Oleh: Edi Purwanto*
Saya sering berkata kepada kolega di DPR dan kepada teman-teman mitra ojol: kita tidak berbicara soal angka di atas kertas… kita berbicara nasib keluarga yang bergantung pada setiap orderan yang masuk. Itu bukan statistik, itu hidup nyata.
Beberapa waktu lalu saya mendengar langsung dari para pengemudi bagaimana biaya potongan dari aplikasi sudah jauh melebihi aturan yang semestinya — bahkan mencapai sekitar 30 persen atau lebih dari pendapatan mereka per transaksi. Ini bukan sekadar angka, ini berarti bahan bakar, biaya hidup, dan kebutuhan keluarga yang makin sulit dipenuhi. Ini yang disebut para mitra sebagai ‘berat’… dan saya setuju sekali, karena selama beraudiensi itulah yang mereka rasakan.
Saya tahu teman-teman semua di Komisi V DPR RI, teman-teman sesama legislator, dan tentu para pemangku kebijakan lain juga paham bahwa sektor transportasi online ini telah menjadi bagian penting dari sistem transportasi nasional. Tapi kehadiran teknologi tidak boleh menciptakan ketimpangan baru yang memiskinkan pekerja.* Kita harus hadir. Mestinya bekerja sama dengan aplikator, bukan hanya memaksakan logika pasar yang tidak memperhatikan kesejahteraan mitra yang justru jadi tulang punggung layanan itu sendiri.
Saya tegaskan lagi kepada teman-teman di Senayan dan saya sampaikan kepada publik: potongan biaya aplikasi 10 persen itu bukan retorika politik, itu aspirasi nyata dari para pengemudi. Ini bukan sekadar tuntutan demo, ini suara ribuan keluarga yang berharap keadilan. Dan sebagai wakil rakyat, saya tidak boleh diam.
Waktu itu, di rapat dengar pendapat bersama perwakilan driver, saya berbicara jelas: negara harus hadir. Negara tidak boleh hanya jadi penonton. Kita bicara soal hak pekerja, soal kemitraan yang adil, soal keadilan sosial yang sebenarnya — bukan slogan kosong.
Saya sering bawa isu ini ke meja diskusi dan rapat Komisi V. Bukan hanya soal angka potongan… tapi soal payung hukum yang layak, regulasi yang menjamin transparansi tarif, kejelasan status kerja, dan perlindungan sosial. Ini bukan soal untuk memukul aplikator, tapi agar semua pihak — pengemudi, aplikator, dan konsumen — dapat kepastian hukum yang adil. Tidak ada yang dirugikan tanpa solusi konkrit.
Waktu saya turun langsung ke Jambi dan berdialog dengan para mitra ojol, mereka menyampaikan tentang praktik pungutan di luar ketentuan yang sering disebut “pungutan liar”. Ini bukan hanya frustrasi semata, ini menyentuh rasa keadilan yang paling dasar: apakah kerja keras dihargai, atau dipotong oleh biaya yang tidak proporsional? Saya serap aspirasi itu dan saya bawa ke rapat-rapat di DPR.
Kita juga bicara soal perlunya regulasi transportasi online — sesuatu yang selama ini belum memiliki payung hukum kuat. Dalam banyak pembicaraan saya dengan kolega, penting bahwa RUU (Rancangan Undang-Undang) semacam itu dirumuskan agar semua persoalan bisa tuntas: dari tarif adil, status kerja yang jelas, hingga hak-hak kesejahteraan rekan-rekan ojol.
Saya percaya, demokrasi bukan hanya soal memilih wakilnya… tapi tentang wakil itu mendengarkan suara rakyatnya dan memperjuangkannya. Saya tidak akan menyerah hanya karena proses legislasi ini rumit atau karena ada tarik-menarik kepentingan. Kita lakukan dialog terbuka, melibatkan pemangku kepentingan, akademisi, hingga komunitas mitra. Prosesnya memang panjang — tapi tidak ada jalan pintas jika kita ingin hasilnya adil dan berkelanjutan.
Dan kepada para mitra ojol, saya selalu katakan: suara kalian penting. Saya tahu beberapa pihak merasa pemerintah lambat menjawab tuntutan, dan saya sendiri paham frustrasi itu. Tapi saya juga terus dorong dialog konstruktif dengan kementerian terkait, aplikator, dan pihak lain agar tidak hanya memprotes — tetapi membangun solusi bersama yang nyata dan bisa diterapkan.
Keadilan bukan sekadar slogan atau headline berita… itu adalah hak setiap orang yang bekerja keras setiap harinya. Saya berdiri bersama para pengemudi ojol bukan karena itu populer, tapi karena itu benar. Dan selama saya masih dipercaya sebagai wakil rakyat di Komisi V DPR RI, isu ini akan terus saya kawal, saya perjuangkan, bukan sebagai figuran — tapi sebagai bagian dari perubahan nyata dalam kehidupan rakyat kecil yang bekerja di era digital ini. (*)
* Edi Purwanto, anggota DPR RI dapil Jambi












