Cakap Ketua Edi: Pelabuhan Ujung Jabung, Antara Janji Pembangunan dan Kesabaran Warga Jambi

pelabuhanist
pelabuhanist

Oleh : Edi Purwanto *

Saya sering berpikir, mengapa sebuah proyek yang sejak awal disebut strategis justru berjalan tertatih. Pertanyaan itu kembali muncul setiap kali saya mendengar kabar tentang Pelabuhan Ujung Jabung di Jambi. Pelabuhan yang sejak lama digadang-gadang sebagai pintu masuk baru ekonomi daerah, namun hingga hari ini belum benar-benar menunjukkan denyut kehidupan yang dijanjikan.

Sebagai wakil rakyat dari Jambi, saya tidak melihat proyek ini semata dari sudut pandang kebijakan atau angka anggaran. Saya melihatnya dari wajah para nelayan, pelaku usaha kecil, petani, dan masyarakat pesisir yang bertanya dengan nada sama dari tahun ke tahun: kapan pelabuhan itu benar-benar berfungsi?

Pelabuhan Ujung Jabung bukan sekadar bangunan fisik. Ia adalah simbol harapan. Harapan agar Jambi tidak terus-menerus bergantung pada pelabuhan di provinsi lain. Harapan agar biaya logistik bisa ditekan. Harapan agar hasil bumi Jambi tidak kalah sebelum sampai ke pasar yang lebih luas.

Namun harapan, jika terlalu lama digantung, bisa berubah menjadi kekecewaan.

Saya ingat betul ketika isu percepatan Pelabuhan Ujung Jabung saya sampaikan langsung dalam rapat bersama Menteri Perhubungan. Bukan untuk sekadar bicara keras, tetapi untuk mengingatkan bahwa negara sudah terlalu lama berjanji pada masyarakat Jambi. Janji yang belum sepenuhnya ditepati.

Dalam logika pembangunan nasional, pelabuhan ini sangat masuk akal. Letaknya strategis, berhadapan langsung dengan jalur pelayaran internasional. Ia bisa menjadi simpul logistik bagi Jambi, bahkan Sumatera bagian tengah. Maka wajar jika masyarakat bertanya: kalau secara logika masuk, mengapa realisasinya lambat?

Saya memahami, pembangunan infrastruktur besar tidak sesederhana membalik telapak tangan. Ada proses perencanaan, penganggaran, perubahan skema kerja sama, hingga dinamika lintas kementerian. Saya paham semua itu. Tapi memahami bukan berarti membenarkan stagnasi.

Justru di situlah peran kami di DPR. Mengingatkan, mengawasi, dan memastikan agar proyek strategis tidak berhenti di atas kertas. Ketika negara sudah menggelontorkan anggaran ratusan miliar rupiah, maka yang dibutuhkan adalah kejelasan arah. Bukan sekadar rencana lanjutan yang terus bergeser.

Sering kali pembangunan terjebak pada narasi besar, tetapi lupa pada dampak kecil yang dirasakan sehari-hari. Pelabuhan Ujung Jabung seharusnya memberi efek berantai: lapangan kerja, pertumbuhan usaha, konektivitas, hingga peningkatan pendapatan daerah. Namun selama pelabuhan itu belum beroperasi optimal, semua dampak itu masih sebatas potensi.

Saya kerap bertanya dalam hati, apakah kita terlalu sibuk menyusun skema, hingga lupa pada urgensi. Masyarakat tidak menuntut pelabuhan megah dengan seremoni besar. Mereka hanya ingin pelabuhan yang berfungsi. Itu saja.

Dalam beberapa kesempatan, saya juga menyampaikan bahwa keterlambatan seperti ini berbahaya bagi kepercayaan publik. Ketika proyek besar berlarut-larut tanpa kejelasan, yang terkikis bukan hanya waktu dan anggaran, tetapi juga rasa percaya masyarakat pada negara.

Kepercayaan adalah modal sosial yang mahal. Sekali hilang, sulit dikembalikan.

Saya tidak ingin Pelabuhan Ujung Jabung menjadi contoh bagaimana proyek strategis berubah menjadi cerita panjang tanpa ujung. Kita sudah terlalu sering melihat itu terjadi di tempat lain. Dan saya tidak ingin Jambi menambah daftar tersebut.

Pemerintah pusat, khususnya Kementerian Perhubungan, tentu memiliki pertimbangan teknis dan kebijakan. Saya menghormati itu. Tetapi pada saat yang sama, saya merasa perlu terus mendorong agar keputusan yang diambil benar-benar berpihak pada kepentingan daerah.

Kerja sama dengan pihak swasta, misalnya, bisa menjadi solusi. Tetapi kerja sama juga harus transparan, terukur, dan berorientasi pada manfaat publik. Jangan sampai aset negara yang strategis justru kehilangan arah karena kepentingan jangka pendek.

Saya percaya, pembangunan tidak boleh berhenti pada jargon. Ia harus turun ke tanah, ke pelabuhan, ke dermaga, ke kapal yang benar-benar berlayar. Di sanalah pembangunan diuji.

Dalam banyak diskusi dengan masyarakat, saya menangkap satu pesan yang sama: mereka tidak anti proses, tetapi lelah menunggu. Menunggu kejelasan. Menunggu keberanian mengambil keputusan. Menunggu keberpihakan yang nyata.

Sebagai Edi Purwanto, saya menempatkan diri bukan sebagai pihak yang paling benar, tetapi sebagai jembatan suara. Suara masyarakat Jambi yang ingin maju, tetapi sering tertahan oleh lambannya eksekusi kebijakan.

Pelabuhan Ujung Jabung seharusnya menjadi pintu masuk kemajuan, bukan pintu masuk kekecewaan.

Saya terus bertanya, apakah kita sudah cukup serius menjadikan Jambi sebagai bagian penting dari peta maritim nasional? Ataukah kita masih memandangnya sebagai pelengkap, bukan pusat pertumbuhan?

Pertanyaan-pertanyaan ini penting, bukan untuk menyudutkan siapa pun, tetapi untuk memastikan bahwa arah pembangunan kita tidak melenceng. Bahwa proyek ini tidak sekadar hidup di laporan, tetapi berdenyut di kehidupan masyarakat.

Di akhir setiap pembahasan, saya selalu kembali pada satu prinsip sederhana: kebijakan yang baik adalah kebijakan yang manfaatnya terasa. Bukan hanya terlihat di presentasi, tetapi dirasakan oleh rakyat kecil.

Saya ingin Pelabuhan Ujung Jabung kelak dikenang bukan sebagai proyek yang lama ditunggu, tetapi sebagai titik balik. Titik balik bagi ekonomi Jambi. Titik balik bagi keadilan logistik. Titik balik bagi keberanian negara menepati janji.

Dan selama harapan itu masih ada, saya akan terus bersuara. Dengan cara yang tenang, tetapi konsisten. Karena bagi saya, memperjuangkan kepentingan daerah bukan soal sensasi, melainkan soal tanggung jawab.

Itulah cakap saya hari ini. Cakap seorang wakil rakyat yang percaya bahwa pembangunan harus berpijak pada kesungguhan, bukan sekadar niat baik.(*)

* Edi Purwanto, Anggota DPR RI dapil Jambi fraksi PDI Perjuangan

Pos terkait