Al Haris Ways: Dumisake di Bungo, Ketika Negara Hadir Lewat Seragam dan Harapan Anak-anak Sekolah

Al Haris Ways: Dumisake di Bungo, Ketika Negara Hadir Lewat Seragam dan Harapan Anak-anak Sekolah
Al Haris Ways: Dumisake di Bungo, Ketika Negara Hadir Lewat Seragam dan Harapan Anak-anak Sekolah.Foto: Jambiseru.com

Oleh : Al Haris *

Saya selalu percaya, kebijakan yang baik bukan hanya diukur dari besar kecilnya angka anggaran, tetapi dari sejauh mana ia mampu menyentuh kehidupan orang-orang yang paling membutuhkan. Keyakinan itulah yang kembali saya rasakan ketika berkunjung ke Kabupaten Bungo, menyerahkan langsung bantuan Dumisake kepada ratusan siswa yang selama ini berjuang menuntut ilmu dengan segala keterbatasan.

Hari itu, suasana sederhana tapi hangat. Tidak ada kemewahan, tidak ada panggung tinggi. Yang ada hanyalah wajah-wajah anak sekolah yang penuh rasa ingin tahu, sebagian tersenyum malu-malu, sebagian lagi menatap dengan mata berbinar. Di sanalah saya kembali diingatkan, mengapa pendidikan harus selalu menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan pembangunan daerah.

Program Dumisake bukan lahir dari ruang kosong. Ia lahir dari realitas lapangan yang saya temui sejak awal menjabat sebagai Gubernur Jambi. Banyak anak-anak kita yang sebenarnya cerdas, punya semangat belajar tinggi, tetapi terhambat oleh persoalan mendasar: biaya. Seragam, buku, uang SPP—hal-hal yang bagi sebagian orang terlihat sepele, namun bagi keluarga kurang mampu bisa menjadi tembok besar yang menghalangi masa depan anak-anak mereka.

Di Kabupaten Bungo, melalui program Dumisake, kami menyerahkan bantuan seragam sekolah kepada 522 siswa. Selain itu, 37 siswa dari sekolah swasta juga menerima bantuan pembayaran SPP. Angka ini mungkin terlihat kecil jika dibandingkan skala provinsi, tetapi bagi saya, setiap satu anak yang terbantu berarti satu harapan yang diselamatkan.

Saya menyaksikan langsung bagaimana orang tua siswa menahan haru. Ada yang datang dengan pakaian sederhana, ada yang menggenggam tangan anaknya erat-erat. Mereka tidak banyak bicara, tetapi sorot mata mereka berbicara lebih lantang daripada pidato apa pun. Di saat-saat seperti itu, saya semakin yakin bahwa kebijakan sosial harus dijalankan dengan hati, bukan sekadar administrasi.

Sering kali kita terjebak pada narasi besar tentang pembangunan: jalan tol, jembatan, bandara, pelabuhan. Semua itu penting, saya tidak menafikannya. Tetapi pembangunan manusia adalah fondasi yang tidak boleh tertinggal. Apa arti infrastruktur megah jika anak-anak kita terpaksa putus sekolah karena tidak sanggup membeli seragam?

Program Dumisake hadir untuk menjawab pertanyaan itu. Dumisake bukan sekadar bantuan, melainkan pernyataan sikap pemerintah daerah bahwa negara tidak boleh abai terhadap urusan paling dasar warganya. Pendidikan adalah hak, bukan privilese. Dan tugas pemerintah adalah memastikan hak itu dapat diakses oleh siapa pun, tanpa memandang latar belakang ekonomi.

Saya menyadari, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Bantuan seragam dan SPP bukan solusi tunggal atas persoalan pendidikan. Tetapi saya melihatnya sebagai langkah awal yang penting. Setidaknya, kita mengurangi beban orang tua. Setidaknya, kita memberi ruang bagi anak-anak untuk fokus belajar, bukan memikirkan biaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama.

Di tengah penyerahan bantuan itu, saya sempat berdialog dengan beberapa siswa. Ada yang bercita-cita menjadi guru, ada yang ingin menjadi perawat, ada pula yang bercita-cita sederhana: ingin lulus sekolah dan membantu orang tua. Mendengar itu, saya semakin sadar bahwa setiap anak membawa mimpi masing-masing. Dan tugas kita sebagai pemerintah adalah memastikan mimpi-mimpi itu tidak kandas di tengah jalan.

Saya juga menyampaikan kepada para guru dan kepala sekolah, bahwa program ini tidak akan berjalan maksimal tanpa peran mereka. Guru bukan hanya pengajar, tetapi penjaga harapan. Mereka yang paling tahu kondisi siswa di lapangan. Karena itu, sinergi antara pemerintah daerah dan satuan pendidikan menjadi kunci keberhasilan Dumisake.

Dalam banyak kesempatan, saya selalu menekankan bahwa Dumisake bukan program sesaat. Ia dirancang sebagai kebijakan berkelanjutan. Evaluasi terus dilakukan. Data terus diperbaiki. Sasaran harus tepat. Karena bantuan sosial yang tidak tepat sasaran justru akan melahirkan ketidakadilan baru.

Saya paham betul, setiap kebijakan publik pasti mengundang kritik. Itu wajar. Kritik adalah bagian dari demokrasi. Tetapi saya ingin masyarakat tahu, bahwa setiap keputusan yang kami ambil selalu berangkat dari niat untuk menghadirkan keadilan sosial. Tidak sempurna, tentu saja. Tetapi selalu kami upayakan lebih baik dari waktu ke waktu.

Di Kabupaten Bungo, saya melihat potret Jambi dalam skala kecil. Daerah yang memiliki potensi besar, tetapi juga menghadapi tantangan nyata. Pendidikan adalah salah satu kunci untuk membuka potensi itu. Ketika anak-anak mendapatkan akses pendidikan yang layak, kita sedang menyiapkan masa depan daerah ini.

Saya juga percaya, bantuan seperti Dumisake harus dibarengi dengan penguatan kualitas pendidikan. Seragam dan SPP membantu dari sisi akses, tetapi kualitas pengajaran, sarana belajar, dan lingkungan sekolah juga harus terus ditingkatkan. Inilah pekerjaan bersama yang tidak bisa diselesaikan dalam satu periode kepemimpinan.

Dalam perjalanan pulang dari Bungo, saya merenung. Apakah bantuan ini cukup? Tentu belum. Tetapi apakah bantuan ini perlu? Saya yakin, iya. Karena di balik setiap seragam yang dibagikan, ada cerita tentang keluarga yang sedikit bernapas lega. Ada anak yang bisa berangkat sekolah tanpa rasa minder. Ada orang tua yang tidak lagi dihantui kekhawatiran setiap awal tahun ajaran.

Bagi saya, memimpin daerah bukan tentang seberapa sering muncul di pemberitaan. Memimpin adalah tentang hadir di saat-saat penting dalam kehidupan rakyat. Dan pendidikan adalah salah satu momen terpenting itu.

Saya ingin Dumisake menjadi bukti bahwa pemerintah tidak hanya hadir saat peresmian, tetapi juga hadir dalam keseharian warga. Hadir di bangku sekolah. Hadir di rumah-rumah sederhana. Hadir dalam perjuangan orang tua menyekolahkan anak-anaknya.

Ke depan, saya berharap program ini terus mendapat dukungan dari semua pihak—pemerintah kabupaten, sekolah, tokoh masyarakat, hingga dunia usaha. Karena urusan pendidikan bukan hanya tanggung jawab satu institusi, melainkan tanggung jawab kolektif.

Saya selalu optimistis, Jambi bisa maju jika kita menempatkan manusia sebagai pusat pembangunan. Anak-anak hari ini adalah pemimpin, pekerja, dan warga Jambi di masa depan. Apa yang kita lakukan hari ini akan menentukan wajah daerah ini beberapa dekade ke depan.

Catatan ini saya tulis bukan untuk memuji diri sendiri, tetapi untuk mengingatkan bahwa di balik setiap kebijakan, ada manusia yang menunggu kehadiran negara. Dan selama saya diberi amanah, saya akan terus berusaha memastikan negara itu hadir—dengan cara yang sederhana, tetapi bermakna.

Itulah Catatan saya hari ini. Tentang Dumisake, tentang anak-anak Bungo, dan tentang keyakinan bahwa pendidikan adalah jalan paling jujur menuju keadilan sosial.(*)

* Al Haris, Gubernur Jambi

Pos terkait