Dikenal sebagai “jago tempur” dan Ahli strategi perang.
Dengan kemampuan itulah, kemudian kesatria dihormati dan menjadi cerita kepahlawanan (Epos).
Bukankah berbagai kisah-kisah Kerajaan tidak dapat dilepaskan dari kesatria yang menjaga kerajaan.
Begitu pentingnya posisi strategi kesatria ditengah masyarakat, maka didalam diri kesatria terdapat jiwa seperti “Mementingkan kepentingan orang banyak”, setia kepada negara, berani berkorban dan bijaksana.
Lalu apakah seorang kesatria tidak pernah melakukan kesalahan ?
Sebagai manusia, tentu saja seorang kesatria juga pernah melakukan kesalahan.
Namun berbeda dengan masyarakat umum, seorang kesatria yang melakukan kesalahan kemudian harus berjiwa besar “mengakui kelemahan”. Termasuk mengakui kekalahan di medan pertempuran.
Jiwa kesatria juga Termasuk “mengambil alih” tanggungjawab “kesalahan anggotanya.
Bukankah dogma yang sering didengarkan “tidak ada Anak buah yang salah. Yang salah adalah komandan”.
Menyimak alur dari cara pandang masyarakat didalam struktur, maka “komandan” baik dari tingkatan Kapolsek, Kapolres dan Kapolda kemudian ditempatkan sebagai “kesatria”.
Sebagai seorang kesatria, maka seluruh sikap seorang kesatria harus melekat dan menjadi bagian dari hidup sehari-hari seorang kesatria.
Namun melihat kedua sidang, terlihat jelas bagaimana “perwira tinggi aktif”, mempunyai posisi strategis dan prestasi mumpuni sama sekali tidak terlihat sebagai seorang kesatria.
Cara “berkelit”, melemparkan tanggungjawab bahkan “terkesan menghindar” begitu kentara didalam persidangan.
Sikap dan cara sebagai kesatria sama sekali tidak terlihat di muka persidangan. Jauh sekali.
Yang paling memalukan justru sang kesatria sama sekali tidak mau mengakui perbuatannya dan justru “melemparkan” tanggungjawab kepada anggota.
Disisi lain, Bahkan berbagai “skenario”, cara mengelak justru menampakkan sikap-sikap “kampungan”, “norak” dan terkesan jauh dari sikap seorang kesatria.
Entah berapa kali Majelis hakim terus mengingatkan kepada terdakwa agar menempatkan diri sebagai “pribadi” yang harus dihormati dengan bersikap kesatria.
Namun “terlepas” apapun putusan yang akan menjerat para pelaku, berbagai skenario yang sedang disusun akan menjadi pertimbangan penting oleh Majelis Hakim.
Berkaca dari Putusan kasus pembunuhan, hakim justru menempatkan “pelaku” yang harus bertanggungjawab dan kemudian memberikan hukuman mati.
Sedangkan di sidang lain – Tanpa harus mendahului putusan hakim – kasus “jual beli sabu” telah jelas terpampang d persidangan. Tidak ada lagi keraguan sedikitpun.
Tentu saja “kesatria” yang terdapat didalam diri pelaku dan kemudian sama sekali tidak terlihat di persidangan akan menjadi bagian penting didalam putusan hakim. Dan tentu saja akan memberatkan diri pelaku itu sendiri.
Advokat.. Tinggal di Jambi













