Dongeng : Cio Si Kucing Oyen Umrah oleh Monas Junior – Jambi

Ilustrasi dongeng Cio Si Kucing Oyen oleh Monas Junior - Jambi
Ilustrasi dongeng Cio Si Kucing Oyen oleh Monas Junior - Jambi

Setahun lalu aku dilahirkan bersama 2 saudaraku yang lain. Kami anak anak dari kucing oyen jalanan. Di kardus bekas mie instan, kami dibesarkan emak yang tubuhnya makin hari makin kurus.

Kami sangat tak terurus. Tetapi sebagai mahluk Allah, tugas kami adalah tetap hidup hingga waktunya yang ditentukan berakhir.

Tetapi malang seperti tak mau jauh dari kami. Satu siang, Mak menghilang. Kami kelaparan di balik kardus tak jauh dari minimarket entah bagian mananya Kota Jambi itu.

Bacaan Lainnya

Karena sudah seharian tak menyusu, kami kelaparan. Setelah berembuk, akhirnya kami bertiga memberanikan diri keluar dari rumah sangat sederhana itu.

Kardus mie instan itu kami dorong dorong hingga akhirnya terbalik, dan kami bisa keluar.

Dengan langkah gontai dan limbung, kami berjalan ke arah pintu masuk minimarket. Berkali kali kami menangis memanggil Emak, tetapi tak juga datang Emak yang kami kasihi itu.

Sehari sudah lewat. Kami makin kelaparan. Orang orang yang keluar masuk minimarket seakan tak peduli dengan kami. Kami seperti tak terlihat. Suara kami seakan tak sampai ke kuping mereka.

Malam berlalu. Sudah pagi lagi. Kami masih tak menemukan Emak. Kucing kucing dewasa yang lain mulai mengusik kami. Beberapa di antara mereka mengusir kami karena kami dianggap memasuki wilayahnya.

Lagi lagi dengan langkah gontai, kami menjauh dari minimarket itu. Berusaha menyeberang jalan.

Lagi lagi kemalangan tak bisa ditolak. Saudara saudaraku tewas terlindas mobil yang melaju kencang. Aku menjerit kencang melihat tubuh mereka yang menggelepar di tengah jalan.

Beruntung sopir mobil itu termasuk penyayang kucing. Ia berhenti. Turun lalu bergegas ke arah tubuh saudara suadaraku yang membeku.

Pria bertopi putih itu membuka baju kaos putihnya. Lalu ia mengambil tubuh 2 saudaraku, membungkusnya dengan baju dan berusaha beranjak kembali ke mobilnya.

Aku melihat itu makin sedih. Sekarang aku sendiri. Tanpa emak. Tanpa saudara suadara!

Beruntung, sopir mobil itu melihatku. Setelah meletakkan kaos putih yang di dalamnya ada jasad saudara saudaraku di kursi belakang, Si Sopir itu berjalan ke arahku.

Dia menatapku sesaat, penuh cinta dan penyesalan. Meski masih berusia beberapa hari, kami, para binatang, diberkahi rasa tinggi untuk membaca cinta yang tulus.

Karena kulihat ketulusannya, kubiarkan saja Si Sopir bertopi putih itu meraih tubuhku. Dengan lembut dipeluknya aku. Kurasakan kehangatan di dadanya. Jantungnya berdegub kencang. Mungkin karena merasa bersalah sudah melindas 2 saudaraku.

Tetapi… entah kenapa, aku memaafkannya begitu saja. Meski tangis kemalanganku masih melengking hingga aku sudah berada di dalam mobil kursi bagian depan.

Hari itu, kusaksikan Si Sopir mengubur 2 saudaraku di pekarangan belakang rumahnya. Hari itu pula aku berkenalan dengan Adil, anak laki laki yang ceria, putra semata wayang Si Sopir.

Saat malam tiba, aku merasakan surga dunia. Hiburan lengkap setelah kehilangan Emak dan kematian 2 saudaraku, aku mendapat susu hangat, ikan segar dan tempat tidur dengan alas selimut tebal. Plus, elusan dan pelukan hangat Adil sepanjang malam di dalam kamarnya.

Aku tertidur, lelap sekali…

***

Pos terkait