Opini Musri Nauli : Pidana Mati dan Pidana Seumur Hidup

Musri Nauli SH
Musri Nauli SH

Jambiseru.com – Disaat Mahkamah Agung didalam Perkara Pidana Nomor perkara 813 K/Pid/2023 yang menerima kasasi dari Ferdy Sambo (mantan Perwira Tinggi Polri) kemudian memutuskan dan mengubah dari Hukuman Mati menjadi seumur hidup, berbagai polemik kemudian menarik perhatian publik.

Putusan Pidana Mati oleh Pengadilan Jakarta Selatan seakan-akan menyambut dahaga publik. Publik kemudian bergembira terhadap putusan.

Putusan ini kemudian diperkuat di tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Jakarta.

FS yang dituntut Jaksa penuntut Umum hukuman seumur hidup namun kemudian diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan hukuman mati dan diperkuat di Pengadilan Tinggi Jakarta

Namun ketika Mahkamah Agung yang menerima kasasi dari FS, MA kemudian mengubah menjadi seumur hidup. Asa publik kemudian sempat Memantik polemik.

Sebenarnya secara hukum, kewenangan hakim menjatuhkan putusan adalah kemerdekaan hakim. Didalam berbagai yurisprudensi disebutkan terhadap “penilaian fakta persidangan” dan masa hukuman (straftmaacht) adalah wilayah kemerdekaan hakim.

Merujuk kepada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diperkuat di Pengadilan Tinggi yang menjatuhkan hukuman mati dan kemudian disandingkan dengan Putusan Mahkamah Agung harus tetap merujuk didalam KUHP.

Didalam KUHP, padanan “hukuman mati” adalah “seumur hidup” dan penjara 20 tahun. Ketiganya termasuk kedalam genus hukuman maksimal.

Sehingga merujuk kepada Putusan Mahkamah Agung yang mengubah hukuman mati menjadi seumur hidup menurut KUHP tidaklah menjadi persoalan.

Atau dengan kata lain, terhadap hukuman mati kemudian hukuman seumur hidup masih linier dan satu tarikan nafas.

Jadi tidaklah istimewa kemudian mengubah hukuman mati menjadi seumur hidup. Baik dilihat dari literatur maupun KUHP sendiri.

Atau dengan kata lain, secara hakiki menurut KUHP, hukuman mati tidaklah berbeda dengan penjara seumur hidup. Walaupun secara prinsip ada perbedaan yang mendasar.

Sehingga dipastikan terhadap putusan Mahkamah Agung kemudian bersifat putusan tetap (In kracht van gewijsde).

Namun yang sering dilupakan oleh berbagai kalangan, seruan menerapkan hukuman mati kemudian diubah menjadi seumur hidup oleh Mahkamah Agung justru menempatkan Mahkamah Agung menjadi bulan-bulan dari publik.

Melihat kegeraman perbuatan yang dilakukan sehingga mengakibatkan kematian terhadap sang korban menimbulkan Simpati dan kemudian mendukung hukuman mati.

Reaksi publik Masih dapat dimengerti.

Namun yang mengecewakan justru dari para pemerhati hukum ataupun praktisi hukum itu sendiri.

Mereka melupakan esensi dari tarikan satu nafas “hukuman mati”, seumur hidup dan penjara 20 tahun.

Kesesatan sekaligus mengaburkan pembahasan secara yuridis sekaligus kemudian menempatkan Mahkamah Agung dan tidak memberikan informasi yang sebenarnya justru menimbulkan akibat hukum dari pandangan pulbik menjadi titik nadir.

Sungguh mengecewakan.

Terlepas dari apapun hukuman yang pantas kepada pelaku pembunuhan dari peristiwa yang terjadi, apapun pilihan baik hukuman mati, hukuman seumur hidup masih dalam konteks ilmu hukum.

Masih dalam tarikan satu nafas.

Secara pribadi, ketika hukuman mati dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dugaan penulis terbukti. Pengadilan negeri Jakarta Selatan “pasti” menjatuhkan pidana mati. Sekaligus diskusi hukum dengan beberapa teman yang mengikuti kasus ini lebih intens. Walaupun penulis masih memilih bersikap menolak hukuman mati.

Namun ketika Mahkamah Agung kemudian mengubah menjadi seumur hidup dan kemudian tidak memberikan seimbang informasi dan norma didalam KUHP yang menempatkan hukuman mati setarik nafas dengan hukuman seumur hidup atau 20 tahun penjara, seketika itu kita kemudian lalai memberikan informasi yang seimbang kepada publik.

Dan itu sangat menyedihkan sekaligus mengecewakan ketika informasi ataupun norma hukum yang tidak seimbang diberikan kepada publik. (*)

Advokat. Tinggal di Jambi

Pos terkait