Opini Jambi : Infodemik Covid-19 dan Hoaxical Distancing

Ilustrasi contoh surat izin
Ilustrasi contoh surat izin

Opini : Infodemik Covid-19 dan Hoaxical Distancing

Oleh: Amri Ikhsan *

Amri Ikhsan
Amri Ikhsan

Sekarang ini kita sedang berada didunia informasi yang begitu melimpah ruah. Fenomena ini berkait dengan makin banyak, beragam, dan canggihnya industri media informasi dan komunikasi. Kita juga menyaksikan kebebasan yang dimiliki oleh pegiat media sosial yang begitu bebas menulis dan membagi berita yang diterima.

Pada kondisi tertentu, kita ‘kelabakan’ bahkan bingung oleh derasnya berita yang diproduksi. Kadang kadang, sering ditemui antara berita berita saling berbeda dan bahkan berlawanan dari sumber yang berbeda. Yang lebih mengherankan, kita dikagetkan oleh kemunculan sebuah berita yang nampak ‘tiba tiba’, ‘asing’ dan ‘berani’.

Dalam konteks kekinian, Coronavirus disease 2019 (Covid-19) oleh WHO sudah dinyatakan sebagai pandemi. Artinya, virus ini sudah menjadi wabah dunia. Belum ditemukan vaksin yang manjur untuk mencegah virus ini dan hampir seluruh belahan dunia sudah terkonfirmasi terinfeksi dengan virus ini.

Sudah banyak orang yang meninggal dunia, sudah banyak yang positif terpapar virus ini, sudah banyak pasien dengan pengawasan (PDP) dan sudah banyak pula orang dalam pengawasan (ODP). Sekarang pemerintah sudah bekerja keras untuk menghentikan penyebaran virus ini, dengan meminta masyarakat untuk menjaga jarak sosial (social distancing) bahkan melaksanakan menjaga jarak fisik (physical distancing )

Disamping itu, pemerintah sudah mengambil langkah langkah preventif, bagi ASN diminta untuk bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH), siswa dan mahasiswa diliburkan belajar tatap muka, dan para guru harus mengajar dari rumah atau TFH (Teaching From Home), dengan memanfaatkan tehnologi informasi yang tersedia untuk pembelajaran daring. Secara umum, seluruh masyarakat diminta untuk “Stay at home”, tetap dirumah, jangan keluar rumah.

Semua kegiatan masyarakat yang mengumpulkan banyak orang dilarang, bahkan shalat Jum’at, shalat berjamaah di masjid atau musalla dilarang sampai batas waktu redanya penyebaran virus ini. Apalagi acara hajatan, arisan, seminar, acara perpisahan disekolah termasuk ‘haram’ dilakukan. Bahkan ‘gawe nasional, UNBK dibatalkan oleh pemerintah. Pokoknya, tidak boleh ada kegiatan tatap muka sepenting apapun acaranya.

Stay at home menimbulkan beberapa konsekwensi. Fisik seseorang boleh dirumah, tapi ‘jari manusia’ tidak bisa ‘dikurung’.

Mungkin bisa dihipotesakan, bahwa semakin banyak orang berada dirumah karena vovid-19, semakin banyak pula manusia menggunakan smartphone dengan medsosnya untuk menulis sesuatu yang ada dalam pikiran atau men-share berita yang diterima dari pihak lain.

Informasi tentang covid-19 bisa saja benar, valid, bisa dipercaya, tapi kadang kadang ada juga berita yang di-share masih abal-abal, hoaks, belum tentu kebenarannya yang membuat masyarakat jadi panik.

Dan ini diakui oleh WHO (Organisasi Kesehatan Dunia). Organisasi ini menyebut banjir informasi mengenai virus Corona itu sebagai “infodemik” .

WHO mendefinisikan ‘infodemik’ sebagai informasi yang menyebar, beberapa akurat dan beberapa tidak menjadikannya sulit bagi orang untuk menemukan sumber yang dapat dipercaya dan bimbingan yang andal ketika mereka membutuhkannya. Itulah infodemik, yaitu ledakan informasi yang menjadi sesuatu itu tidak pasti. Penyebaran misinformasi dan disinformasi terkait virus corona memang dianggap sama cepatnya atau malah lebih cepat keteimbang penyebaran virus itu sendiri dan ini menyebab ketakutan dan kepanikan yang tidak perlu.

Perkembangan hoaks masih tak terhindarkan. Kemenkominfo bahkan merilis jumlah hoaks dan disinformasi soal virus korona novel total 158 pada periode 20 Februari hingga 3 Maret 2020. Yang terjadi di tengah-tengah semua informasi ini, ada begitu banyak informasi yang tidak akurat yang beredar di media sosial yang dapat menyulitkan orang untuk mengetahui apa yang sebenarnya.

Informasi di media sosial ternyata ‘larinya lebih cepat daripada penyebaran Covid-19. Tanpa disadari ‘tangan’ kita sudah membuat ‘virus baru: pertama, ditengah upaya pengendalian penyakit menular adalah peredaran informasi melalui media massa ataupun media sosial yang justru menimbulkan kepanikan di masyaraka dewasa ini. Epidemi kepanikan di media sosial lebih cepat menyebar daripada epidemi penyakit (Riris Andono Ahmad, dalam laman web Kagama.co, 22 Maret 2020).

Kedua, penyebaran informasi yang salah dapat mempengaruhi penyebaran penyakit, setiap upaya yang berhasil menghentikan orang membagikan berita palsu dapat membantu menyelamatkan nyawa.( Channel News Asia)

Ketiga, terlalu banyak informasi, tidak seimbang atau disaring, berbahaya dan mengaburkan keputusan terkait kesehatan yang baik. (Michael McCauley). Kelima, informasi yang salah menyebabkan kebingungan dan menyebarkan ketakutan sehingga menghambat respons terhadap wabah. Kecemasan dan kepanikan masyarakat itu disebut sebagai ketidakseimbangan informasi publik.

Keenam, tak disadari kadang kala kita merasa seperti tubuh tiba-tiba saja mengalami nyeri, rasa gatal di tenggorokan, dan merasa sedikit meriang walaupun suhu tubuh normal. Iitu bisa saja timbul akibat merasa cemas setelah melihat informasi terkait Covid-19.

Akibatnya, publik dibuat bingung dan tak memiliki pegangan informasi yang bisa dijadikan sebagai patokan. Informasi justru ketika tersedia malah membingungkan masyarakat, membuat cemas. Informasi jadi terdistribusi semakin banyak. Malah itu menyebabkan ketidakpastian (Firman).

Kita sudah tidak mampu lagi membedakan antara fakta dan data, informasi dan opini serta keputusan dan kebijakan penguasa. Cara terbijak mengidentifikasi informasi adalah melihat sumber asalnya. Jika sumbernya berasal dari televisi maupun media online mainstream, informasi tersebut layak untuk dipercaya. Tetapi kalau masih berasal dari media sosial: youtube, whatsapp, facebook, atau twitter netizen, itu masih perlu diklarifikasi lagi.

Memang, kita sendiri yang memilih teks mana yang akan dibaca dan di-share. Dengan hanya ‘membaca biasa ’ teks yang tertulis, jelas membuat kita pusing tujuh keliling bila berita itu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Oleh karena itu, harus ada ‘ijtihad digital’ dengan mengubah cara ‘membaca’ sebuah teks seperti yang tawarkan oleh para ahli.

Baca Opini Jambi Lain di SINI

Jangan terpaku pada apa yang ada dalam teks, tapi beralihlah mencari ‘bagaimana dan mengapa’ teks itu diproduksi. Kalau kita mampu menemukan fenomena ini, kita akan menyadari motif tersembunyi dalam setiap teks. Ini penting ditemukan agar kita tidak terjebak situasi ‘asal share’.

Ini mesti diawali dengan mengidentifikasi struktur sistem produksi teks, rasionalitas, ideologi yang merupakan latar belakang sebuah teks diproduksi. Memang hal ini tidak terbuka untuk dikenali. Perlu usaha dari pembaca melakukan textual interrogation terhadap teks tersebut.

Social distancing, physical distancing tidaklah cukup, perlu juga sekali sekali melakukan ‘hoaxical distancing’ dengan melakukan penyadaran, pemberdayaan, dan transformasi sosial dengan ‘menjaga jarak hoaks dari jemari kita di medsos. Pegiat media sosial seharusnya tidak menurunkan misi mereka dari mengubah dunia (change the world) menjadi sekedar mengubah kata kata (change the words).

Kita harus bijak dan sehat bermedia agar tak mudah termakan provokasi jahat yang sengaja ingin menciptakan kepanikan. Menghadapi penyebaran Covid-19, mari bijak bermedia, jaga kesehatan, rajin olahraga, cuci tangan, dan mematuhi beragam protokol kesehatan yang telah ditetapkan.

Ternyata, virus yang paling ganas itu justru virus hoaks. Menyebarluas dengan cepat dan tidak ada obatnya.

*) Penulis adalah Pendidik di Madrasah

Baca Juga : Darurat Corona : Corat-coret Baju Rayakan Kelulusan SMA di Kerinci, Netizen Mengecam

Pos terkait