Opini : Menjadi Kaum Milenial yang Berkarakter
Penulis : Ricky Erfan (mahasiswa Universitas Jambi Jurusan Ilmu Politik Fisipol)
Generasi Milenial atau dengan nama lain Generasi ”Y” adalah sekelompok orang yang lahir dari rentang waktu tahun 1980-an hingga 1999, atau sebelum tahun 2000. Kelompok ini disebut Milenial karena satu-satunya kelompok yang pernah melewati milenium kedua.
Menurut Proyeksi Penduduk Indonesia dari Badan Pusat Statistik (BPS), mereka yang berusia 20-34 tahun akan disebut secara sederhana sebagai kelompok milenial. Laporan memperlihatkan bahwa kelompok usia itu, setidaknya, akan menyumbang 23,95 persen dari total populasi Indonesia pada 2018. Pada 2018, BPS memproyeksi jumlah penduduk Indonesia mencapai 265 juta jiwa. Pada 2019, jumlah mereka diproyeksi sebanyak 23,77 persen dari total populasi Indonesia yang mencapai 268 juta jiwa. Artinya, terdapat sekitar 62 juta jiwa penduduk milenial di Indonesia.
Era digitalisasi selalu dikaitkan dengan kaum milenial atau kaum pemuda masa kini, yang sekarang memungkinkan para milenial untuk mengeksplor sedalam-dalamnya tentang apapun yang terjadi di dunia. Dimulai dari mudahnya mengakses segala informasi melalui media massa dan media sosial, mudahnya berinteraksi dengan pihak lain baik dalam bidang pendidikan atau dunia bisnis tanpa perlu bertemu secara langsung, hingga massifnya para milenial dalam pengekspresiandiri di sosial media masing-masing.
Tentunya keadaan ini memiliki dampak positif dan negatifnya, sehingga kita semua mengharapkan agar kaum milenial tidak terpengaruh terhadap sisi negatif dari perkembangan jaman demi menjaga kualitasnya sebagai penerus pemimpin bangsa kelak.
KLIK DI SINI BACA OPINI YANG LAIN
Menjadi kaum Milenial yang berkarakter sangat penting bagi berlangsungnya perkembangan teknologi dan industri yang baik bagi bangsa ini. Karena masa depan suatu bangsa bergantung pada pemuda yang sedang giatnya bertumbuh dalam menerima segala informasi yang ada. Seirama dengan manfaat yang didapat, tantangan yang diberikan juga tidak sedikit jumlahnya.
Pertama, dengan mudahnya mendapatkan segala informasi yang ada belum tentu menambah wawasan kita, banyak sumber atau situs internet yang tidak memberikan informasi tepat atau dengan kata lain Hoax, pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab ini memanfaatkan keadaan demi mencari keuntungan pribadi. Belum lagi kaum milenial yang menyalahgunakan akses internet untuk menelusuri konten-konten negatif.
Walaupun pihak Kementrian Komunikasi dan Informasi telah berupaya dalam meminimalisir pengaksesan konten negatif, tetap saja masih banyak celah tersedia yang dibuat pihak-pihak tak bertanggungjawab tersebut. Kedua, perkembangan jaman tentu tidak hanya terjadi di Indonesia sehingga pemuda kita dituntut untuk kreatif demi bisa bersaing dengan bangsa lain. Persaingan tersebut terjadi di berbagai bidang seperti pendidikan, ekonomi, budaya, politik, dan lainnya.
Dan yang terakhir adalah degradasi moral, digitalisasi mempermudah penggunanya dalam ruang sosial yang lebih praktis, contohnya media sosial mampu memberikan panggilan video sehingga penggunanya tidak perlu bertemu langsung, atau diskusi yang bisa dilakukan melalui grup media sosial. Hal tersebut tentu mengurangi intensitas silaturahmi terhadap sesama dan berlanjut dengan berkurangnya etika dan norma sosial di masyarakat. Pemuda cenderung apatis dan tidak mau berbaur karna telah disediakan sistem yang dapat memberikan segalanya tanpa harus diperoleh dari orang lain.
Menjadi Milenial yang berkarakter tentu saja merupakan cara agar peuda bangsa bisa mengikuti jaman dengan cara yang bijak dan mampu bersaing dengan bangsa lain. Karakter yang dimaksud di sini tentu karakter yang positif.
Contoh karakter yang perlu dikembagkan adalah Minat baca, Central Connecticut State University (CCSU) pada maret 2016 menyurvei peringkat literasi negara-negara di dunia berdasar lima indikator kesehatan literasi negara, yakni perpustakaan, surat kabar, pendidikan, dan ketersediaan komputer. Dan hasilnya Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara.
Inisiatif kaum milenial dalam menigkatkan budaya membaca di sini sangat dibutuhkan, serta dukungan fasilitas dan literatur dari sekolah terkhususnya. Kemudian pemuda juga diminta memiliki soft skill. Keterampilan manusia yang lebih tinggi, yaitu Keterampilan Abstraksi Non-Teknis dan Keterampilan Sosial kini menjadi salah satu sasaran investasi dan perburuan paling penting dalam Revolusi Industri 4.0.
Sebelumya, Google dalam dua kali proyek risetnya, Project Oxygen (2013) dan Project Aristotle (2017) menemukan bahwa pekerja terbaik yang berkontribusi besar bagi perusahaan bukanlah mereka yang menguasai keterampilan STEM (Science, Tech, Engineering, Mathematics) semata melainkan justru mereka yang memiliki keandalan dalam soft skills.
Dan yang terakhir tentu adalah pendidikan moral, karena semua yang telah dipelajari kaum muda perlu dipertanggungjawabkan melalui moral. Moral tersebut berfungsi dalam perwujudan hasil-hasil yang diperoleh pemuda bisa berfungsi bagi masyarakat dan negara. Peran agama dan keluarga disini sangat penting dalam membangun moral seseorang.(***)
Kirim opini Anda ke Jambiseru.com












