Catatan Anang Iskandar : Kobarkan Spirit Justice for Health dan Health for Justice dalam Penegakan Hukum Narkotika

Catatan Komjen Pol (Purn) Anang Iskandar
Catatan Komjen Pol (Purn) Anang Iskandar. (Ist)

Jambiseru.com – Justice for health, health for justice adalah spririt masyarakat dunia untuk mewujudkan keadilan untuk kesehatan dan kesehatan untuk keadilan dalam menanggulangi masalah narkotika, sehubungan dengan banyak negara yang implementasi penegakkan hukumnya, berbeda dengan strategi hukumnya.

Penyalah guna adalah kriminal dalam keadaan sakit adiksi dan ganguan mental, oleh karena itu keadilan dan kesehatan adalah dua sisi mata uang dalam penegakan hukum narkotika. Diperlukan peran aparat kesehatan dan penegak hukum dalam penanggulangan masalah narkotika.

Baca juga : Catatan Anang Iskandar : Restorative Justice, Biaya Rehabilitasi Tidak Patut Dibebankan Pada Keluarga

Bacaan Lainnya

Proses peradilan dan kesehatan harus berjalan “balance” antara kedua sisi mata uang. Strategi hukum secara globalnya dalam menangani masalah narkotika adalah menggunakan narkotika untuk kepentingan pribadi dilarang, proses penegakan hukumnya bersifat rehabilitatif dan penjatuhan sanksinya berupa sanksi alternatif yaitu rehabilitasi.

Di Indonesia, spirit keadilan untuk kesehatan kesehatan untuk keadilan, tidak dijalankan dan masih harus diperjuangkan oleh masarakat, karena implementasi penegakan hukumnya berbeda dengan strategi hukumnya.

UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika tujuan UU nya menjamin pengaturan upaya rehabilitasi bagi penyalah guna dan pecandu, penegak hukum diberi kewenangan rehabilitatif, hakim diberi kewenangan dapat menjatuhkan atau menetapkan hukuman rehabilitasi bersifat wajib. Namun implementasi penegakan hukumnya justru memenjarakan penyalah guna narkotika, akibatnya terjadi anomali lapas berkepanjangan, terjadinya residivisme penyalahgunaan narkotika dan terjadi peningkatan jumlah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sampai tingkat desa.

Dampak penyalah guna dipenjara, terjadinya kejahatan yang berhubungan dengan penyalahgunaan narkotika didalam penjara, seperti kebakaran atau pembakaran, huru hara atau kekerasan dalam lapas akibat perilaku penyalah guna narkotika didalam penjara, yang tidak
mendapat pasokan narkotika (sakau) Masalah narkotika berdampak sangat luas.

Permasalahan narkotika adalah permasalahan obat jenis narkotika yang kompleks, gabungan permasalahan kesehatan dan hukum pidana. Masalah tersebut merupakan masalah latent yang paling menantang setelah masalah covid 19 yang melanda negeri ini.

Masalah narkotika memiliki jangkauan yang luas, berdampak pada pada kesehatan dan kesejahteraan serta keadilan secara individu, keluarga dan masarakat serta masalah keamanan dan ketahanan nasional bangsa.

Itu sebabnya, penting untuk mencegah dan memberantas masalah narkotika dengan pendekatan holistik dengan menggarisbawahi pentingnya melibatkan aparat kesehatan, peradilan pidana, pemberantasan korupsi, hak asasi manusia dan lembaga nirlaba dalam penanganan sosialnya.

Penanggulangannya memerlukan pendekatan balance approach, antara penanggulangan terhadap penyalah guna dan pengedar. Penyalah guna diwajibkan melakukan wajib lapor pecandu (pasal 55), apabila penyalah guna melakukan wajib lapor pecandu, status pidana penyalah guna berubah menjadi “tidak dituntut pidana” . Apabila tidak melakukan wajib lapor pecandu, penegalan hukum dilakukan secara rehabilitatif.

Sedangkan penanggulangan terhadap pengedar dilakukan penindakan secara keras dengan ancaman pidana minimum dan disertai dengan implementasi penegakan hukum tindak pidana pencucian uang hasil kejahatannya serta pemutusan jaringan bisnis narkotikanya. Penegakan hukum dengan pendekatan balance approach tersebut sampai sekarang masih belum terwujud, secara nasional.

Kriteria perkara penyalahgunaan narkotika dan pengedar.

Penyalah guna narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melanggar hukum (pasal 1/15), dimana tujuan “kepemilikannya digunakan untuk diri sendiri” (pasal 127/1) dengan jumlah gramasi ditentukan oleh yang berwenang sesuai tingkat pemeriksaannya.

Sehingga kriteria perkara penyalahgunaan narkotika adalah perkara kepemilikan narkotika dalam jumlah terbatas, secara tanpa hak dan melanggar hukum, dengan tujuan digunakan untuk diri sendiri.

Selain kriteria yang tujuannya untuk dikonsumsi termasuk pengedar. Tujuan penegakan hukum perkara penyalahgunaan narkotika berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika adalah menjamin penyalah guna dan pecandu mendapatkan upaya relabilitasi (pasal 4d), sedangkan tujuan penegakan hukum terhadap pengedar adalah memberantas (pasal 4c).

Ini berarti meskipun penyalah guna adalah seorang kriminal tetapi proses penyidikan dan penuntutan perkara penyalahgunaan narkotika bersifat rehabilitatif. Penyidik dan penuntut umum disaratkan untuk mengetahui kondisi kadar ketergantungan tersangka atau terdakwanya dengan meminta assesmen kepada team assesmen terpadu (Perber 2014) agar jelas posisi penyalah guna narkotika sebagai pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika (pasal 54), dimana pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika wajib untuk menjalani rehabilitasi.

Penerapan pasalnya dalam rangka pemberkasan dan dakwaan perkara penyalahguna narkotika, tidak dilakukan secara subsidiaritas atau dijuntokan dengan pasal lain (pasal bagi pengedar) karena penyalah guna hanya diatur dalam pasal yaitu 127/1, dimana tujuan pemberantasannya dibedakan dengan pengedarnya (pasal 4) Penyalah guna berhak mendapatkan penyembuhan/pemulihan atas sakit adiksi kecanduan narkotika yang dideritanya. Dalam proses penegakan hukum, menjadi “kewajiban” penyidik dan penuntut umum untuk menempatkan penyalah guna kedalam lembaga rehabilitasi milik pemerintah (pasal 13 PP 25/2011), setelah terlebih dulu dimintakan assesmen oleh penyidik dan mendapatkan keterangan bahwa penyalah guna dalam keadaan ketergantungan narkotika (pecandu) , biayanya dibebankan masing instansi.

Permintaan assesmen ke team assesmen terpadu adalah proses kesehatan untuk keadilan. Proses tersebut menjadi “tugas dan kewajiban” penyidik untuk meminta dilakukan assesmen, karena penyidik tidak memiliki kemampuan untuk membedakan mana penyalah guna, mana pecandu, mana korban penyalah guna narkotika dan mana penyalah guna yang merangkap sebagai pengecer.

Proses assesmen menjadi tugas dan kewajiban penyidik maka keluarganya tidak perlu minta dilakukan assesmen meskipun penyidiknya menyarankan dengan alasan yang masuk akal.

Apabila ada permohonan dari keluarga, justru terjadi peluang wani piro.

Seluruh proses penyidikan dan penuntutan tindak pidana penyalahgunaan narkotika tidak dipungut biaya apapun, termasuk biaya rehabilitasi, menjadi tugas dan kewajiban penyidik untuk mendahulukan perkara penyalahgunaan narkotika ke pengadilan melalui penuntut umum agar segera mendapatkan keputusan rehabilitasi dalam rangka penyembuhan.

Penyidikan, penuntutan atau dakwaan terhadap penyalah guna narkotika hanya dapat dilakukan berdasarkan pasal 127/1 dan dijuntokan dengan pasal 54, sehingga dakwaannya berupa kewajiban menjalani rehabilitasi sesuai taraf ketergantungannya. Kalau terjadi kekeliruan dalam penerapan pasal terhadap penyalah guna dalam proses penyidikan dan/atau penuntutan karena penyidik dan penuntut umum berpandangan lain maka keluarga atau pengacaranya dapat melakukan koreksi terhadap proses penyidikan dan penuntutan melalui praperadilan berdasarkan KUHAP Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya. (*)

Penulis : DR. H. Anang Iskandar, SH MH, Pegiat anti Narkotika nasional

Pos terkait