Opini Musri Nauli : Nasi Putih

perjalanan betuah (42)
Musri Nauli. (Ist)

Jambi Seru – Menurut kamus besar Bahasa Indonesia,  nasi putih dapat diartikan “nasi tanpa lauk-pauk”.

Istilah “nasi putih” juga sering dipadankan dengan “air Jernih” sering disampaikan didalam seloko-seloko di Jambi.

Seloko “nasi putih air jernih” adalah prosesi yang dikenal didalam adat di Jambi. Biasanya dikaitkan dengan prosesi mendapatkan tanah.

Seloko “nasi putih air jernih” sering juga dihubungkan dengan seloko-seloko seperti Setawar dingin”, betahun bersamo, Rapat kenduri, Melambas, Belukar tuo, Empang krenggong.

Seloko “nasi putih air Jernih” kadangkala juga dihubungkan dengan Kelapo Sekok, Selemak Semanis.

Di Marga Batang Asai Tengah dikenal pegang pakai. Di Desa Paniban Baru dikenal tatacara membuka hutan yang dimulai dari “Betaun bersamo, Rapat kenduri, melambas, Nasi putih Air jernih, Kelapa sekok, selemak semanis. Di Marga Serampas dikenal tanah ajun dan tanah arah

Bagi masyarakat desa Renah Pelaan (Merangin), untuk membuka lahan pertanian baru, biasanya mereka meminta izin terlebih dahulu yang dikenal “puji perago”.

Di Marga Sumay dikenal “Maro ladang/Maro Banjara”, “Behumo rimbo”, “behumo Ronah”. Prosesi yang dijalani berupa “lambas”, sak sangkut”, “Banjar bertindih galang”, “Bidang’, “pemarasan hutan”, “ Manugal-beselang”, Menanami”, “nyisip”, dan “beumo”.

Di Marga Batin II Ulu, Masyarakat menyebutkan istilah “kebun” untuk tanah yang sudah dibuka dan ditanami. Utamanya karet. Sedangkan terhadap tanah yang telah dibuka namun belum ditanami dikenal dengan istilah “sesap” atau “belukar”. Di Marga Pelepat dikenal membuka hutan yang disebutkan didalam “mati tanah. buat tanaman”. Di Desa Baru Pelepat, Desa Batu Kerbau dan Dusun Lubuk Telau dikenal “tando kayu batakuk lopang, tando kulik kaliki aka”, “harus sompak, kompak, setumpak”, “umpang boleh disisip”, “bak napuh diujung tanjung, ilang sikuk baganti sikuk, lapuk ali baganti ali”, “lapuk pua jalipung tumbuh”, “kadarek babungo kayu, kayak babungo pasir”, “tanah lombang, umput layu”. Di Marga Pemayung Ilir terhadap “buko rimbo” maka tanah ditandai “cucuk tanaman”.

Didaerah hilir seperti Di Desa Sungai Bungur, Desa Sponjen, Desa Sogo, Desa Sungai Berasdikenal istilah “pancung alas”. “Pancung alas” atau dengan penamaan lain adalah setiap kepala keluarga yang hendak membuka hutan harus seizin dari Kepala Desa.

Seloko “nasi putih air jernih” sebagai prosesi adat didalam membuka tanah adalah prosesi Sederhana. Simbol “nasi putih air jernih” adalah prosesi yang Sederhana, murah sekaligus kemampuan dari tuan rumah untuk mengundang masyarakat terhadap maksud dan keinginan dari tuan rumah untuk membuka tanah.

Ungkapan “Nasi putih air Jernih” selain memang melambangkan “bermodal nasi putih” sebagai kesederhanaan sekaligus proses yang tidak banyak orang yang menghadiri. Selain tokoh-tokoh adat, hanya sekitar tetangga tuan rumah.

Walaupun sederhana namun apabila tidak dilalui atau Diluar dari prosesi diatas maka dikenal “beumo jauh betalang suluk, beadat dewek pusako mencil”. Terhadap kesalahan kemudian dijatuhi sanksi. Sedangkan apabila dijatuhi sanksi namun tidak dipatuhi dikenal “Plali”. Ditandai dengan Seloko ”Bapak pado harimau, Berinduk pada gajah, Berkambing pada kijang, Berayam pada kuawo.

Selain itu pengakuan hak dikenal “empang krenggo”, “mengepang”,”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “Mati tanah. Buat tanaman”. Atau sejarah pembukaan lahan yang umumnya diketahui oleh masyarakat (cencang latih) dan jambu keloko (tanaman yang ada dilahan tersebut) atau bedah nang berantai (saluran air persawahan) merupakan bukti legalitas klaim. Selain itu juga dikenal Dendang kayu betakuk baris. Kayu belepang, takuk kayu atau Dendang hutan besawa sulo. (*)

Advokat. Tinggal di Jambi

Pos terkait