JAMBI, Jambiseru.com – Tidak dapat dipungkiri, antara Pinang dengan masyarakat Melayu Jambi bagian yang tidak terpisahkan. Menjadi pernik-perniknya dan menjadi bagian dari ingatan masyarakat Melayu Jambi.
Pepatah seperti “bak Pinang dibelah dua” atau lagu “Tanam Pinang rapat-rapat. Agar Puyuh tak dapat lari. Kupinang-pinang tak dapat-dapat. Kurayu-rayu kubawa bernyanyi” menjadi gurauan ditengah masyarakat.
Pinang tidak dapat dilepaskan dari peradaban Melayu Jambi. Tradisi “sirih nan sekapur. Rokok nan sebatang. Pinang nan selayang” dikenal sebagai “sekapur sirih (pembukaan/pendahuluan/preambule).
“Sirih nan sekapur. Rokok nan sebatang. Pinang nan selayang” adalah “tanda” dimulai Seloko untuk membuka pembicaraan. Tanda persahabatan.
Hampir setiap prosesi sebelum pembicaraan, Sirih nan sekapur. Rokok nan sebatang. Pinang nan selayang” tidak pernah ditinggalkan.
Setelah memakan sirih, menghisap rokok dan mencicipi pinang maka pembicaraan dengan menyampaikan maksud tujuan kedatangan disampaikan.
Pinang juga digunakan dalam prosesi “berusik sirih begurau pinang”. Prosesi “berusik sirih begurau pinang” adalah adalah peristiwa pertemuan lelaki dan Perempuan didalam tempat-tempat keramaian atau kegiatan di kampungnya. Apabila pertemuan yang kemudian disetujui kedua belah pihak, maka Keluarga lelaki akan mendatangi kerumah perempuan dengan mengisahkan “Bak sirih pulang ke gagang. Bak pinang pulang ke tampuk. Tidak menambah pematang sawah. Tidak menambah periuk nasi. Sirih sudah memabuk. Pinang sudah mengemalan. Pandangan sudah tertumpuk. Hati sudah terpaut
Kisah pinang juga dikenal seperti “Putri Selaras Pinang Masak”. Ada juga menyebutkan Putri Pinang Masak. Sebagai simbol Istri Raja Jambi.
Atau kisah pinang yang dalam kamus Bahasa Jawa Kuno sebagai “Jambee”. Kisah yang kemudian menempatkan Jambi dan pinang bagian yang tidak terpisahkan.
Bahkan menurut cerita ditengah masyarakat, Pinang dalam istilah Jawa Kuno disebutkan sebagai “Jambee”. Sehingga kata “Jambee” menunjukkan pinang yang terdapat di Jambi.
Berbagai kajian sejarah menunjukkan, ketika para pelayar memasuki sungai, dan kemudian terlihat pinang yang disusun berjejer, maka seketika itu mereka berteriak.
“Jambee.. Jambee”, sebagai ungkapan seketika memasuki sungai yang menuju kerajaan Jambi.
Dalam praktek sosial sekaligus hukum adat yang masih berlaku hingga sekarang, pinang yang disusun berjejer adalah sebagai “batas” tanah.
Pinang yang ditanami sedikit rapat juga dikenal di berbagai tempat. Biasa dikenal dengan seloko “pinang belarik”.
Di Kabupaten Tebo dikenal istilah “pinang belarik”. Belarik adalah “berbaris”. Istilah berbaris juga sering juga disebut “berbanjar”. Atau dapat diartikan sebagai “pinang berbaris.
Sedangkan di masyarakat Kumpeh, istilah Pinang yang disusun berjejer/bebanjar dikenal istilah “mentaro”.
Istilah “mentaro” dikenal di Masyarakat Kumpeh. Baik Desa-desa yang termasuk kedalam Kecamatan Kumpeh Ulu maupun kecamatan Kumpeh (dulu dikenal Kumpeh Ilir) Kabupaten Muara Jambi.
Istilah mentaro menunjukkan pohon pinang yang ditanaman sedikit rapat. Mengelilingi batas-batas tanah.
Baik mentaro atau pinang belarik adalah tanda batas tanah. Sekaligus berfungsi sebagai pengakuan dari tetangga tanah (sepadan).
Mekanisme didalam menyelesaikan dengan menunjukkan “mentaro” adalah praktek yang lazim di masyarakat Melayu Jambi.
Sebagai komoditi yang dikenal dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, pinang tumbuh disetiap daerah di Provinsi Jambi. Baik sebagai batas tanah kebun maupun pekarangan rumah hingga dijadikan tanaman perkebunan.
Pinang (areca catechu) adalah tumbuhan yg secara alami tumbuh di daerah Pasifik, Asia dan Afrika Timur. Pinang termasuk salah satu palma terpenting karena banyak manfaatnya bagi manusia dan sdh jamak dibudidayakan.Buah pinang kering diperdagangkan sebagai salah satu komoditi dunia dengan harga yang cenderung membaik dari waktu ke waktu. Negara-negara utama penghasil pinang adalah Indonesia, Thailand, Malaysia dan Myanmar. Biji pinang kering diekspor ke negara-negara India, Pakistan, Bangladesh dan Nepal.