Oleh : Al Haris *
Saya masih ingat betul perasaan itu…
Bukan hanya sebagai Gubernur, tapi sebagai sesama anak bangsa. Ketika kabar tentang bencana hebat yang menimpa Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat datang menghantam — hati siapa yang tak bergetar? Kita melihat ribuan keluarga kehilangan rumahnya, anak-anak yang kehilangan senyum mereka, dan orang tua yang tengah bergulat dengan duka yang tak terperi. Itu bukan sekadar angka di laporan, itu adalah tetangga kita… saudara sebangsa yang sedang terjatuh.
Pada 11 Desember 2025, saya berdiri di Posko Bencana Provinsi Jambi bersama Wakil Gubernur, jajaran TNI–Polri, dan para pejabat lain. Kita melepas bantuan kemanusiaan yang seluruhnya mencapai total Rp 4,5 miliar — bukan semata angka, tapi wujud kepedulian umat manusia. Bantuan ini mencakup dana tunai yang ditransfer langsung kepada pemerintah daerah terdampak sebesar Rp 2,5 miliar, ditambah donasi logistik dan obat-obatan senilai Rp 2 miliar yang kami kumpulkan dari berbagai pihak.
Saya bilang pada jajaran yang hadir waktu itu — ini bukan sekadar seremonial. Ini adalah tanggung jawab moral kita sebagai tetangga yang hidup dalam satu bangsa:
> “Kita memastikan bantuan ini dikirim secara cepat, aman, dan tepat sasaran agar benar-benar membantu masyarakat yang membutuhkan.”
Ketika Baznas dan relawan mulai membangun dapur umum dan menyiapkan ribuan porsi nasi setiap hari, saya sadar — kita tidak sekadar kirim bantuan, tapi kita kirim harapan. Harapan bahwa mereka tidak sendirian.
Saya sering berkata pada tim saya:
Kita tidak boleh pilih kasih dalam kepedulian. Apa pun latar belakang wilayahnya, apa pun suku dan budayanya — ketika mereka menderita, kita ikut merasakan. Itu yang membedakan kita dan membuktikan bahwa kita sesungguhnya satu di bawah bendera merah putih.
Tidak hanya logistik… kita juga kirim tenaga medis lengkap, karena duka bukan hanya fisik — trauma psikologis akibat kehilangan orang yang dicintai tak kalah beratnya. Saya ingin mereka merasa bahwa bangsa ini merangkul kuat, bukan sekadar lewat bantuan materi.
Tentu, catatan ini bukan panggung politik. Ini narasi hati. Bahwa di saat tetangga kita terjatuh, Jambi — bersama seluruh elemen — berdiri dan menawarkan tangan. Karena kemanusiaan tidak menunggu kabar baik, ia bergerak saat kabar buruk datang.
Dan semoga… apa yang Jambi lakukan ini menjadi contoh kecil dari jiwa besar bangsa yang tetap utuh, bahkan saat badai menerpa.
Catatan ini saya tulis untuk mengingatkan diri sendiri dan kita semua — bahwa kepedulian bukan kata, tapi aksi nyata yang harus terus kita kedepankan. (*)
* Al Haris ialah Gubernur Jambi






