Perjalanan Hidup HBA Jambi, “Surat Untuk Sahabat”

Buku Surat Untuk Sahabat, perjalanan hidup mantan Gubernur Jambi Hasan Basri Agus HBA Jambi
Buku Surat Untuk Sahabat, perjalanan hidup mantan Gubernur Jambi Hasan Basri Agus HBA Jambi

Perjalanan Hidup HBA Jambi, “Surat Untuk Sahabat”

Diceritakan oleh: Hasan Basri Agus (HBA)
Ditulis oleh: Monas Junior (Alpadli Monas)

Hari itu seperti hari-hari biasa. Tak ada yang istimewa di rumah dinas yang saya tempati. Waktu seperti tak pernah berhenti memerintah saya untuk bergegas dan bergegas.

Bacaan Lainnya

Tapi siang itu, di tengah himpitan waktu dan kesibukan, saya kedatangan tamu yang luar biasa. Seorang sahabat sekaligus saudara, Syukri Al Hauni. Pria terhormat yang telah menempati sebagian besar masa lalu dan masa sekarang saya. Kami bertemu saat mondok di pesantren dan berpisah saat saya melanjutkan pendidikan di APDN dan ia merantau ke Arab Saudi.

BACA JUGA : Forum Film Jambi, Menyambut Lembaga Pendidikan Film Jambi

Entah angin keberuntungan apa yang membawa ia kepada saya, tapi yang jelas, kedatangannya membawa kabar masa lalu yang sudah lama saya lupakan. Syukri, dengan gurat-gurat usia yang sama dengan saya di wajahnya, masuk ke dalam ruang kerja saya sambil tersenyum.

Setelah bersalaman dan melepas peluk rindu, kami duduk dengan nyamannya di sofa dengan hembusan angin pendingin ruangan yang menyejukkan. Saat itulah ia tiba-tiba membuka sebuah kotak, lalu mengeluarkan beberapa lembar kertas. Ternyata kertas itu berisi surat.

Ia bertanya kepada saya, “Masih ingat surat ini?”. Saya jawab, “Tidak”.

Surat itu ia serahkan, saya menyambut dengan kejutan. Betapa tidak, surat berkop APDN Jambi itu, rupanya ditulis oleh saya sendiri ditujukan kepada sahabat saya Syukri Al Hauni, pria yang sedang menatap saya dengan senyum lebar.

1980. Itu adalah tahun penulisannya. 34 tahun lalu, waktu yang lumayan lama. Saking lamanya, kertas itu sudah mulai menguning dan entah berapa banyak tumpukan debu di atasnya. Sambil membaca sepintas, saya menatap Syukri, lalu menatap lagi surat itu, kemudian merasa aneh.

Saya hanya bisa tersenyum begitu sadar betapa perhatiannya Syukri.

Di tengah-tengah kesibukannya, ia masih sempat menyimpan surat itu. Sungguh sahabat yang setia.

“Coba baca ini.” Syukri menunjuk pada satu paragraf dalam surat itu.

Agar lebih jelas, saya memakai kacamata baca.

“Adinda. Doain Ana di depan Ka’bah agar jadi bupati atau gubernur ya, hehehehe….”

Membaca itu, saya langsung tertawa dan merasa tak percaya. Apalagi ketika saya ingat, bahwa ketika menulis itu, saya hanya bermaksud bercanda. Saya hanya membalas surat dari Syukri sebelumnya yang salah satu kalimatnya mendoakan agar begitu lulus APDN, saya bisa menjadi camat. Sewaktu itu, APDN merupakan tempat menggodok calon-calon camat. Dan, rasanya wajar saja jika Syukri mendoakan agar saya menjadi camat karena saya sedang menempuh pendidikan di APDN.

BACA JUGA : Mantap! Thrailer Film Jambi “Surat Untuk Sahabat”

Dalam hati saya bertanya-tanya, apakah doa Syukri di Ka’bah diijabah Allah, atau memang sudah garis tangan saya akan menjadi gubernur.

Entahlah. Yang jelas, semua yang terjadi pasti sudah sesuai kehendak-Nya.

Siang itu kami dikepung tawa. Kebahagiaan menyeruak dengan cepat, begitu juga dengan kenangan.

Sepeninggal Syukri, malam harinya, senyum bahagia itu tak mau pergi. Kenangan seperti air terjun yang jatuh dari tebing tinggi, menimpa tempat tidur dan membasahi semua rasa kantuk.

Tiba-tiba saya terkenang Bapak, Emak, saudara, sahabat dan masa kecil yang penuh perjuangan.

BACA JUGA : Pasang Foto HBA di Baliho, Al Haris Kukuhkan Dukungan HBA di Pilgub Jambi 2020

BAGIAN II
Sandal Jepit, Buah Keduduk
dan Perjalanan yang Panjang

Setiap mengingat masa kecil, saya selalu terbayang akan tiga hal ini: sandal jepit, buah keduduk dan perjalanan yang panjang dari rumah ke sekolah tempat saya menimba ilmu pengetahuan.

Saya dilahirkan di Dusun Sungai Abang, beberapa kilometer dari ibukota Sarolangun (ketika itu Sarolangun masih tergabung ke dalam kabupaten Sarolangun-Bangko –Sarko). Di masa itu, sekitar tahun 1960-an, fasilitas pendidikan masih sangat minim di pedesaan. Sekolah-sekolah dasar hanya ada di beberapa desa saja. Sayangnya di desa saya tidak. Yang ada di dusun sebelah, Dusun Panti.

Jarak antara rumah dengan dusun itu berkisar 2,5 kilometer. Cukup jauh kala itu. Coba bayangkan kalau Anda harus menempuh perjalanan dengan kondisi jalan tanah dilapisi batu kerikil –yang berlumpur kalau kena hujan dan berdebu disengat matahari-, tanpa kendaraan dan terpaksa harus jalan kaki. Betapa berat dan jauhnya perjalanan itu, bukan?

Itulah yang terjadi. Saya, bocah kecil yang punya semangat untuk maju dan menimba ilmu, setiap hari terpaksa harus berjalan kaki dari rumah ke sekolah, sekolah-rumah, tanpa bantuan transportasi apapun.

Untungnya saya punya banyak kawan yang senasib. Karena beramai-ramai, perjalanan jauh dan berat itu jadi tak terlalu berasa. Keceriaan selalu menyertai perjalanan kami. Dan keceriaan itu, tak akan pernah udzur di makan waktu. Kenangan manis juga pahit yang sulit dilupakan.

Saat inilah saya terkenang akan sandal jepit. Alas kaki sederhana yang selalu setia menjadi sahabat perjalanan. Anda tahu, saat itu, sepatu adalah alas kaki termahal. Hanya bisa dimiliki beberapa orang saja. Dan malangnya, orang itu tidak termasuk saya.

Pukul 05.00 WIB, saya bangkit dari tempat tidur. Bersiap-siap, mengenakan seragam, sarapan seadanya, lalu berdiri di ambang pintu sambil menatap mesra benda terbuat dari karet yang telah menunggu sejak semalam di lantai depan pintu. Kami, sandal jepit dan saya, seakan pasangan serasi yang tak terpisahkan. Dia selalu menyediakan badannya untuk saya, dan saya selalu menyediakan kaki untuk dia. Lihat, betapa serasinya kerjasama kami.

Sudahlah, lupakan dulu sandal jepit. Kawan-kawan sudah menjemput, saya berlari kecil untuk bergabung dengan mereka, lalu berjalan dengan ceria menyusuri tapak demi tapak jalan dusun yang penuh dengan rumput di kanan kirinya.

Sepanjang perjalanan yang terlihat hanyalah hutan dan kebun warga. Rata-rata penduduk dusun kami berkebun karet, komoditi andalan Jambi pada waktu itu. Setiap pagi, sebagian besar warga sudah berada di kebun untuk menyadap karet. Sebagian lagi memberi makan ternak: kambing, sapi dan kerbau. Ibu-ibu pun ikut terlibat langsung dengan aktivitas itu. Sungguh pemandangan desa yang asri dan nyaman.

Ah… pagi di dusun yang selalu menyegarkan! Dan, pagi yang penuh semangat di sekolah dasar.

Kami belajar dengan semangat, dengan penuh suka cita dan pikiran dibayangi masa depan yang cerah. Yah, seperti anak-anak biasanya, kami tak pernah berhenti berkhayal tentang hal-hal indah di masa datang.

Berangkat dan berada di sekolah adalah tantangan hebat buat saya. Apalagi sepulang sekolah, ketika tubuh mulai lelah dan langkah mulai melemah, perut pun jadi terasa lapar. Saya tak pernah jajan di sekolah, karena memang tak ada uang. Jadi, untuk menyiasati dahaga dan lapar, saya dan kawan-kawan mencari apa saja yang bisa dimakan sepanjang perjalanan pulang.

Pada saat ini lah saya teringat akan buah keduduk. Buah seukuran kelereng kecil bewarna merah kehitam-hitaman –tanaman ini biasa tumbuh liar di tepi jalan- ini, kalau dikunyah akan terasa manis-kelat dengan sensasi butir-butir pasir menyentuh lidah. Setelah itu, lidah dan gigi akan terlihat menghitam. Kami akan tertawa melihat gigi satu sama lain yang hitam seperti baru saja mengunyah arang kayu.

Buah ini selalu menjadi salah satu menu favorit makan siang kami. Efektif, gratis, tapi cukup mengenyangkan. Jadilah menunda lapar sampai tiba di rumah.

Hari-hari saya selama empat tahun berlalu seperti itu: bangun pagi, bersiap-siap, pakai sandal jepit, berjalan kaki sepanjang 2,5 kilometer ke sekolah, belajar di sekolah, lalu pulang (sambil makan buah keduduk di sepanjang perjalanan pulang).

Saat kelas empat SD, saya menambah kesibukan. Sepulang sekolah, tanpa disuruh saya membantu Bapak di kebun karet. Terkadang saya ikut menyadap dan terkadang memungut batok kelapa (wadah penampung yang ditempelkan di pohon karet) yang sudah berisi getah. Batok-batok itu dikumpulkan, isinya dikeluarkan, dan setelah banyak direndam dengan air keras untuk menciptakan balok-balok karet yang siap dijual.

Balok-balok karet yang tersedia akan diturunkan ke rakit bersama milik warga lainnya. Setelah itu, karet-karet itu siap dijual ke Jambi. Waktu itu, transportasi darat ke Kota Jambi sangat tidak mendukung. Jadi warga terpaksa menggunakan jalur sungai untuk aktivitas perdagangan.

Dan selama proses itu berlangsung, saya menyaksikan langsung betapa gigihnya Bapak-Emak mencari nafkah untuk menghidupi kami, anak-anaknya. Seringkali saya melihat peluh berjatuhan di kulit Bapak ketika ia bekerja di kebun. Dan menyadari betapa banyak keringat Emak saat membantu Bapak baik di kebun maupun di rumah.

Meski sedang sibuk, mereka tetap saja sempat memperhatikan dan mendukung apa saja yang positif dari diri kami. Ini membuat tekad untuk maju perlahan-lahan lahir di diri saya. Saya ingin bisa terus sekolah hingga jenjang tertinggi. Supaya nanti, pada masa yang tepat, saya bisa membahagiakan kedua orang tua yang telah susah payah membesarkan saya. Kalau bisa, saya juga ingin membanggakan mereka dengan kesuksesan yang saya raih berkat kerja keras dan usaha yang gigih, segigih mereka.

Begitu kelas 5, saya tidak hanya menambah kesibukan, tapi juga menambah panjangnya perjalanan kaki dari rumah ke sekolah. Kalau dulu dari kelas 1 sampai 4 berjalan sejauh 2,5 kilometer, pada kelas 5-6 saya diharuskan berjalan kaki sejauh 4,5 kilometer. Bertambah 2 kilometer dari jarak tempuh yang biasa saya lakukan. Itu karena kelas 5-6 terpisah dari SD di Dusun Panti. SD yang ada kelas 5-6 hanya ada di dusun sebelahnya lagi, Dusun Sungai Baung.

Jadi begitulah, perjalanan dan perjuangan yang harus saya lakukan semakin lama semakin berat. Saya sendiri tak menyangka pada tahun-tahun berikutnya, perjuangan yang akan saya terima akan bertambah dan bertambah terus tanpa bisa ditolak.

BACA JUGA : Al Haris Jadi Saksi Nikah Ponakan HBA, Tunjukkan Kedekatan Bapak-Anak

Sekaleng Beras dan Sebuah Perahu

Di salah satu kamar Pondok Pesantren As’ad seberang Kota Jambi yang berdinding kayu beratap seng dengan tempat tidur dan lantai seadanya, saya berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Pikiran saya terbang ke kampung halaman dan mendarat tepat di wajah Bapak yang sedang kesulitan.

“San, Kau balek mudik bae…” Begitu isi pesan dari Bapak. Singkat, namun bermuatan penderitaan.

Bapak menyampaikan bahwa ia tak sanggup lagi membiayai sekolah saya yang tergolong mahal. Hasil penjualan getah hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tidak bisa lebih dari itu. Kesimpulannya, ia tak sanggup lagi menyokong penuh biaya sekolah saya di rantau.

Menyadari itu saya langsung menangis. Tak bisa berbuat apa-apa.

Saya, anak MTs kelas satu yang baru akan naik kelas 2, harus menghadapi kenyataan hidup yang keras dan dipaksa mementahkan mimpi-mimpi untuk menjadi orang pintar dan berguna bagi semua orang. Saya disuruh pulang ketika sedang semangat-semangatnya sekolah. Disuruh mengalah karena keadaan. Apa yang harus saya perbuat? Apa?

Sewaktu itu saya masih anak kecil yang beranjak remaja, belum pernah menghasilkan uang dari usaha sendiri. Walaupun kehidupan ponpes mengajarkan santrinya agar bisa mandiri –memasak, mencuci, bersih-bersih-, tapi tak pernah ada mata pelajaran tentang bagaimana memperoleh uang demi bertahan hidup. Itu membuat air mata saya terus saja mengalir. Seakan tak pernah berhenti. Saya menangis, menangis dan terus menangis seorang diri di kamar. Saya tak mau kawan-kawan ikut sedih menyadari keadaan saya. Cukuplah saya sendiri yang tahu, cukup saya saja… dan Allah.

Ingat Allah saya bergegas bangkit dari tempat tidur. Berlari kencang sekencang air mata yang masih saja mengalir ke tempat berwudhu. Usai itu saya tulis pesan kepada Bapak dan Emak di kampung.

Saya memohon agar Bapak-Emak bersedia merestui saya untuk terus melanjutkan pendidikan. Dan saya meminta agar mereka mengirimkan beras sekaleng roti Marie setiap bulannya. Tak perlu mengirim uang atau lauk, cukup itu saja, dan saya meyakinkan mereka bahwa saya bisa hidup di rantau orang.

Mungkin melihat keseriusan saya, Bapak merestui. Ia menyanggupi untuk mengirim sekaleng beras kepada saya sebagai “amunisi” untuk bertahan di medan hidup rantau orang. Sisanya, saya mencari uang lewat pekerjaan sebagai kernet perahu ketek.

Zaman itu, medio 1969, perahu ketek adalah satu-satunya alat transportasi warga untuk menyeberang dari dan ke seberang kota -belum ada jembatan Aur Duri-. Karena satu-satunya, penumpang jadi membludak setiap harinya. Dan itu adalah usaha yang menjanjikan.

Setelah beberapa kali menjadi kernet ketek, saya ingin punya ketek sendiri dan menghasilkan uang sendiri yang lebih banyak ketimbang sekadar menjadi kernet. Jadilah pada masa liburan sekolah, saya kembali ke kampung dan membantu kakak menyadap karet. Setelah uang terkumpul, saya kembali ke Kota Jambi untuk membeli sebuah perahu ketek. Setelah itu, kehidupan mulai berjalan cukup lancar.

Pendapatan saya mulai tetap. Perut dan pelajaran di ponpes sama-sama terpenuhi. Saya mulai puas dan mengucap rasa sukur tak terkira atas karunia Allah SWT yang telah membantu saya menghadapi masa-masa sulit di MTs.

Aktivitas saya perlahan-lahan menjadi normal. Di ponpes belajar dan berusaha tekun untuk menguasai berbagai hal, di luar ponpes mengayuh biduk dan melayani penumpang dengan usaha yang keras.

BACA JUGA : Pertemuan HBA-Cik Bur-Al Haris, Sinyal Demokrat ke Alharis di Pilgub?

Mahasiswa yang Jadi Tukang Sapu Sekaligus Nelayan

Masih di kamar yang sama, hari yang beda dengan tubuh yang lebih tinggi, saya berdiri menikmati segala sesuatu di kamar ini. Aromanya apek tapi menenangkan, perabotan terlihat kumal dan tua. Itu membuat saya sadar bahwa waktu enam tahun telah saya habiskan di sini.

Keluar dari pondok, tinggal di rumah paman, Yusak di kawasan Legok, saya dihadapkan pada kenyataan yang lebih keras lagi. Mau melanjutkan kuliah uang tak cukup. Orang tua di kampung malah meminta saya untuk pulang dan menjadi imam masjid dan mengajar di madrasah.

Tapi saya tak mau. Saya masih ingin sekolah dan mengejar cita-cita menjadi seseorang yang bisa membanggakan orang tua.

Akhirnya berbekal nekat dan uang hasil jual kerbau warisan orang tua, saya melanjutkan kuliah di institut keguruan dan ilmu pendidikan (IKIP) Jambi. Sewaktu itu kampus IKIP berada di kawasan Broni –kini Universitas Batanghari-.

Empat semester menjadi mahasiswa, saya kembali menghadapi cobaan berat. Lagi-lagi masalah keuangan. Ya, karena sudah tidak menarik ketek lagi, saya kehilangan penghasilan. Jadinya uang makan dan uang kuliah tidak bisa saya penuhi. Ini membuat saya kebingungan dan gundah gulana. Tapi tak segundah semasa MTs dulu.

Lagi-lagi saya menguras otak untuk mencari solusi cepat mengatasi permasalahan keuangan. Kesimpulannya, mau tak mau saya harus kembali bekerja.

Pekerjaan pertama yang saya lamar adalah pegawai TKS di Dinas Kesehatan Provinsi Jambi. Berkat bantuan paman saya, Yusak. Sebelumnya saya sholat dan berdoa kepada Allah untuk diberikan kekuatan, solusi dan pencerahan atas masalah yang saya hadapi. Sukurlah Allah menjawab dengan cepat. Dia memberi saya ketetapan pada hati dan tekad untuk tetap bertahan. Solusi pun Dia berikan lewat pemikiran yang sebelumnya tidak pernah terlintas di benak saya.

Berbekal ijazah SD (ijazah madrasah waktu itu tidak berlaku di pemerintahan) saya diterima dengan job sebagai pelayan dan tukang ketik di kantor itu. Walau tidak digaji, saya dijanjikan kalau bekerja sungguh-sungguh akan diangkat jadi PNS delapan bulan kemudian.

Mulai hari itu saya menjadi bagian dari dinas itu. Menyapu, melayani pegawai dinas, dan menyaksikan kesibukan di kantor negara, membuat saya kian terpacu untuk menjadi pegawai negeri sipil. Tanpa disadari, saya jadi banyak belajar dari kehidupan sehari-hari di kantor Dinkes itu. Pelajaran pertama sebagai pegawai TKS yang sangat berharga untuk kehidupan saya selanjutnya.

Tapi masalah belum selesai. Walau sudah menjadi TKS, kebutuhan hidup dan kuliah saya tidak juga terpenuhi. Saya masih sering kelaparan dan kekurangan uang. Karena itu, saya kembali memutuskan untuk mencari pekerjaan sampingan.

Beruntung saya kenal Abang Harun. Sahabat yang sudah bekeluarga itu mengajak saya menjadi nelayan, profesi yang mengandalkan ikan dan ikan itu. Saya langsung menerima tawarannya. Maka sejak itu, selain sebagai pelayan kantor, saya juga menjadi nelayan di Sungai Batanghari.

Menjalani tiga aktivitas sekaligus: pegawai TKS di siang hari, mahasiswa di sore hari, dan nelayan di malam hari, membuat seluruh tenaga dan pikiran saya terkuras. Entah kekuatan apa yang membuat fisik saya bisa bertahan di semua situasi itu. Saya yakin, selain tekad dan daya juang yang saya miliki, Allah juga memegang peranan sangat penting pada kehidupan saya.

Setelah sholat Isya, saya dan Harun bersiap-siap di kawasan Solok Sipin. Jala, pancing, umpan, dayung, semuanya kami masukkan ke dalam biduk. Begitu semua siap, kami mulai mencari ikan dengan rute Legok, Sijenjang hingga Kumpeh.

Sepanjang perjalanan sungai, kami awalnya dihantui ketakutan dengan ganasnya Sungai Batanghari sewaktu itu. Kasus-kasus orang dimakan buaya menandakan bahwa Sungai Batanghari masih menyimpan bahaya yang mengancam jiwa. Tapi karena keadaan mendesak, saya kesampingkan rasa takut itu. Dan dengan sungguh-sungguh membantu Abang Harun mencari ikan sebanyak-banyaknya.

Pekerjaan sampingan itu saya lakoni hingga lewat tengah malam setiap harinya. Sekitar jam 1 dini hari, kami berlabuh di kawasan Kumpeh. Ikan-ikan hasil tangkapan kami kumpulkan, lalu kami masukkan ke kapal tongkang yang ada kawasan itu. Setelah perahu kami ikatkan di kapal itu, kami ikut naik lalu menunggu sampai jam 04.00 (menjelang Subuh).

Angin bercampur embun membuat kulit saya kecut. Tulang-tulang pun serasa kaku dibuatnya. Saya menyelimuti tubuh dengan sarung sambil berbaring di lantai kapal. Abang Harun yang berada tak jauh dari saya terlihat sudah memejamkan matanya. Dan tak berapa lama kemudian saya ikut tertidur di antara dinginnya pagi dan lelahnya tubuh.

Kutipan kata bijak hba
Kutipan kata bijak HBA

Sekitar pukul 4 pagi, kami mengayuh perahu sampai Pasar Angsoduo. Setelah menurunkan ikan hasil tangkapan, kami bergegas ke pasar itu. Begitu ikan terjual, kami membagi hasil penjualan dengan sistem 1-2. Satu untuk saya, dua untuk Abang Harun (karena ia telah berkeluarga sedang saya masih bujangan). Pembagian yang sangat adil.

Dari Pasar Angsoduo saya buru-buru pulang, lalu sholat, mandi dan berjalan cepat ke kantor Dinas Kesehatan Provinsi untuk melanjutkan profesi yang pertama. Ah, betapa mahalnya tidur yang cukup bagi saya kala itu.

Setelah diangkat menjadi CPNS golongan 1A, saya mulai melihat banyak peluang. Masa depan yang cerah terlihat jelas dari lorong-lorong kesempatan yang terbuka lebar. Itu membuat saya memutuskan untuk mengikuti ujian kesetaraan SMA. Sewaktu itu, ijazah madrasah belum berlaku bagi kelanjutan jenjang karir PNS. Makanya saya harus punya ijazah SMA kalau mau maju di bidang birokrasi.

Ujian kesetaraan berlangsung di SMA Muhammadiyah sekitar tahun 1977. Dari 60-an peserta, saya lulus di antara 3 orang lainnya. Sungguh keberuntungan yang menyenangkan.

Berbekal ijazah SMA, saya mendapat penyesuaian pangkat. Bonusnya, beberapa waktu kemudian saya diterima sebagai mahasiswa Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN). Sejak itu saya terus membina karir di bidang birokrasi.(***)

(Buku ini ditulis saat HBA masih menjabat sebagai Gubernur Jambi)

BIODATA HBA (Hasan Basri Agus)

Nama : Drs. H. Hasan Basri Agus, MM
Tempat Tanggal Lahir : Sungai Abang, 31 Desember 1953
Agama : Islam
Pendidikan :
Sekolah Dasar Sungai Abang Tahun 1968
MTS Pesantren As’ad Olak Kemang Thn.1969 s/d 1975 (6 tahun menyelesaikan MTS, Madrasah Aliah, dan PGA)
SMA Muhammadiyah Ujian di SMA 1 Tahun 1977
APDN Jambi Tahun 1980
S1 Universitas Sumatera Utara (USU) Tahun 1988
S2 LPMI Jakarta Tahun 2000

Nama Bapak : H. Agus D.
Nama Ibu : Hj. Mo’ah
Nama Istri : Hj. Yusniana Binti H.M. Zaini Hamid
Nama Anak :
1. Ervin Afriayanti, S.Kom
2. Diah Agusrin

Nama Cucu :
1. Nyimas Assila Azzahra
2. Nyimas Nayla Mumaira

Alamat Rumah : Jln. H. Ibrahim No.76 RT.18 Kel. Rawasari Kec. Kota Baru – Jambi

BACA JUGA : 1.000 Kata Bijak Kehidupan dan Cinta – Jambi Seru

Pos terkait