Netralitas ASN dalam Pilkada: Antara Aturan dan Realitas Politik

Edo Guntara, Wartawan Jambiseru liputan Merangin. dok: ist
Edo Guntara, Wartawan Jambiseru liputan Merangin. dok: ist

Netralitas ASN dalam Pilkada: Antara Aturan dan Realitas Politik

Netralitas aparatur sipil negara (ASN) merupakan prinsip fundamental dalam menjaga profesionalisme birokrasi. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 secara tegas mengamanatkan agar ASN tidak berpihak dalam kontestasi politik, termasuk dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Tujuannya jelas: menciptakan pelayanan publik yang bersih, adil, dan bebas intervensi politik.

Namun, realitas di lapangan tidak selalu sejalan dengan regulasi. Dalam praktiknya, ASN justru sering berada dalam posisi yang dilematis saat Pilkada berlangsung. Mereka dihadapkan pada situasi bak “jalan dua arah yang salah semua” berpihak salah, netral pun bisa jadi sasaran.

Bacaan Lainnya

Netral Tapi Dicurigai

Banyak ASN di daerah yang berusaha menjaga netralitasnya justru menjadi korban gosip politik. Hanya karena tidak terlihat mendukung pasangan calon tertentu, mereka dicurigai “berseberangan” dengan pemenang. Akibatnya, setelah Pilkada usai, ASN yang tidak dianggap “berjasa” dalam kemenangan politik seringkali dipinggirkan, tidak dipromosikan, bahkan dimutasi tanpa alasan profesional.

Ironisnya, ada pula ASN yang menggunakan hak pilihnya secara diam-diam dan tetap menjaga jarak dari aktivitas politik, namun tetap dipandang negatif oleh orang-orang dekat kepala daerah terpilih. Dalam suasana seperti ini, netralitas ASN bukan hanya sulit dijaga, tapi juga tidak dihargai.

Di tengah kegamangan tersebut, muncul wacana dari sebagian kalangan: jika benar-benar ingin ASN netral, maka cabut saja hak pilih mereka, sebagaimana berlaku bagi TNI dan Polri. Gagasan ini tentu kontroversial dan harus dikaji lebih dalam dari aspek konstitusi dan hak asasi. Namun, wacana ini mencerminkan betapa sulitnya menjaga netralitas ASN dalam sistem politik yang masih sarat dengan loyalitas transaksional.

Pasca Pilkada: Ujian Sesungguhnya bagi Kepala Daerah

Pilkada seharusnya menjadi ajang sementara, bukan alat permanen untuk membangun loyalitas politik dalam birokrasi. Setelah pesta demokrasi usai, kepala daerah wajib bersikap sebagai pemimpin semua elemen, termasuk ASN yang tidak terlibat dalam pemenangan politik. Jika seorang ASN memiliki kompetensi, integritas, dan rekam jejak yang baik, maka mereka layak dipromosikan bukan dijauhi hanya karena tidak “terlihat mendukung”.

Sudah saatnya kepala daerah menanggalkan sikap transaksional dan tidak lagi terpengaruh oleh bisikan orang-orang dekat. Loyalitas birokrat bukan kepada individu, tapi kepada negara dan rakyat. Birokrasi yang sehat hanya bisa terwujud jika pengangkatan, promosi, dan rotasi pegawai didasarkan pada meritokrasi, bukan pertimbangan politik sesaat.

Undang-Undang ASN sudah memberikan kerangka hukum yang kuat. Tapi tanpa kemauan politik dari kepala daerah dan kesadaran kolektif dari elite politik, aturan tersebut akan terus menjadi dokumen kosong. Netralitas ASN adalah aset demokrasi, bukan ancaman politik. Mari jaga itu bersama-sama.(*)

Penulis adalah Edo Guntara Wartawan Media Online Jambiseru, Liputan Merangin

Pos terkait