Jambiseru.com – Ketika KPK menetapkan (Kabasarnas) sebagai tersangka dari peristiwa OTT KPK yang menghebohkan, berbagai problematik kemudian menjadi pembicaraan publik.
Kabasarnas yang merupakan perwira tinggi aktif kemudian menarik perhatian publik. Selain disebabkan perwira ataupun prajurit aktif maka kemudian menjadi ranah pengadilan Militer.
Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI keberatan terkait keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menetapkan anggota TNI sebagai tersangka kasus korupsi.
Alasannya kemudian merujuk Kabasarnas sebagai TNI aktif dan tunduk di Pengadilan Militer. Bukan di Pengadilan Umum
Secara umum problematik mulai memantik polemik ketika salah seorang pimpinan KPK meminta maaf dan “terkesan” membenarkan “kekhilafan” dari Penyidik KPK.
Secara umum, memang adanya empat pilar kekuasaan kehakiman di Indonesia. Makna ini tegas dicantumkan didalam konstitusi dan UU kekuasaan Kehakiman.
Kemudian dikenal Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara. Sehingga terhadap anggota dan perwira TNI maka kemudian disidangkan di Pengadilan Militer.
Salah satu “amanat reformasi” memang menghendaki agar terhadap kejahatan umum yang dilakukan oleh anggota dan Perwira TNI harus dilakukan di Pengadilan Umum.
Mekanisme yang lazim di berbagai negara yang menganut demokrasi. Dan menempatkan hukum sebagai panglima.
Sedangkan didalam Literatur, Pengadilan Militer berwenang untuk “pidana militer” seperti disiplin dan disersi. Bukan kejahatan umum yang kemudian harus dan tunduk di Pengadilan Umum.
Benar sebelum reformasi, terhadap anggota dan perwira Kepolisian dan anggota dan perwira TNI tunduk dibawah Pengadilan Militer.
Namun “amanat reformasi” kemudian mendorong agar terhadap kejahatan-kejahatan umum harus diadili di Pengadilan Umum.
Semangat ini kemudian dilanjutkan oleh UU Kepolisian yang kemudian diadili di Pengadilan Umum.
Lalu bagaimana dengan anggota dan Perwira TNI.
Sebenarnya, UU No. 34 Tahun 2004 (UU TNI) Sudah tegas menyatakan. Pasal 1 angka 13 UU TNI “Prajurit adalah anggota TNI”. Pasal 2 huruf d UU TNI menyebutkan Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.
Lalu bagaimana mekanisme terhadap kejahatan umum yang dilakukan oleh anggota dan Perwira TNI ? Apakah tunduk kepada Pengadilan Militer atau Pengadilan umum ?
Merujuk kepada kejahatan umum diluar pelanggaran pidana militer dapat dilihat didalam Pasal 65 ayat (2) UU TNI, yang menyebutkan “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.
Secara sekilas maka terhadap kejahatan umum maka tepat dikategorikan di ranah peradilan Umum.
Sehingga Pasal 65 ayat (2) UU TNI harus dibaca yang diatur adalah “kejahatan umum” dan “pelanggaran pidana militer”.
Atau dengan kata lain yang membedakan adalah “jenis kejahatannya”.
Namun didalam penjelasan Pasal 64 UU TNI maka diterangkan “Yang dimaksud dengan hukum militer adalah semua perundang-undangan nasional yang subyek hukumnya adalah anggota militer atau orang yang dipersamakan sebagai militer berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.
Sehingga didalam penjelasan Pasal 64 UU TNI yang ditekankan adalah “subyek hukum” yang merupakan anggota dan perwira TNI. Dan kemudian diadili di Pengadilan Militer.
Dengan demikian adanya penafsiran berbeda (a contrario) dari pasal 64 UU TNI. Sehingga menimbulkan konflik norma (conflict of norm) antara Pasal 65 dengan Pasal 64 UU TNI.
Dengan membaca pasal 64 UU TNI, sehingga langkah Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI adalah tepat untuk menegakkan hukum Militer. Dan sebagai pelaksana tugas dari penegakkan hukum, maka lebih tepat TNI yang kemudian menetapkan Kabasarnas sebagai tersangka. Bukan KPK.
Sehingga penetapan tersangka Kabasarnas oleh KPK akan menimbulkan persoalan dan problematika didalam ranah penegakkan hukum di Pengadilan.
Pengadilan Umum dapat saja “membatalkan” penetapan tersangka oleh KPK.
Namun upaya KPK menetapkan tersangka juga menempatkan UU Tipikor sebagai landasan penting.
Menempatkan Korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sebagaimana di berbagai ratifikasi belum mampu juga menempatkan “siapapun” subyek hukum tunduk dengan UU Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001).
Begitu juga “wewenang” KPK (baik didalam UU No. 30 tahun 2002 junto UU No. 19 tahun 2019). Tidak ada satupun “kewenangan” untuk mengadili yang “subyek hukum” yang berasal dari anggota dan perwira TNI.
Walaupun UU Tipikor dan UU KPK berwenang terhadap kejahatan terhadap “Penyelenggara Negara” yang kebetulan Tengah diduduki oleh Kabasarnas. Bukan jabatan di militer.
Didalam momentum saat ini, sekaligus adanya “pidato” Presiden” yang “untuk sementara” memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyidikan kasus OTT dengan pernyataan “Kalaulah ada yang melompati sistem”, dan mengambil sesuatu dari situ, kalau terkena OTT, ya dihormati proses hukum yang ada”.
Namun didalam praktek hukum acara, mekanisme ini akan menimbulkan problematika.
Selain “penetapan tersangka” oleh KPK akan menimbulkan kesulitan (baca apakah KPK berwenang terhadap anggota TNI) juga secara prosedural akan menimbulkan permasalahan.
Didalam memahami pasal 65 UU TNI dan penjelasan Pasal 64 UU TNI, Terlepas dari makna Pasal 65 UU TNI yang menempatkan terhadap “jabatan publik” yang dilakukan oleh anggota TNI yang menempatkan di Pengadilan umum, namun menyimak penjelasan pasal 64 UU TNI yang mengatur tentang subyek hukum yang tunduk di Pengadilan Militer, maka secara limitatif dan penafsiran gramatikal maka Pasal 64 UU TNI justru memberikan ruang untuk Pengadilan Militer yang berwenang untuk mengadilinya. Bukan Pengadilan umum.
Pada saat ini, sudah tepat Pasal 65 ayat (2), Pasal 64 UU TNI kemudian diuji dengan UU Tipikor dan UU KPK.
Mekanisme ini dapat ditempuh. Baik mekanisme judicial review ke MK maupun legislatif review dan melakukan menempatkan “Korupsi” sebagai “kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Sekaligus adanya sinkronisasi berbagai peraturan perundang-undangan. Terutama terhadap kejahatan umum haruslah diadili di Pengadilan Umum.
Siapapun pelaku untuk menggambarkan asas “persamaan dimuka hukum (Equality before the law).
Dengan semangat dan momentum saat ini, sudah seharusnya semangat dan amanat reformasi yang sempat tercecer di alam demokrasi harus dilanjutkan.
Sebagai bentuk dan perwujudan sebagai negara hukum (rechtstaat). (*)
Advokat. Tinggal di Jambi