Al Haris Ways: Ketika Rumah Layak Menjadi Awal Martabat Hidup

Al Haris Ways
Al Haris Ways

Oleh : Al Haris

Ada momen-momen tertentu dalam tugas kepemimpinan yang tidak bisa diukur dengan angka statistik atau laporan kinerja. Momen itu hadir ketika kita berdiri langsung di hadapan masyarakat, menatap mata mereka, mendengar cerita hidup mereka, dan menyadari bahwa kebijakan yang kita buat benar-benar menyentuh sisi paling dasar dari kehidupan manusia. Salah satu momen itu saya rasakan ketika menyalurkan 51 bantuan bedah rumah di Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

Rumah, bagi sebagian orang, mungkin sekadar bangunan. Tapi bagi banyak keluarga, rumah adalah segalanya. Ia tempat berlindung dari hujan dan panas, tempat anak-anak tumbuh, tempat keluarga berbagi cerita, dan tempat harapan disemai. Ketika rumah tidak lagi layak, maka yang terganggu bukan hanya kenyamanan, tetapi juga martabat hidup.

Saya masih ingat, ketika menyapa langsung warga penerima bantuan. Ada rumah yang dindingnya sudah rapuh, atap bocor di sana-sini, dan lantainya masih tanah. Namun di balik kondisi itu, saya melihat ketegaran. Mereka bertahan, mereka bekerja, dan mereka berharap. Di situlah saya semakin yakin bahwa program bedah rumah bukan sekadar program fisik, melainkan program kemanusiaan.

Bagi Pemerintah Provinsi Jambi, bantuan bedah rumah adalah bagian dari komitmen menghadirkan negara di tengah masyarakat. Kita tidak ingin pembangunan hanya terlihat di pusat kota, di gedung-gedung besar, atau di angka pertumbuhan ekonomi. Pembangunan sejati adalah ketika masyarakat di desa-desa, di pelosok, dan di daerah pesisir juga merasakan perubahan nyata dalam hidup mereka.

Tanjung Jabung Barat adalah wilayah dengan karakter geografis yang tidak sederhana. Daerah pesisir, rawa, dan akses yang terbatas membuat tantangan pembangunan menjadi lebih besar. Namun justru di situlah kehadiran pemerintah diuji. Apakah kita mau hadir di daerah-daerah yang sulit, atau hanya nyaman di wilayah yang mudah dijangkau?

Saya selalu percaya, keadilan pembangunan dimulai dari keberanian untuk hadir di tempat yang paling membutuhkan. Bedah rumah menjadi salah satu bentuk keberanian itu. Kita tidak memilih-milih, tidak melihat latar belakang, dan tidak menghitung untung-rugi politik. Yang kita lihat hanyalah kebutuhan manusia untuk hidup layak.

Sering kali saya katakan, rumah layak adalah fondasi dari banyak hal. Anak-anak akan lebih sehat, lebih fokus belajar, dan lebih percaya diri ketika mereka tinggal di rumah yang aman. Orang tua bisa bekerja dengan tenang karena tahu keluarganya terlindungi. Lingkungan pun menjadi lebih tertata dan bermartabat.

Namun saya juga sadar, 51 rumah bukanlah angka yang besar jika dibandingkan dengan kebutuhan yang ada. Masih banyak keluarga lain yang menanti uluran tangan. Karena itu, bantuan ini tidak boleh dipahami sebagai akhir, melainkan awal dari kerja yang harus terus kita lanjutkan bersama.

Program bedah rumah tidak bisa berjalan sendiri. Ia membutuhkan kolaborasi: antara pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, pemerintah desa, serta dukungan masyarakat. Ketika semua bergerak bersama, dampaknya akan jauh lebih besar dan berkelanjutan.

Dalam setiap kesempatan seperti ini, saya selalu mengingatkan diri sendiri dan jajaran pemerintah: jangan pernah melihat bantuan sosial sebagai formalitas. Di balik setiap bantuan, ada harapan. Ada doa. Ada masa depan keluarga yang bergantung pada kebijakan yang kita buat.

Saya juga ingin menegaskan bahwa pembangunan manusia tidak selalu dimulai dari proyek besar. Kadang, ia dimulai dari hal-hal sederhana: memperbaiki rumah, memastikan atap tidak bocor, dan lantai tidak lagi tanah. Dari situ, kepercayaan diri masyarakat tumbuh, dan rasa memiliki terhadap pembangunan semakin kuat.

Ketika negara hadir secara nyata, kepercayaan publik pun tumbuh. Masyarakat merasa diperhatikan, didengar, dan dihargai. Inilah modal sosial yang sangat penting bagi keberlanjutan pembangunan. Tanpa kepercayaan, kebijakan sebaik apa pun akan sulit berjalan.

Saya memahami bahwa tantangan ke depan masih banyak. Anggaran terbatas, kebutuhan besar, dan wilayah yang luas. Namun saya percaya, dengan niat baik dan kerja bersama, kita bisa melangkah perlahan tapi pasti. Yang penting, arah kebijakan kita jelas: berpihak pada rakyat, terutama mereka yang paling membutuhkan.

Catatan ini saya tulis bukan untuk memuji diri sendiri atau pemerintah. Catatan ini saya tulis sebagai pengingat bahwa tugas kepemimpinan sejatinya adalah memastikan setiap warga merasa aman, dihargai, dan punya harapan. Rumah layak hanyalah satu pintu masuk menuju kehidupan yang lebih bermartabat.

Semoga 51 rumah yang dibedah di Tanjung Jabung Barat menjadi awal dari banyak rumah lain yang menyusul. Semoga dari rumah-rumah itu lahir keluarga yang lebih sejahtera, anak-anak yang lebih berani bermimpi, dan masyarakat yang semakin percaya bahwa negara tidak pernah benar-benar pergi.

Begitu saja catatan saya kali ini. Sebuah catatan sederhana tentang rumah, tentang harapan, dan tentang tanggung jawab kita bersama untuk menjaga martabat hidup masyarakat Jambi. (*)

” Al Haris ialah Gubernur Jambi

Pos terkait