Opini Musri Nauli : Perkawinan Beda Agama

perjalanan betuah (21)
Musri Nauli. Foto : Dok/Istimewa

Jambi Seru – Akhir-akhir ini publik dihebohkan dengan peristiwa perkawinan beda agama. Sebuah tema yang memantik dan perhatian publik.

Terlepas dari polemik yang membuat publik sempat berdegub kencang, sekaligus tema yang sangat sensifit, tema ini tentu saja menarik untuk dikaji dari pendekatan hukum.

Sebenarnya sebelum Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan), menurut data berbagai sumber, perkawinan beda agama pertama kali diatur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) Koninklijk Besluit van 29 Desember 1896 No.23, Staatblad 1898 No. 158,

Bacaan Lainnya

Regulasi ini kemudian menetapkan sebagai Peraturan Perkawinan Campur (PPC). Regulasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda termasuk mengatur tentang perkawinan campur yang tegas mencantumkan “Perbedaan agama, golongan, penduduk atau asal usul tidak dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan.

Namun pengaturan ini kemudian dicabut dengan lahirnya UU Perkawinan. UU Perkawinan dengan tegas mencabut tentang PPC yang semula diatur didalam Stab. 1898 No. 158.

Atau dengan kata didalam UU Perkawinan tidak dimungkinkan lagi perkawinan campuran.

Namun pengaturan tentang perkawinan campuran (lebih tepat dikategorikan sebagai perkawinan beda agama) sebagaiman diatur didalam pasal 57 hanya menegaskan “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Dalam praktek dunia hukum, MA memberikan ruang berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986, pasangan beda agama dapat meminta penetapan pengadilan. Peraturan tersebut menyatakan kantor catatan sipil boleh mencatat peristiwa melangsungkan perkawinan beda agama. Sebab, tugas kantor catatan sipil adalah mencatat dan bukan mengesahkan.

Lalu bagaimana pengaturan tentang perkawinan campuran dilihat dari UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi penduduk (UU Sisduk) ?

Sebenarnya perkawinan beda agama sudah diatur. Salah satunya dengan cara mengajukan permohonan perkawinan beda agama ke Pengadilan Negeri agar mengeluarkan suatu penetapan yang mengizinkan perkawinan beda agama dan memerintahkan pegawai kantor Catatan Sipil untuk melakukan Pencatatan terhadap Perkawinan Beda Agama tersebut kedalam Register Pencatatan Perkawinan.

Pertimbangan yang dapat dilakukan oleh hakim untuk mengabulkan permohonan penetapan beda agama semata-mata didasarkan kepada perkawinan beda agama bukanlah merupakan larangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh karena itu permohonan ini dikabulkan untuk mengisi kekosongan aturan Undang-Undang Perkawinan.

Didalam Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan.Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan telah dijelaskan Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas.

Atau dengan kata lain kewenangan untuk memeriksa dan memutus persoalan perkawinan beda agama terletak pada Pengadilan Negeri.

Selain itu didalam Pasal 35 huruf a UU Sisduk tegas menyatakan “Pencatatan perkawinan berlaku pula bagi: a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan. Didalam penjelasan Pasal 35 huruf a tegas memberikan jalan keluar dan solusi didalam kerumitan didalam persoalan perkawinan beda agama.

Atau dengan kata lain, perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.

Lagi-lagi Pasal 36 juga mengatur tentang Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.

Sehingga pasal 35 huruf a UU Sisduk justru memberikan ruang semakin luas untuk mengizinkan perkawinan beda agama apabila UU perkawinan menganggap perkawinan beda agama dianggap tidak sah.

Nah, Pengadilan kemudian dapat menetapkan permohonan para pihak agar dapat mengabulkan perkawinan beda agama. (esa)

Advokat. Tinggal di Jambi

Pos terkait