Kabar dari Turki: Berobatlah, Istirahatlah, Sehatlah!

Hastane
Pelayanan RS di Turki. (Mutia)

Sepenggal Cerita Pelayanan Kesehatan Di Negeri Erdogan

Penulis: Siti Mutia (jurnalis Jambi tinggal di Turki)

Jambi Seru – Beberapa kali masuk ke rumah sakit (tidak sampai bermalam, hingga kejadian abortus diusia kehamilan tri semester pertama saya pekan lalu), aura hangat sekaligus memukau selalu menyambut saya. Melihat lambang bulan sabit merah yang menggantikan lambang salib khas Rumah Sakit pada umumnya itu, memberi kesan berbeda. Mungkin tidak bagi orang lain. Tapi bagi saya, yang pernah mendengar kajian tentang lambang bulan sabit merah tentu berbeda. Ada makna tak berbatas kata yang terjeda disana.

Bacaan Lainnya

Proses administrasi diawali dengan melakukan pendaftaran. Bagaimana caranya? Cukup dengan KTP (kimlik) yang kemarin saya ceritakan. Semua data dan rekap medis atas nama saya langsung keluar. Tak ada biaya administrasi. Tak ada permintaan jaminan uang. Free. Gampang. Segampang mereka mengembalikan kimlik ke tangan saya lagi. Tak sampai lima menit. Melihat kondisi saya yang kepayahan mengernyit menahan sakit, petugas sigap mengambil kursi dorong dan membawa saya menuju lantai tiga dimana ruangan rawat inap berada.

BACA JUGA: Kabar dari Turki: Hapalkan NIK, Kelar Urusanmu

Masuk ruang perinatal (ruang rawat inap khusus wanita yang berurusan dengan hamil dan kelahiran), tak saya jumpai lalu lalang keramaian khas rumah sakit di tanah air. Tak terlihat bentangan tikar dibawah ranjang pasien beserta tas besar dan susunan rantang berisi bekal makanan. Tidak. Tak ada itu. Tidak pula terlihat pemandangan anak-anak dibawah umur yang ikut sibuk merengek menunggui pasien dan mengganggu pasien lain. Semua begitu tenang. Begitu teratur. Begitu bersih. Begitu disiplin.

Setahu saya, memang seharusnya begitu peraturan di hampir semua RS dunia. Entah mengapa, menegakkan aturan itu saja amat susah di tanah air. Naluri “ndak tegaan” masyarakat Indonesia plus tenaga medisnya mengalahkan keharusan menjalankan aturan yang semestinya. Padahal aturan-aturan itu berkorelasi baik dengan kenyamanan pasien sebagai prioritas utama.

Khusus di ruang perinatal, lelaki dilarang tinggal. Alhasil, saya harus menangis saat suami dilarang menunggui. Entahlah. Disegala senang dan sedih, saya merasa nyaman ditunggui beliau tanpa menafikkan kebersamaan dengan Allaah tentunya. Suami menghibur, “Aku akan datang pada jam bezuk,”. Saya pun menginap ditunggui kakak ipar.

Petugas memulai pengobatan dengan memberikan satu suntikan entah apa. Tak sampai satu jam, mereka memberikan jatah makan berupa bubur (mirip oat) sebagai asupan karbohidrat, sepotong ayam panggang mentega, seiris tomat panggang dan salad sayuran. Semua nyaris tanpa garam. Anyep. Tapi saya melahap habis. Sakit dan lapar adalah dua hal berbeda.

Tak berselang lama jam bezuk dibuka dan suami tercinta datang dengan hadiah kecil ditangannya. Daster. Meski hanya sebuah daster, amat berharga bagi saya. Kelak saya mengerti, memberikan kebahagiaan meski kecil berpengaruh besar pada kondisi fisik dan mental pasien. Saya menerima daster merah jambu itu dengan suka cita. Apalagi dia membawakannya masih dengan peluh, baju kerja yang bau matahari. Dia bahkan tak memikirkan dirinya sendiri saat dengan nyaring saya dengar perutnya keroncongan. Rasa bersalah menjalari hati. Dia tertawa.

“Aku lupa makan, Sayang. Aku mencemaskanmu. Setelah ini beres aku akan makan. Ayo kenakan ini. Coco untukmu.” Begitulah tipikal lelaki Bumi Osmanli. Perempuannya adalah dunia dan kehormatan bagi mereka. Tak berapa lama, petugas membawa saya ke ruang persalinan. Dokter spesialis nan cantik dan ramah tapi tak bisa berbahasa Inggris menyambutku. Oya, satu hal yang saya ingin ceritakan. Disini, Bahasa Inggris sama sekali tidak dianggap penting. Maka jangan heran, saat baru menginjakkan kaki di Bandara Internasional Ataturk Istanbul dan berurusan dengan petugas imigrasi mereka juga tidak fasih berbahasa Inggris. Bahkan banyak produk universal yaitu produk yang sama yang juga banyak dijual di negara lain, begitu masuk Turki harus melakukan penyesuaian merek. Wow. Es Krim buatan Unilever, Walls misalnya. Setahu saya hampir di semua negara es krim ini dipasarkan dengan merek Walls. Di Turki, merek Walls tidak berlaku, tetapi berganti jadi Algida. Konon, jika pihak Unilever tidak mau melakukan penyesuaian merek, es krim tersebut tidak diijinkan edar di Turki.

“Apa kabar, Sayangku?” Dokter menyapa saya. Salah satu yang saya suka di negara ini adalah cara mereka menyapa seseorang dengan sebutan yang amat lembut. Canim, birtanem, yavrum, gulum, tatlim yang kesemuanya bisa diterjemahbebaskan sebagai “sayangku” adalah diantara yang paling umum digunakan untuk menyapa orang lain diluar pasangan hidup yang amat sedap singgah digendang telinga. Penuh cinta.

Si dokter berseragam biru itu mengajak saya diskusi tentang tindakan yang akan dilakukannya. Saya menolak dikuret. Pernah dengar kisah seseorang yang dikuret, katanya amat sakit dan menghambat proses kehamilan berikutnya. Dokter itu tertawa.
“Jika tidak dilakukan tindakan kuret, sisa jaringan itu akan balik membahayakan keadaanmu, Sayangku. Percayalah. Kuret tidak menghalangimu untuk hamil lagi. Semua demi kebaikanmu sendiri. Kau dari Indonesia? Mungil sekali.”

Pos terkait