Opini Musri Nauli : Sesat Pikir Hukum Tanah (2)

perjalanan betuah (18)
Musri Nauli SH

Jambiseru.com – Akhir-akhir ini, berbagai konflik disebabkan “perbedaan nilai”, “perbedaan pandangan” didalam hukum Agraria (Hukum Tanah). Berbagai perbedaan itu kemudian meruyak, meledak bahkan menjadi prahara yang terus menjadi perhatian masyarakat.

Secara umum, saya melihat berbagai konflik dilatarbelakangi “cara pandang” yang berangkat dari nilai yang berbeda.

Untuk membantu memahami persoalan di sekitar tanah maka ada baiknya kita sejenak memahami tentang regulasi, cara pandang yang kemudian ditempatkan semestinya.

Bacaan Lainnya

Pertama. Berbagai regulasi masih mengamanatkan UU No. 5 Tahun 1960 sebagai Undang-undang Agraria (UU Pokok-pokok Agraria).

Sebagai undang-undang pokok, maka membicarakan tanah harus tunduk kepada UUPA. Tidak dibenarkan membicarakan tanah diluar daripada ketentuan yang diatur didalam UUPA.

Didalam pasal 5 UUPA dengan tegas menyebutkan “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat…..”.

Makna “…ialah hukum adat… “ membuktikan maka terhadap hukum tanah di Indonesia tetap tunduk kepada hukum adat.

Baik cara mendapatkan tanah, cara beralih tanah, pembuktian tanah, maupun hapusnya tanah.

Dengan demikian maka segala proses yang berkaitan dengan tanah tetap mengacu kepada hukum adat.

Dalam praktek di Pengadilan, MA sudah mendasarkan kepada berbagai yurisprudensi. Seperti “dianggap lepas apabila telah marimba dan dapat diberikan kepada orang lain” (Yurisprudensi No. 329 K/Sip/1957),  “tanah kesian yang dikenal sebagai tanah kosong dan diusahai secara intensif” (Yurisprudensi No. 59 K/Sip/1958),  “tanah menjadi gugur apabila cukup lama tidak dikerjakan lagi, diberi teguran dan kemudian diberikan kepada orang lain” (Yurisprudensi No. 1192 K/Sip/1973)

Kedua. Namun terhadap masyarakat hukum adat sebagaimana diatur didalam Pasal 5 UUPA tetap merujuk “sepanjang masih ada, sesuai dengan kepentingan nasional, asas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan” (Pasal 3 UUPA) .

Sehingga terhadap klaim-klaim “atas nama masyarakat adat” dapat diukur diverifikasi  dengan pengetahuan dan hukum adat yang masih berlaku.

Namun apabila terhadap proses mendapatkan tanah, pembuktian tanah, beralihnya tanah dan hapusnya tanah tidak sesuai dengan hukum adat yang berlaku, segala proses yang berkaitan dengan hukum tetap merujuk kepada UUPA dan hukum nasional.

Ketiga. Lalu bagaimana dengan UU yang berkaitan dengan sumber daya alam ?. Saya menyebutkannya “UU Sektoral”.

Dengan merujuk kepada UUPA, maka “UU sectoral” tidak mengatur tentang tanah. Tapi mengatur berkaitan dengan komoditas.

Lihatlah berbagai aturan yang diatur didalam UU sectoral. Bukankah cuma mengatur tentang “kayu”, “tambang”, “air”, “sawit”..

Sekali lagi tidak mengatur tentang tanah. Atau dengan kata lain UU sectoral hanya mengatur tentang komoditas. UU Sektora tidak dibenarkan mengatur tentang tanah – karena sudah diatur didalam UUPA.

Keempat. Lalu bagaimana dengan konflik disektor kehutanan ?

Berbagai tulisan sebelumnya sudah sering saya sampaikan. Yang dilarang adalah “berkaitan dengan kayu dan hutan”. Lihatlah norma-norma yang dilarang seperti “dilarang membuka hutan”, “dilarang menebang kayu”, “dilarang membawa kayu”.

Bukan berkaitan dengan tanah.

Kelima. Lalu bagaimana apabila terhadap hak milik atau Kawasan wilayah masyarakat adat yang termasuk kedalam Kawasan hutan.

Apabila menilik putusan MK No 45/2011 yang menguji pasal 1 angka (3) UU yang menyebutkan “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah” maka MK dengan tegas menyebutkan “ditetapkan”.

Dengan demikian maka terhadap segala aktivitas yang dilakukan didalam Kawasan hutan, maka Kawasan hutan telah berupa “ditetapkan”. Bukan sekedar “ditunjuk”

Keenam. Namun menurut putusan MK No 95/2014, terhadap tindak pidana yang diatur didalam pasal 50 ayat (3) huruf e UU Kehutanan yang mengatur tentang “menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang” dapat “dikecualikan terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial”;

Ketujuh. Putusan MK No 35/2012 juga sudah menegaskan. Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimaksud menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”;

 Dengan demikian maka hutan adat haruslah dikeluarkan dari hutan negara.

Sehingga hutan adat yang menjadi wilayah masyarakat hukum adat kemudian dapat dikeluarkan dari hutan negara.

Kedelapan. Lalu bagaimana untuk menentukan hutan adat sebagaimana yang dimaksudkan dengan MK ?.

Meminjam pertimbangan Putusan MK No. 35/2012, justru pasal 67 UU Kehutanan mengamanatkanPeraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat dibenarkan sepanjang peraturan tersebut menjamin kepastian hukum yang berkeadilan.

Pasal 67 UU Kehutanan telah diuji di MK. MK kemudian menegaskan “kekuatan konstitusional” pasal 67 UU Kehutanan.

Pasal 67 UU Kehutanan menegaskan terhadap klaim masyarakat adat harus berupa Peraturan Daerah (Perda). Peraturan Daerah adalah penegasan dari Pemerintah tentang keberadaan masyarakat adat.

Sehingga terhadap pemilik tanah ataupun kemudian masyarakat adat tetap tunduk dengan mekanisme diatur didalam Pasal 67 UU kehutanan. Atau dengan kata lain terhadap klaim masyarakat adat kemudian ditegaskan melalui Perda.

Dari analisis berdasarkan UUPA, UU Kehutanan, berbagai putusan MA dan putusan MK maka berbagai klaim “masyarakat hukum adat” dapat diverfikasi melalui UUPA dan  Pasal 67 Kehutanan.

Setelah diketahui masyarakat hukum adat dan wilayah masyarakat hukum adat melalui mekanisme UUPA dan Perda (pasal 67 UU Kehutananan), maka negara kemudian berkewajiban untuk mengeluarkan hutan adat dari hutan negara. (*)

Advokat. Tinggal di Jambi

Pos terkait