Entah sudah berapa jam aku tidur, yang jelas, sekarang tubuhku sudah sangat nyaman berbaring di kasur empuk ini. Masih dalam mode malas gerak, aku bergolek golek mencari keberadaan Adil.
Dia tak lagi ada di kamar ini. Ah, kemana tuanku yang baik hati itu?
Penasaran, aku berdiri, turun kasur, lalu mondar mandir di dalam kamar. Aku keluar kamar yang tak terkunci, lalu mondar mandir lagi di ruang tamu dan ruang dapur. Tetapi, Adil sama sekali tak terlihat, pun Ayahnya Adil, juga tak tampak.
Aku mulai panik. Terbayang lagi bagaimana tersiksanya perasaanku ketika kehilangan emak dan ke dua saudaraku, ini langsung membuatku panik.
Aku menjerit jerit dengan sekuat tenaga. Berkali kali, bermenit menit, berjam jam, namun tak juga ada yang menjawab.
Sampai akhirnya, pintu depan berbunyi. Aku berlari menyambut siapapun yang akan membuka pintu itu. Dan… ternyata ada Adil di ambang pintu itu. Berdiri kaku, ia menatapku yang sudah berdiri senang dengan ekorku meliuk liuk manja.
Adil tetap diam di tempatnya, lalu menangis! Aku terkejut. Ada apa ini?
Ternyata… Si Sopir itu, Ayahnya Adil, hari ini pagi tadi menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit. Ia mendapat serangan jantung sepagian tadi, persis ketika aku masih tertidur lelap.
“Meoong…” kataku sambil mengelus ngeluskan kepala ke kaki Adil yang masih berdiri.
Adil membungkuk, mengelus kepalaku. Lalu memelukku.
“Cio… Ayah… Ayah sudah ndak ada lagi Cio…”
Kata Adil, makin keras tangisannya, makin kuat pelukannya. Aku tak tahu mau berbuat apa. Kurasakan kehilangannya yang persis seperti kurasakan kemarin. Begitu menyiksa.
“Meooong… meong… (sabar… sabar…),” kataku, sebisanya.
***