Oleh : Al Haris *
Ada satu hal yang selalu saya pegang sejak awal memimpin Jambi: kebijakan yang baik harus lahir dari pengalaman yang nyata. Bukan dari laporan berlapis, bukan dari meja rapat berpendingin udara, apalagi dari angka-angka yang terlalu sering dimanipulasi agar terlihat rapi. Kebijakan yang benar harus berangkat dari apa yang benar-benar dirasakan masyarakat.
Itulah mengapa saya memilih tidur di dusun.
Bukan sekadar simbolik.
Bukan pencitraan.
Tapi cara paling jujur untuk melihat kondisi masyarakat apa adanya.
Saat malam datang dan listrik di desa tidak selalu stabil, saat sinyal hilang lalu muncul lagi, saat suara jangkrik lebih dominan daripada notifikasi ponsel, di situlah saya merasa sedang berada di tempat yang tepat. Tempat di mana sebagian warga Jambi menjalani hidupnya setiap hari.
Di sanalah saya belajar bahwa jarak antara kebijakan dan kenyataan sering kali terlalu jauh.
Saya ingin merasakan sendiri bagaimana rasanya hidup tanpa fasilitas yang sering kita anggap biasa. Air bersih yang harus dihemat. Jalan yang jika hujan berubah menjadi lumpur panjang. Akses layanan kesehatan yang tidak bisa dijangkau hanya dengan sekali naik kendaraan. Semua itu tidak akan benar-benar dipahami jika kita hanya mendengarnya lewat laporan.
Ketika seorang kepala keluarga bercerita bagaimana ia harus bangun lebih pagi hanya untuk memastikan anaknya bisa sampai ke sekolah tepat waktu, saya sadar bahwa pembangunan tidak bisa diukur hanya dari besar anggaran. Ia harus diukur dari berapa banyak beban hidup warga yang benar-benar berkurang.
Di momen seperti itulah saya kembali mengingat alasan mengapa saya memilih jalan pengabdian ini.
Banyak orang bertanya kepada saya, apa gunanya seorang gubernur tidur di dusun?
Jawaban saya sederhana: agar saya tidak lupa.
Tidak lupa bahwa jabatan ini bukan hadiah.
Tidak lupa bahwa kekuasaan ini bukan milik pribadi.
Dan yang paling penting, tidak lupa bahwa rakyat tidak hidup di balik meja kerja.
Tidur di dusun membuat saya melihat bahwa masih ada warga yang menahan keluhan karena merasa suaranya tidak akan sampai. Masih ada yang menganggap pemerintah sebagai sesuatu yang jauh dan sulit dijangkau. Ini adalah alarm yang tidak boleh diabaikan.
Kalau negara ingin dipercaya, maka negara harus lebih dulu mendekat.
Saya selalu percaya bahwa pemimpin daerah tidak boleh hanya hadir saat peresmian. Kehadiran itu harus konsisten, bahkan di saat tidak ada kamera. Di situlah kejujuran diuji.
Di beberapa dusun yang saya kunjungi, masyarakat tidak banyak menuntut. Mereka hanya ingin jalan yang layak, layanan kesehatan yang bisa diakses, sekolah yang aman untuk anak-anak mereka. Permintaan yang sederhana, tetapi dampaknya besar bagi kualitas hidup.
Pertanyaannya kemudian:
mengapa hal-hal sederhana ini sering membutuhkan waktu lama untuk diwujudkan?
Jawabannya tidak selalu soal anggaran. Kadang soal keberanian mengambil keputusan. Kadang soal empati yang mulai menipis di ruang-ruang birokrasi.
Tidur di dusun juga mengajarkan saya bahwa pembangunan tidak boleh disamaratakan. Setiap wilayah punya karakter, tantangan, dan solusi yang berbeda. Apa yang berhasil di kota belum tentu relevan di desa. Karena itu, pendekatan kebijakan harus lebih lentur dan kontekstual.
Saya melihat langsung bagaimana masyarakat desa sebenarnya punya daya tahan yang luar biasa. Mereka bertahan bukan karena semuanya baik-baik saja, tetapi karena tidak punya pilihan lain. Negara tidak boleh menjadikan ketahanan itu sebagai alasan untuk abai.
Justru di sanalah negara harus hadir lebih kuat.
Sebagai gubernur, saya sadar bahwa tidak semua persoalan bisa diselesaikan sekaligus. Tetapi saya juga yakin bahwa setiap kebijakan harus punya arah yang jelas. Tidur di dusun memberi saya kompas moral untuk memastikan arah itu tidak melenceng.
Ketika saya kembali ke kantor dan duduk di ruang kerja, pengalaman itu tidak saya tinggalkan di desa. Ia saya bawa ke dalam setiap rapat, setiap diskusi anggaran, setiap pengambilan keputusan. Karena di sanalah wajah asli Jambi yang harus saya perjuangkan.
Bukan Jambi versi presentasi.
Bukan Jambi versi statistik semata.
Tetapi Jambi versi kehidupan sehari-hari.
Saya juga ingin menegaskan satu hal: pendekatan ini bukan milik saya seorang. Ini harus menjadi budaya dalam pemerintahan. Pejabat publik harus berani keluar dari zona nyaman, berani melihat langsung dampak dari kebijakan yang mereka tanda tangani.
Kalau kita ingin pembangunan yang adil, maka kita harus mulai dari mendengar mereka yang paling jarang didengar. Tidur di dusun hanyalah satu cara. Yang lebih penting adalah niat untuk benar-benar memahami.
—
Pada akhirnya, kepemimpinan bukan soal seberapa tinggi posisi kita, tetapi seberapa rendah kita mau turun untuk mendengar. Saya memilih turun, karena di sanalah saya menemukan kembali makna melayani.
Saya ingin Jambi tumbuh dengan cara yang manusiawi. Pembangunan yang tidak meninggalkan siapa pun. Kebijakan yang tidak hanya bagus di atas kertas, tetapi terasa dalam kehidupan warga.
Dan selama saya diberi amanah, saya akan terus memastikan satu hal:
negara harus hadir, bukan hanya terlihat. (*)
* Al Haris, Gubernur Jambi






