadaan itu, entah mengapa juga kian menambah derajat nelangsa. Mau tak mau, persiapan berbuka disiapkan sendiri. Dan lupakan aneka kolak manis, aneka es yang menyegarkan dan juga kueh-mueh. Warga disini menyantap hidangan berbuka biasa-biasa saja.

Iftar

Berkesempatan menyantap buka bersama memenuhi undangan salah satu kerabat, hidangan berbuka hanya terdiri dari semacam sup berbentuk krim kental (masyarakat Turki menyebutnya çorba), salad sayuran berisi irisan daun selada, irisan timun, irisan tomat yang hanya dibumbui kucuran air lemon, sedikit minyak zaitun dan ditaburi garam, lalu sepotong ayam yang dipanggang dan tentu saja roti sebagai makanan pokok. Hanya begitu. Tak ada sambal, tak ada saus pemberi rasa pedas menyengat sekaligus  pemantik selera makan ala kita.

Kegiatan menyantap hidangan berbuka ini ditutup dengan minum teh lalu dilanjutkan dengan melaksanakan shalat tarawih. Ada yang terasa hampa dijiwa saat sehabis tarawih tak mendengar lantunan tadarusan. Sesuatu yang biasa dilakukan di hampir semua masjid dan mushala dari ujung ke ujung kampung hingga perkotaan di tanah air. Bukan. Bukan semata-mata membandingkan perbedaan suasana Ramadhan. Apa yang saya rasakan, lebih kepada kerinduan suasana yang khidmat plus sakralnya Ramadhan.

BACA JUGA: Kabar dari Turki: Hapalkan NIK, Kelar Urusanmu

Puasa atau tidak, masyarakat kita jauh terlihat lebih ‘alim’. Yang tidak puasapun, tidak sembarangan mengumbarnya dengan menyantap makanan secara terbuka. Mungkin tidak semua. Namun, bleh saya katakan, adab ‘malu’ masyarakat kita jauh lebih terjaga untuk hal satu itu. Amat berbeda dengan disini. Pagi Ramadhan pertama, saya dikejutkan dengan pemandangan seorang lelaki dewasa yang dengan santai berjalan sambil menenggak botol minum air mineralnya. Ditangan lainnya, memegang sebuah simit yaitu sejenis roti yang biasa disantap untuk sarapan. Dan ternyata pemandangan serupa yaitu makan dan minum ditempat terbuka bukan hal aneh terlihat di bulan Ramadhan disini. Restoran dan kafe buka tanpa tedeng aling-aling. Pusat-pusat hiburan dewasa juga beroperasi. Bahkan makin gencar melakukan iklan karena bertepatan dengan awal musim panas dimana biasanya turis juga semakin ramai berdatangan.

Satu hal yang memikatku adalah suasana masjid yang ramah anak. Jelang waktu tarawih, masjid dipenuhi anak-anak para jamaah yang turut ikut orang tuanya menunaikan shalat tarawih. Sebelum shalat tarawih dimulai, anak-anak berlarian kesana kemari dari satu tiang ke tiang lainnya dengan riang. Bahkan tak jarang berlarian disela-sela jamaah yang sudah mulai mengambil tempat duduk. Tak ada yang ‘sok galak’ memarahi anak-anak. Sesuatu yang sering terdengar terjadi di masjid-masjid tanah air. Ini bagus menurut saya, karena anak merasa nyaman di rumah Allaah.

hosgeldin-ramazan

BACA JUGA: Kabar dari Turki: Berobatlah, Istirahatlah, Sehatlah!

Kelak, rasa nyaman ini akan terbawa hingga mereka dewasa dan diharapkan mereka selalu rindu masjid. Beda ceritanya dengan anak-anak yang trauma balik ke masjid karena menganggap masjid bukan tempat yang ramah anak karena penuh amarah rang tua yang geram melihat anak berlarian kesana-kemari. Oya, bicara salah satu hidangan manis untuk berbuka, Turki punya hidangan berupa bubur nasi yang dimasak dengan susu yang disebut şűtlaç. Citarasanya manis dan creamy. Cocok untuk mengasup energi dengan mudah setelah seharian menahan lapar dan dahaga. Sedangkan untuk menu sahur, masyarakat sini jauh lebih praktis ketimbang masyarakat kita yang banyak masih harus menghangatkan makanan atau menumis. Sepotong roti, seiris keju, buah zaitun dan teh sudah cukup untuk mengdaun ilegall perut. Pun, saat masa sahur ini, tak akan kita dengar pekikan dan seruan sahur dari masjid-masjid. Apatah lagi, pawai obor berisikan anak-anak dan remaja yan berarak keliling ka mpung membangunkan warga untuk sahur. Agar tak keduluan imsak, maka pastikan alarm sudah disetel. Kemandirian benar-benar diuji disini. Dan entah mengapa, kerinduanku akan suasana Ramadhan tanah air makin menggebu.

Salam dari Turki
Mutia Jurnalis

Pos terkait