Jambiseru.com – “Kriwikan Dadi Grojogan”: Anang Iskandar dan Gagalnya Strategi Perang Melawan Narkotika
Di youtube Majalah MATRA Anang Iskandar berbicara dengan nada datar tapi tegas.
“Indonesia bisa jadi negara gagal dalam perang melawan narkotika,” ujarnya, seraya menekankan kata gagal bukan karena kalah, tapi karena salah menafsirkan strategi perang itu sendiri.
Bagi Anang, kesalahan itu sudah berlangsung lama: negara terlalu sibuk memenjarakan penyalahguna narkoba, bukan menyembuhkan mereka.
“Jomplangnya penanganan narkotika karena penegakan hukum lebih menitikberatkan pada pemenjaraan daripada rehabilitasi,” kata mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kabareskrim RI itu.
Akibatnya berantai: lapas-lapas over kapasitas, peredaran narkoba justru marak di balik jeruji, dan fenomena “sakau bersama” menjadi pemandangan lumrah.
“Bayangkan, orang yang sedang sakau dikumpulkan dalam ruang sempit tanpa terapi,” katanya. Hasilnya bisa ditebak—gangguan mental, residivisme, dan meningkatnya permintaan terhadap narkotika.
“Dari situ, tumbuh subur pasar narkoba di Indonesia. Permintaan tinggi, suplai ikut mengalir. Kita jadi target empuk bisnis gelap dunia,” ujarnya lirih.
Hukum yang Disalahpahami
Padahal, menurut Anang, undang-undang sudah memberi ruang bagi pendekatan yang lebih manusiawi.
“UU Narkotika jelas menyebut bahwa penyidik, penuntut umum, dan hakim diberi kewenangan menempatkan penyalahguna ke lembaga rehabilitasi,” katanya.
Ia menekankan, secara yuridis penyalahguna tidak boleh ditahan. “Rehabilitasi itu juga bentuk upaya paksa—sama dengan ditahan. Bedanya, di rehabilitasi mereka disembuhkan.”
Masa menjalani rehabilitasi pun dihitung sebagai masa hukuman.
Tapi praktik di lapangan berbeda. Banyak penyalahguna tetap dijebloskan ke penjara, bercampur dengan pengedar dan penjahat kriminal lainnya.
“Inilah kriwikan dadi grojogan,” ucap Anang sambil tersenyum tipis, mengutip pepatah Jawa yang berarti masalah kecil jadi besar karena salah urus.
“Inilah kriwikan dadi grojogan,” ucap Anang sambil tersenyum tipis, mengutip pepatah Jawa yang berarti masalah kecil jadi besar karena salah urus.
Polisi yang Tetap Bersahaja
Anang tak hanya bicara di ruang seminar. Latar belakangnya panjang, dan sebagian besar dihabiskan di lapangan.
Anak seorang tukang cukur rambut ini menempuh karier panjang di kepolisian sejak lulus Akpol tahun 1982. Ia pernah bertugas di Denpasar, Kediri, Surabaya, hingga memimpin Polres Blitar.
Namanya menanjak saat menjabat Kapolda Jambi, lalu dipercaya sebagai Kadiv Humas Polri, Gubernur Akpol, hingga Kepala BNN.
“Saya belajar banyak dari bawah. Jadi saya tahu persis bagaimana realitas penegakan hukum kita,” ujarnya.
Di BNN, ia dikenal tegas tapi tidak kehilangan empati. Tahun 2015, ia sempat menegaskan perlunya hukuman mati bagi pengedar besar, namun setelah mendalami konvensi internasional dan hukum nasional, pandangannya bergeser: penyalahguna harus direhabilitasi, bukan dihukum penjara.
“Penyalahguna adalah korban. Pengedar itu penjahat. Jangan dibalik,” kata pria yang sempat menangkap Rafi Ahmad, kemudian direhabilitasi, bukan dipenjara.
Dari Penjara ke Pusat Rehabilitasi
Menurut Anang, Indonesia sebenarnya telah meratifikasi Single Convention on Narcotic Drugs tahun 1961 lewat UU No. 8 Tahun 1976.
Artinya, negara punya kewajiban internasional untuk memandang penyalahguna sebagai pasien adiksi, bukan kriminal.
Sayangnya, dalam implementasi hukum nasional, amanat itu tertinggal di tumpukan pasal. “UU 9/1976 dan UU 22/1997 tetap mengkriminalisasi penyalahguna. Padahal mereka ini orang sakit,” kata Anang.
Dampaknya terasa sekarang. Alih-alih menyembuhkan, penjara malah menjadi pabrik kecanduan baru.
“Orang keluar lapas bukannya sembuh, tapi tambah parah. Mereka kembali mencari barang,” ujarnya.
Baginya, ukuran keberhasilan perang melawan narkoba bukanlah banyaknya orang yang dipenjara, tetapi banyaknya korban yang diselamatkan.
“Kalau ukurannya jumlah tangkapan, maka kita hanya membesarkan ego institusi, bukan menyelesaikan masalah bangsa,” ucapnya.
Penghargaan dan Jejak Prestasi
Ketekunan Anang di bidang narkotika dan terus berupaya meyakinkan hakim dan aparat, serta meyakinkan publik bahwa pecandu harus direhabilitasi.membuatnya menerima sejumlah penghargaan.
Ia dianugerahi Bintang Emas dari Majalah Matra serta Jatim Award 2015 dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur.
“Bagi saya, menyelamatkan satu orang pecandu berarti menyelamatkan satu keluarga, satu generasi,” katanya.
Jalan Panjang Reformasi Narkotika
Kini, setelah pensiun dari dinas aktif, Anang masih menulis dan berbicara dalam berbagai forum, memperjuangkan pendekatan baru terhadap perang narkoba.
Ia menolak keras stigma yang melekat pada korban adiksi. “Negara tidak boleh memperlakukan mereka sebagai sampah,” tegasnya.
Ia mengakhiri percakapan dengan kalimat sederhana namun penuh makna:
“Negara ini tidak kalah dalam perang melawan narkoba. Negara ini hanya salah menafsirkan medan perangnya.”
Anang Iskandar percaya, suatu hari nanti kebijakan akan bergeser ke arah yang lebih waras—dari penjara menuju penyembuhan.
“Wish your lucky star is always shines bright,” katanya sambil tersenyum.
“Bergaullah dengan orang-orang yang berpikir positif. Karena pikiran positif itu menular.” (red)
Sumber: Hariankami.com












